Peta
Politik 2014
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti Politik
|
TEMPO.CO,
30 Desember 2013
Pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan presiden
(pilpres) 2014 menyisakan beberapa bulan lagi. Dalam ruang penantian
itu, gambaran politik terhadapnya sedikit banyak sudah kian teraba.
Beragam jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga sepanjang
2013 telah memberikan semacam kompas pandu untuk melihat bagaimana
kontestasi pada 2014. Setidaknya, landscape pada 2014 dapat dilihat
dari dua pembacaan konfigurasi: partai politik dan calon presiden.
Pertama, dalam konfigurasi partai politik, pemilihan legislatif 2014 sepertinya akan menjadi ajang perebutan kemenangan partai-partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar. Dua partai tersebut memiliki potensi paling kuat untuk memenangi pemilihan legislatif. PDIP, yang posisinya saat ini berada di luar pemerintahan, tidak bisa dipungkiri telah memberikan citra positif di mata publik. Sikap kritisnya terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang mereka nilai cenderung merugikan rakyat menjadi salah satu entry point bagi PDIP. Tidak hanya itu, PDIP saat ini juga didukung oleh munculnya tokoh-tokoh muda internal yang bisa menjadi magnet kemenangan. Salah satu yang paling benderang adalah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Nama Jokowi tidak saja menawarkan akses pendulangan elektoral bagi partai. Lebih jauh, ia juga punya peluang besar untuk menjadi calon presiden terkuat. Selain itu, modal lainnya adalah soliditas internal partai yang baik serta minimnya jumlah kader PDIP yang tersangkut kasus korupsi. Kemudian Partai Golkar akan menjadi pesaing kuat PDIP. Sementara Partai Demokrat, cukup sulit untuk kembali meraih apa yang mereka capai pada Pemilu 2009. Beberapa kasus korupsi yang menimpa kader mereka menjadi faktor besar mengapa Partai Demokrat tak menarik lagi bagi calon konstituen. Konvensi calon presiden yang digulirkan dengan tujuan untuk memulihkan citra dan elektabilitas partai belum memberi efek angkat positif yang signifikan. Jika tak hati-hati, Partai Demokrat bisa disalip oleh Partai Gerindra, yang memiliki figur utama partai yang cukup kuat secara elektoral. Pemilu 2014 juga menjadi warning bagi partai politik Islam. Baik mereka yang berasas formal Islam ataupun yang berbasiskan massa Islam cenderung menempati posisi tengah, bahkan papan bawah. Penerapan parliamentary threshold 3,5 persen merupakan cambuk jika berharap eksistensi mereka di Senayan tetap ada. Minimnya figur kuat pendulang elektoral, serta tidak mudahnya mereka dalam menerjemahkan identitas atau simbol keagamaan dalam program riil di lingkup masyarakat adalah beberapa hal yang bisa menjadi kendala bagi partai Islam untuk bisa menonjol. Pencapaian partai politik pada pemilihan legislatif 2014 dengan demikian akan banyak ditentukan oleh bagaimana partai tersebut dapat mengelola sumber daya internal yang dimiliki dan kemampuan beradaptasi dengan tekanan eksternal. Konfigurasi kedua adalah siapa calon presiden yang memiliki potensi kuat memenangi pemilihan presiden 2014. Potret elektabilitas Jokowi sampai penghujung 2013 belum bisa digeser oleh figur lain. Hal itu yang menjadikan Jokowi sebagai calon kuat presiden pada 2014. Nama lain yang berada di belakangnya antara lain Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Wiranto, serta Dahlan Iskan. Potret sigi berbagai lembaga menunjukkan adanya spasi elektabilitas yang cukup jauh antara Jokowi dan calon lainnya. Hanya, meski Jokowi memiliki potensi besar, di luar dirinya masih terdapat faktor yang sangat menentukan: apakah Jokowi akan dicalonkan oleh PDIP? Tiket calon presiden bagi PDIP sepenuhnya berada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sejauh ini, mengenai calon presiden, faktor elektabilitas sepertinya belum cukup meyakinkan beberapa kalangan internal PDIP untuk serta-merta mendorong pencalonan Jokowi. Sayup-sayup bahkan muncul alternatif, salah satunya mendorong kemungkinan duet Megawati-Jokowi. Gambaran elektabilitas memperlihatkan, apabila Jokowi tidak maju sebagai capres dalam pilpres 2014, yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki elektabilitas di bawah Jokowi. Prabowo atau Aburizal adalah dua figur yang bisa meraih limpahan suara apabila Jokowi tidak dicalonkan. Inilah tantangan PDIP. Keinginan sebagian besar rakyat memilih Jokowi sebagai presiden yang tecermin melalui berbagai riset merupakan aspirasi yang sulit dibendung. Sebuah aspirasi yang juga memberi jalan lapang bagi PDIP untuk memenangi pemilihan legislatif 2014. Itulah peta politik 2014. Namun, dalam politik, terpaku rumus: politik tidak linier. Karena itu, belum pastinya Jokowi maju sebagai calon presiden menjadikan kontestasi pilpres 2014 masih cair. Selain itu, seperti dalam kajian Soegeng Sarjadi Syndicate, saat ini terdapat wacana tentang pemilu serentak dan penghapusan presidential threshold. Beberapa kalangan sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Jika hal tersebut dikabulkan, ada kemungkinan kontestasi juga bisa sedikit-banyak berubah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar