Kemunduran
Peradaban
Ahmad Ubaidillah ; Mahasiswa Program Magister Studi Islam UII
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 30 Desember 2013
“Civilizations
die from suicide, not by murder,” teori Arnold Toynbee. Artinya, “peradaban mati karena bunuh diri, bukan
pembunuhan”.
Ungkapan sejarawan
asal Inggris tersebut sepertinya relevan untuk menggambarkan perjalanan
peradaban bangsa kita akhir-akhir ini. Perjalanan yang dipenuhi pemikiran
bertentangan dengan hati nurani dan disesaki perilaku ingkar kepada Tuhan.
Hati nurani yang
menjadi alat menilai benar-salah dan baik-buruk kini berjalan terseok-seok,
diserbu nafsu laknat. Ajaran-ajaran ketuhanan yang menyuruh manusia selalu
bertindak mulia tampaknya mulai pingsan, diserang godaan sesaat yang
menghancurkan masa depan jangka panjang.
Bergelimangnya
perilaku korup dilakukan pejabat negara yang tuli terhadap kemuliaan hidup.
Banyak mencuatnya aksi kekerasan dilakukan masyarakat yang buta terhadap indahnya
kedamaian. Itu semua adalah sedikit bukti dari sekian banyak fakta empiris
yang mengantarkan kita pada suatu keyakinan, bangsa ini sedang mengalami
kemunduran peradaban.
Kemunduran yang
terjadi bukan karena serangan dari luar, melainkan dari dalam diri kita
sebagai pembangun peradaban. M Umer Chapra, ekonom asal Pakisan, dalam
karyanya yang berjudul Muslim
Civilization: The Causes and Decline and The Need for Reform, melihat
kemunduran suatu negara, termasuk kemunduran peradaban, disebabkan ketidakadilan
yang mengiringi pembangunan.
Ia mengatakan
“Ketidakadilan adalah racun yang sangat mematikan pembangunan. Ia dapat
menggerogoti daya hidup manusia dan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik
melalui proses kompleks yang sulit diprediksi dengan tepat. Jika suatu negara
menerapkan ketidakadilan, pembangunan tidak akan mampu bertahan jangka
panjang. Hal yang akan muncul adalah ketidakpuasan, konflik, dan perpecahan
yang berujung pada kemunduran.”
Kita pasti sepakat,
setiap pemimpin dan rakyat pasti menginginkan bangsanya maju. Tidak ada
penghuni bangsa di dunia ini, termasuk Indonesia, yang mendambahkan bangsanya
mundur atau hancur.
Karena dengan
menyandang predikat bangsa yang maju tersebut, tercipta nama baik bangsa di
mata bangsa lain. Ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa sinergi yang apik
antara pemimpin dan rakyat, dengan mencetak peradaban bangsa yang unggul.
Perlu disadari
bersama, mencapai bangsa yang maju bukan pekerjaan mudah. Pencapaian kemajuan
bangsa tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Bangsa tersebut harus
menempuh langkah-langkah, yang mungkin amat sulit dan prosesnya sangat
panjang. Tidak bisa dimungkiri, sekali lagi, modal utama mencapai kemajuan
bangsa adalah kerja sama yang baik antara para pemimpin dan rakyat.
Pemimpin, misalnya
presiden, gubernur, bupati, dan pemimpin lainnya, perlu membangun komitmen
dan kesadaran bersama guna mencapai kemajuan bangsa tersebut.
Peran para pemimpin
perlu mendapat penekanan yang kuat karena mereka memiliki posisi strategis
dan kekuasaan politik yang mampu mengarahkan hendak ke mana bangsa ini menuju
dan dengan cara apa bangsa ini dikemudikan.
Artinya, para pemegang
kekuasaan harus mengelola bangsa ini dengan penuh amanah dan tanggung jawab.
Mereka mesti sadar bahwa kekuasaan yang dimiliki bukanlah fasilitas yang
dapat dinikmati sesuka hati, melainkan alat memajukan bangsa dan
menyejahterakan rakyat.
Mereka juga harus
ingat, jabatan yang dimiliki bukan “ladang aji mumpung” yang bebas digunakan
untuk meraup kekayaan pribadi dan kelompok (partai). Di sinilah para pemimpin
dituntut selalu sadar bahwa dalam menjalankan pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun daerah, mereka selalu diawasi Tuhan dan diikat kesetiaan kepada
rakyatnya.
Untuk mencapai bangsa
yang maju, pasti akan menghadapi berbagai persoalan, mulai persoalan ekonomi,
politik, hukum, pendidikan, dan sosial. Ketimpangan ekonomi, kebanalan
politik, ketidakadilan hukum, kapitalisasi pendidikan, kekerasan sosial, dan
persoalan bangsa lain akan selalu mengadang langkah progresif-konstruktif dalam
menggapai kemajuan bangsa tersebut.
Di sini sekali lagi
dibutuhkan kerja sama serius dan berkelanjutan antar pemimpin dan masyarakat.
Itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang semakin lama semakin runyam
di negeri ini.
Seorang pemimpin di
Nusantara tercinta ini perlu merenungkan, maju-mundurnya bangsa sangat
dipengaruhi apa yang dilakukan dan diputuskan pemimpinnya, terkhusus
presiden.
Presiden adalah
representasi bangsa dan negara. Sebesar apa pun negaranya, berapa pun jumlah
rakyatnya, dan siapa pun yang bernaung di bawahnya, presidenlah yang
memutuskan hendak ke mana nasib bangsa ini dibawa dan bagaimana cara
membawanya.
Seorang pemimpin
bangsa (presiden) harus mengarahkan seluruh rakyatnya ke arah yang lebih
baik. Ia harus memberikan suri teladan kepada rakyatnya, baik berupa
perkataan dan perbuatan. Perkataan harus sesuai perbuatan, bukan mencla-mencle.
Kalau ada slogan
sebuah partai “Katakan tidak pada korupsi” misalnya, konsukuensinya, pemimpin
partai harus bergegas membebastugaskan kader-kader korupnya sebelum berita
mencuat ke tengah publik. Di sinilah budaya malu (shame culture) memainkan peranan yang sangat signifikan.
Selain para pemimpin
wajib bertiwikrama menciptakan
kemajuan bangsa, kiprah rakyat menggapai bangsa yang maju juga memegang
peranan yang tidak bisa dianggap remeh.
Warga negara dengan
kapasitasnya masing-masing, entah sebagai pendidik, ekonom, tokoh agama,
tokoh masyarakat, atau lainnya, perlu berperan proaktif membangun peradaban
luhur bangsa. Mereka bisa menyumbangkan ide, pemikiran, atau tenaga untuk
menyelesaikan persoalan yang menjadi penghalang kemajuan perdaban bangsa.
Dengan tidak
mengesampingkan peranan penting masyarakat di atas, para pemimpin bangsa ini
harus pandai menyerap, menyelaraskan, mengaktualisasikan, serta merealisasikan
nilai-nilai kepemimpinan sejati untuk mewujudkan kemajuan bangsa Indonesia.
Para pemimpin wajib
mengambil keputusan kepemimpinan berdasarkan kepentingan bersama, bukan
kelompok (partai).
Hal ini mendesak
dilakukan demi terciptanya peradaban luhur manusia Indonesia seutuhnya, baik
yang bersifat lahir maupun batin. Inilah yang dimaksud Arnold Toynbee, mati
dan hidupnya suatu peradaban tergantung pembangun peradaban itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia tak lain adalah pemimpin dan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar