Anomali
Harga Gas Elpiji
Tulus Abadi ; Pengurus Harian YLKI
|
REPUBLIKA,
30 Desember 2013
Pasokan dan produksi bahan bakar
minyak nasional hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Terbukti,
dari 1,3 juta barel kebutuhan dalam negeri, lebih dari 400 ribu barel masih
diimpor. Upaya untuk menaikkan produksi minyak (lifting) nasional sampai detik ini juga belum mampu
dicapai.
Maka, bisa dipahami jika
pemerintah mendorong gasifikasi sebagai alternatif kebijakan energinya.
Namun, ironisnya, implementasi kebijakan gasifikasi masih kedodoran. Sampai
detik ini, infrastruktur gas (SPBG) masih bisa dihitung dengan jari. Pasokan
gas untuk transportasi, misalnya, untuk Transjakarta pun masih megap-megap.
Tak terkecuali kebijakan gasifikasi (gas elpiji) untuk sektor rumah tangga
hingga kini masih menyisakan anomali yang sangat serius, terutama dari sisi
kebijakan harga gas elpiji 12 kg-50 kg.
Mengapa? Dari sisi regulasi sebenarnya
sudah cukup gamblang bahwa kebijakan menentukan harga gas elpiji 12 kg adalah
domainnya operator (PT Pertamina). Lihatlah Peraturan Menteri ESDM No 26
Tahun 2009 bahwa harga jual elpiji untuk pengguna elpiji umum ditetapkan oleh
BUMN dengan berpedoman pada harga elpiji (Pasal 25). Komoditas elpiji 12 kg
(dan 50 kg) jelas bukan komoditas elpiji yang disubsidi sebagaimana gas
elpiji tiga kg. Jadi, tak ada secuil alasan pun bagi regulator (pemerintah)
untuk mengintervensi (menolak) kenaikan harga elpiji 12 kg karena hal itu
adalah kewenangan operator.
Tetapi, ibarat kata pepatah pemerintah, "menyorongkan kepala, tetapi
buntutnya masih dikangkangi". Dalam hal gas elpiji 12 kg, dari sisi
bisnis, PT Pertamina masih merugi secara signifikan. Lihat saja biaya produksi
nya yang mencapai Rp 10.943/kg, tetapi harga jual pada konsumen hanya Rp
4.944/kg. Jadi, nilai kerugiannya mencapai Rp 5.399/kg. Sebagai contoh,
kerugian pada 2011 mencapai Rp 3,4 triliun, 2012 Rp 4,7 triliun, dan 2013
mencapai Rp 5,7 triliun. Jika diakumulasi kerugian PT Pertamina sejak 2009
mencapai Rp 22 triliun.
Jadi, jelas kerugian PT Pertamina
dalam bisnis elpiji 12 kg bertentangan dengan UU tentang BUMN. Hanya, ini
kerugian yang secara politis dilegalisasi oleh pemerintah sendiri. Untuk menambal
kerugian itu, pada akhirnya PT Pertamina harus menyubsidi gas elpiji 12 kg
pada konsumennya. Sebuah cara yang tidak lazim karena urusan subsidi adalah
urusan regulator, bukan operator.
Kalaupun bisnis elpiji 12 kg akan
terus dibiarkan merugi, konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi
(PSO) pada gas elpiji 12 kg sebagaimana pemerintah menggelontorkan subsidi
pada gas elpiji tiga kg.
Kerugian PT Pertamina pada bisnis gas elpiji 12 kg pun sudah terendus oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Su - rat rekomendasi BPK No 29 Tahun 2013
tertanggal 5 Februari 2013 menyebutkan bahwa PT Pertamina menanggung kerugian
atas bisnis elpiji 12 kg-50 kg selama 2011-2013 sebesar Rp 7,7 triliun. BPK
me rekomendasikan agar PT Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kg.
Namun demikian, menaikkan harga
gas elpiji 12 kg bukan tanpa risiko (finansial) bagi PT Pertamina, bahkan
bagi pemerintah sendiri. Risiko yang paling riil adalah adanya fenomena
migrasi (perpindahan) dari pengguna gas elpiji 12 kg menjadi pengguna gas
elpiji tiga kg. Permintaan gas elpiji tiga kg pun akan meningkat dan subsidi
pemerintah untuk gas elpiji tiga kg akan melambung. Ini logis karena
harga gas elpiji tiga kg lebih murah (karena disubsidi) dan akses pasarnya
pun masih terbuka. Siapa pun bisa membeli gas elpiji tiga kg, tanpa pandang
bulu strata sosial ekonominya. Upaya PT Pertamina dan Kementerian ESDM yang
akan menjadikan gas elpiji tiga kg sebagai pangsa pasar yang tertutup sudah
seharusnya dilakukan.
Dari sisi yang lain yang juga
menjadi mandat Permen ESDM No 26/2009 patut disorot juga bagaimana aspek daya
beli konsumen jika harga elpiji 12 kg dinaikkan. PT Pertamina menyinyalir
bahwa kenaikan harga elpiji 12 sebesar Rp 3.505 per kg `hanya' akan menambah
pengeluaran konsumen sebesar Rp 30 ribu per bulan. Tapi, aspek daya beli
saja juga tidak cukup karena aspek willingness
to pay juga harus dipertimbangkan. Mengingat, hingga detik ini keluhan
konsumen terhadap takaran gas elpiji, baik yang 12 kg maupun tiga kg, masih
tinggi. Secara manajerial, PT Pertamina harus membereskan mitra kerja samanya
yang acap berbuat nakal mengurangi takaran.
Bagaimanapun, anomali kebijakan
harga gas elpiji 12 kg tidak bisa dipelihara secara terus-menerus. Apalagi,
kebijakan harga gas elpiji nonsubsidi menjadi domainnya operator, bukan
domain regulator. Kalaupun kebijakan harga ini masih disandera, pemerintah
wajib meng gelontorkan dana subsidi (PSO) pada konsumen elpiji 12 kg. Ini
kalau pemerintah konsisten dengan eksistensi regulasi yang ada, baik pada
konteks mikro (permen ESDM) maupun pada konteks makro (UU BUMN). Bahkan,
rekomendasi dari BPK sekalipun.
Akan lebih elegan jika besaran
kerugian itu dikonversikan menjadi kenaikan deviden PT Pertamina pada
pemerintah dan atau untuk membangun infrastruktur gas elpiji yang masih minim
(membangun kilang) sehingga nilai impor gas elpiji bisa ditekan. Alasan
`momen tidak tepat' untuk menaikkan harga gas elpiji 12 kg lebih bertendensi
politis jangka pendek (Pemilu 2014) yang kemudian mengorbankan kepentingan
dan keberlanjutan ekonomis dan kebijakan energi berjangka panjang.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar