Senin, 30 Desember 2013

Merawat Benih Pendorong Perubahan



PROSPEK POLITIK 2014

Merawat Benih Pendorong Perubahan

Amir Sodikin dan Nina Susilo  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013

 

ANAK-anak muda pemegang teknologi dan ”gadget” kini terasing dari kancah politik Indonesia. Mereka seolah tak menjadi bagian dari pembicaraan yang dilakukan politisi. Pada saat yang sama, mereka menganggap politik kotor dan busuk. Maka, tak mengherankan jika mereka memilih sinis dan apatis.
Maka, dua generasi yang berbeda dalam perbedaan ideologi dan cara pandang hidup itu kini sedang berseteru di Indonesia. Kubu generasi tua bersenjatakan politik untuk mengontrol Indonesia. Kubu generasi muda berusaha merebutnya dengan teknologi internet yang mereka kuasai.

Dari pemilu ke pemilu, jumlah golongan putih (golput) yang didominasi anak muda terus meningkat. Sebagian mereka memilih jalan golput sebagai perlawanan terakhir yang bisa mereka lakukan. Ketika tembok hegemoni rezim kekuasaan tak lagi bisa diketuk, mereka memilih tak mau datang ke tempat pemungutan suara.

Dalam konteks partisipasi politik warga, memilih golput dengan alasan politis merupakan bentuk partisipasi pula yang disalurkan dengan cara sinis.
Menurut Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya, secara kuantitatif, jumlah golput akan terus meningkat. Namun, yang akan meningkat adalah golput karena alasan apatis, bukan golput karena apolitis, bukan pula golput karena administratif.

Pemicunya adalah meningkatnya ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara. Kebijakan negara juga tak menyentuh problem riil masyarakat. ”Yang terbesar nanti adalah golput apatis, ketika mereka acuh, tidak peduli, yang disebabkan sistem politik dan sistem pemilu yang tidak ideal,” kata Yunarto.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti mengatakan, sikap apatis warga lebih berbahaya ketimbang golput jenis lain. 

Sebab, pemilih golput karena politik masih akan berubah sikap ketika ada tawaran yang menjanjikan harapan. ”Sebaliknya, pemilih apatis tak memedulikan apa pun yang dilakukan partai,” ucap Ramlan. Tahun 2014, partisipasi warga diprediksikan akan makin turun jika tak ada perubahan besar di negeri ini.

Secara statistik, partisipasi warga dalam memilih turun jika dilihat dari Pemilu 1999 (golput 10,21 persen), 2004 (golput 23,34 persen), dan 2009 (golput 39,10 persen). Kecenderungan ini, ditambah perilaku para politisi korup, menimbulkan kekhawatiran partisipasi Pemilu 2014 makin rendah.

Meski demikian, baik Yunarto maupun Ramlan mengingatkan, partisipasi dalam memilih tak sepenuhnya bisa dijadikan acuan kualitas demokrasi. Masih ada kualitas pilihan warga yang menjadi indikator lain.

Pada zaman Orde Baru, partisipasi pemilih tinggi, tetapi disebabkan intimidasi dan mobilisasi sehingga kualitas demokrasi rendah. Sebaliknya, jika partisipasi pemilih hanya 70 persen, tetapi sepenuhnya ditentukan dengan kesadaran, demokrasi lebih berkualitas. Tentu saja idealnya partisipasi tinggi dan penentuan pilihan berdasarkan pertimbangan matang warga.

Pemilih muda

Salah satu usaha meningkatkan partisipasi politik adalah dengan mendekati kaum muda yang kini lekat dengan dunia siber. Mereka memimpikan adanya demokrasi elektronik (e-demokrasi) yang didasarkan pada partisipasi warga dan dibangun di atas keterbukaan informasi era siber.

Yunarto mengatakan, anak-anak muda ini masih bisa diberi pemahaman mengenai politik yang baru. Pola pikir mereka lebih terbuka. Mereka juga kalangan yang memegang informasi dari berbagai sumber sehingga mereka imun terhadap pengaruh yang tak sesuai keinginan mereka.

”Secara kualitas jumlah mereka juga besar, umur 17 hingga 31 tahun, artinya pemilih yang telah memilih sekali atau tiga kali, itu 38 persen dari keseluruhan pemilih. Itu angka yang luar biasa,” kata Yunarto.

Di Amerika Serikat telah terbukti bagaimana pemilih muda bisa menentukan arah perubahan dan itu dilakukan Barack Obama ketika memenangi pemilu. Waktu itu, sosok Obama dan revolusi dunia media sosial telah menggerakkan partisipasi pemilih muda pada rentang 18-24 tahun.

”Itu terbukti efektif dilakukan di Amerika Serikat dan bisa dilakukan di Indonesia,” ujar Yunarto. Karakter pemilih muda adalah mereka sangat kritis, sedang dalam pencarian jati diri, terbuka dan spontan, serta lebih mudah untuk diberi nilai-nilai baru soal politik.

Mendekati mereka harus dengan metode pendekatan komunikatif, menggunakan gaya bahasa mereka, dan harus diajak komunikasi dua arah. ”Penetrasi terhadap anak-anak muda ini juga harus melibatkan komunitas mereka bernaung, tidak bisa secara individu,” lanjutnya.

Aktivis yang juga Direktur Public Virtue Institute, Usman Hamid, meyakini, media sosial adalah kekuatan baru untuk gerakan perubahan sosial. Media baru ini telah menggantikan ruang publik yang selama ini dikungkung kekuasaan. Anak-anak muda yang menjadi netizen potensial bisa mengubah keadaan lebih baik.

Media sosial kini bisa menjadi harapan untuk mentransformasikan ide-ide gerakan dari dunia nyata. ”Kita telah punya pengalaman bagus. Pengalaman ketika mendukung KPK di media sosial akhirnya bisa jadi kekuatan riil waktu itu,” kata Usman.

Diakui, memang ada problem serius antara politik dunia riil dan media sosial. Anak-anak muda yang tersingkirkan dari panggung politik telah memiliki persepsi, politik riil itu busuk dan didominasi oligarki pemodal. Dampaknya, mereka seolah lari dari panggung politik riil.

Namun, banyak contoh pengorganisasian gerakan yang berhasil karena bermula dari media sosial. Bahkan, keberhasilan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memenangi Pilkada DKI Jakarta mulai memacu harapannetizen untuk menggapai hal yang lebih besar lagi.

AE Priyono, peneliti dari Public Virtue Institute, menyatakan, dari kisah sukses Jokowi-Basuki yang berhasil menggalang dukungan dari media sosial, kini lahir imajinasi politik, yaitu mimpi mewujudkan jalan menuju perubahan Indonesia baru.

”Inilah imajinasi yang sedang dirawat para aktivis siber dan aktivis media sosial agar terwujud pada 2014 nanti,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar