PROSPEK POLITIK
2014
Merawat Benih Pendorong Perubahan
Amir Sodikin dan Nina Susilo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
ANAK-anak muda pemegang
teknologi dan ”gadget” kini terasing dari kancah politik Indonesia. Mereka
seolah tak menjadi bagian dari pembicaraan yang dilakukan politisi. Pada saat
yang sama, mereka menganggap politik kotor dan busuk. Maka, tak mengherankan
jika mereka memilih sinis dan apatis.
Maka, dua generasi yang berbeda
dalam perbedaan ideologi dan cara pandang hidup itu kini sedang berseteru di
Indonesia. Kubu generasi tua bersenjatakan politik untuk mengontrol
Indonesia. Kubu generasi muda berusaha merebutnya dengan teknologi internet
yang mereka kuasai.
Dari pemilu ke pemilu, jumlah
golongan putih (golput) yang didominasi anak muda terus meningkat. Sebagian
mereka memilih jalan golput sebagai perlawanan terakhir yang bisa mereka
lakukan. Ketika tembok hegemoni rezim kekuasaan tak lagi bisa diketuk, mereka
memilih tak mau datang ke tempat pemungutan suara.
Dalam konteks partisipasi politik
warga, memilih golput dengan alasan politis merupakan bentuk partisipasi pula
yang disalurkan dengan cara sinis.
Menurut Direktur Riset Charta
Politica Yunarto Wijaya, secara kuantitatif, jumlah golput akan terus
meningkat. Namun, yang akan meningkat adalah golput karena alasan apatis,
bukan golput karena apolitis, bukan pula golput karena administratif.
Pemicunya adalah meningkatnya
ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara. Kebijakan negara juga tak
menyentuh problem riil masyarakat. ”Yang
terbesar nanti adalah golput apatis, ketika mereka acuh, tidak peduli, yang
disebabkan sistem politik dan sistem pemilu yang tidak ideal,” kata
Yunarto.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas
Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti mengatakan, sikap apatis warga lebih
berbahaya ketimbang golput jenis lain.
Sebab, pemilih golput karena politik
masih akan berubah sikap ketika ada tawaran yang menjanjikan harapan. ”Sebaliknya, pemilih apatis tak
memedulikan apa pun yang dilakukan partai,” ucap Ramlan. Tahun 2014,
partisipasi warga diprediksikan akan makin turun jika tak ada perubahan besar
di negeri ini.
Secara statistik, partisipasi
warga dalam memilih turun jika dilihat dari Pemilu 1999 (golput 10,21
persen), 2004 (golput 23,34 persen), dan 2009 (golput 39,10 persen).
Kecenderungan ini, ditambah perilaku para politisi korup, menimbulkan
kekhawatiran partisipasi Pemilu 2014 makin rendah.
Meski demikian, baik Yunarto
maupun Ramlan mengingatkan, partisipasi dalam memilih tak sepenuhnya bisa
dijadikan acuan kualitas demokrasi. Masih ada kualitas pilihan warga yang
menjadi indikator lain.
Pada zaman Orde Baru, partisipasi
pemilih tinggi, tetapi disebabkan intimidasi dan mobilisasi sehingga kualitas
demokrasi rendah. Sebaliknya, jika partisipasi pemilih hanya 70 persen,
tetapi sepenuhnya ditentukan dengan kesadaran, demokrasi lebih berkualitas.
Tentu saja idealnya partisipasi tinggi dan penentuan pilihan berdasarkan
pertimbangan matang warga.
Pemilih muda
Salah satu usaha meningkatkan
partisipasi politik adalah dengan mendekati kaum muda yang kini lekat dengan
dunia siber. Mereka memimpikan adanya demokrasi elektronik (e-demokrasi) yang
didasarkan pada partisipasi warga dan dibangun di atas keterbukaan informasi
era siber.
Yunarto mengatakan, anak-anak muda
ini masih bisa diberi pemahaman mengenai politik yang baru. Pola pikir mereka
lebih terbuka. Mereka juga kalangan yang memegang informasi dari berbagai
sumber sehingga mereka imun terhadap pengaruh yang tak sesuai keinginan
mereka.
”Secara
kualitas jumlah mereka juga besar, umur 17 hingga 31 tahun, artinya pemilih
yang telah memilih sekali atau tiga kali, itu 38 persen dari keseluruhan
pemilih. Itu angka yang luar biasa,” kata Yunarto.
Di Amerika Serikat telah terbukti
bagaimana pemilih muda bisa menentukan arah perubahan dan itu dilakukan
Barack Obama ketika memenangi pemilu. Waktu itu, sosok Obama dan revolusi
dunia media sosial telah menggerakkan partisipasi pemilih muda pada rentang
18-24 tahun.
”Itu terbukti efektif dilakukan di
Amerika Serikat dan bisa dilakukan di Indonesia,” ujar Yunarto. Karakter
pemilih muda adalah mereka sangat kritis, sedang dalam pencarian jati diri,
terbuka dan spontan, serta lebih mudah untuk diberi nilai-nilai baru soal politik.
Mendekati mereka harus dengan
metode pendekatan komunikatif, menggunakan gaya bahasa mereka, dan harus
diajak komunikasi dua arah. ”Penetrasi
terhadap anak-anak muda ini juga harus melibatkan komunitas mereka bernaung,
tidak bisa secara individu,” lanjutnya.
Aktivis yang juga Direktur Public
Virtue Institute, Usman Hamid, meyakini, media sosial adalah kekuatan baru
untuk gerakan perubahan sosial. Media baru ini telah menggantikan ruang
publik yang selama ini dikungkung kekuasaan. Anak-anak muda yang
menjadi netizen potensial bisa mengubah keadaan lebih baik.
Media sosial kini bisa menjadi
harapan untuk mentransformasikan ide-ide gerakan dari dunia nyata. ”Kita telah punya pengalaman bagus.
Pengalaman ketika mendukung KPK di media sosial akhirnya bisa jadi kekuatan
riil waktu itu,” kata Usman.
Diakui, memang ada problem serius
antara politik dunia riil dan media sosial. Anak-anak muda yang tersingkirkan
dari panggung politik telah memiliki persepsi, politik riil itu busuk dan
didominasi oligarki pemodal. Dampaknya, mereka seolah lari dari panggung
politik riil.
Namun, banyak contoh
pengorganisasian gerakan yang berhasil karena bermula dari media sosial.
Bahkan, keberhasilan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memenangi Pilkada DKI
Jakarta mulai memacu harapannetizen untuk menggapai hal yang lebih besar
lagi.
AE Priyono, peneliti dari Public Virtue Institute, menyatakan,
dari kisah sukses Jokowi-Basuki yang berhasil menggalang dukungan dari media
sosial, kini lahir imajinasi politik, yaitu mimpi mewujudkan jalan menuju
perubahan Indonesia baru.
”Inilah
imajinasi yang sedang dirawat para aktivis siber dan aktivis media sosial
agar terwujud pada 2014 nanti,” ujarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar