Pendidikan
dan Paradigma Filosofis
Husein Ja’far Al Hadar ; Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy), Jakarta
|
KOMPAS,
30 Desember 2013
JIKAPUN tak mau dinilai semuanya, mayoritas
filsuf tak hanya dikenal sebagai filsuf saja. Biasanya mereka juga menjadi
tokoh utama di bidang keilmuan lain. Dalam Islam, ada Ibn Sina, yang selain
dikenal sebagai filsuf juga merupakan tokoh kedokteran. Di Barat ada Adam
Smith, filsuf yang juga menjadi tokoh bidang ekonomi. Ada juga Sigmund Freud,
yang selain filsuf juga menjadi bapak psikologi. Atau Machiavelli, yang juga
menjadi pemikir di bidang politik.
Fakta itu bukan hanya narasi yang
mengukuhkan eksistensi filsafat sebagai induk semua bidang keilmuan,
melainkan juga indikasi tentang signifikansi berpikir filosofis pada umat
manusia.
Berpikir filosofis adalah salah
satu kunci utama kematangan paradigma seseorang. Tidaklah mengherankan jika seorang
Steve Jobs, mantan CEO Apple Inc, mengungkap- kan peran penting membaca
buku-buku dan pemikiran-pemikiran filsafat sebagai penentu kesuksesan
membangun kerajaan bisnis raksasa bernama Apple Inc (Walter Isaacson dalam Steve Jobs, terjemahan Bentang, 2011).
Dalam konteks ini, penulis hendak memosisikan
filsafat bukan sebagai induk segala keilmuan, melainkan lebih pada
sistematika berpikir yang menjadi salah satu ciri paling khas dari filsafat.
Bahkan, dalam karyanya yang
berjudul Elements of Philosophy, Kattsoff (1963) memosisikan berpikir filosofis,
dengan cirinya yakni berpikir kritis, sistematis, runtut, rasional, dan
komprehensif, sebagai tonggak sekaligus pengertian filsafat.
Namun, filsafat sebagai
sistematika berpikir justru kerap tak disadari dan tak diserap secara utuh.
Maka, yang muncul adalah kerancuan
berpikir dari para pengkaji filsafat.
Akhirnya, filsafat lebih
berfungsi, dipahami, dan dinilai sebagai dekonstruksi ketimbang sebagai
rekonstruksi.
Integral
Dua peran filsafat, baik sebagai
dekonstruksi maupun rekonstruksi, sebenarnya selalu integral. Pemisahan
keduanya justru mereduksi keutuhan filsafat.
Filsafat sebagai metode berpikir
memang berfungsi sebagai dekonstruksi bagi pola pikir yang irasional dan tak
runtut. Dia akan menghunjam dan menghancurkan paradigma yang rancu itu.
Dekonstruksi terjadi karena latar
belakang untuk merekonstruksi guna membentuk pola pikir yang filosofis:
sistematis, logis, dan koheren. Itulah nilai ”sakral” sebagai sebuah tanggung
jawab dari filsafat.
Fungsi dan peran filsafat sebagai
metode berpikir (secara filosofis, dalam mendekonstruksi dan kemudian
merekonstruksi) itu begitu kental terlihat pada masa awal filsafat, yakni
filsafat Yunani.
Awalnya, filsuf generasi awal
Yunani, seperti Thales dan Pythagoras, melakukan dekonstruksi atas pola pikir
mitologis yang berkembang di Babilonia dan Mesir, yang kemudian dikenal
dengan upaya demitologisasi.
Upaya dilanjutkan oleh para filsuf
Yunani berikutnya, seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato, yang dengan
mendasar, hati-hati, dan cermat merekonstruksi dasar-dasar berpikir filosofis
sebagai tonggak kegiatan berfilsafat dan berpikir selanjutnya.
Karena itu, seberapa jauh filsafat
itu dipahami, dikaji, dan dikembangkan, nilai-nilai dasar yang ditancapkan
oleh para filsuf Yunani itu terasa pengaruhnya pada hampir semua filsuf, baik
Islam maupun Barat.
Filsafat sebagai metode berpikir
inilah yang kian kurang dieksplorasi, dikaji, dan diterapkan.
Padahal, itulah sumbu utama
filsafat sehingga bisa menjadi induk sekaligus pelopor dan pengembang bidang
keilmuan lain.
Pola pikir yang kritis,
sistematis, rasional, dan koheren −sebagai pola pikir filosofis− itulah yang
sebenarnya membuat para filsuf menjadi luwes, cerdas, dan cermat dalam
mengembangkan bidang keilmuan turunannya, mulai dari sains hingga politik dan
bisnis sekalipun.
Itu juga yang seharusnya menjadi
salah satu cita-cita filsafat di era postmodernisme sehingga filsafat memberi
bekas dan kontribusi positif yang berpengaruh bagi peradaban manusia.
Kurikulum kita
Dalam konteks Indonesia, pola
pikir filosofis menjadi bagian integral dalam kurikulum pendidikan kita.
Dengan demikian, anak-anak kita
sejak dini telah dididik dalam kurikulum yang berbasis pada paradigma
berpikir filosofis.
Nantinya, apa pun bidang yang
dipilih dan digeluti oleh anak didik ketika dewasa menjadi fondasi berupa
paradigma berpikir filosofis yang akan membuat buah pikirannya—dalam bidang
apa pun—menjadi monumental dan berpengaruh besar bagi peradaban karena telah
memenuhi nilai-nilai dasar keilmuan: rasional, sistematis, koheren, juga visioner.
Dalam konteks dunia Islam modern,
ini pula yang dibayangkan Seyyed Hossein Nasr, seperti ditulisnya dalam salah
satu bab di buku Traditional Islam
in the Modern World (1987). Ia membayangkan, pendidikan Islam di
dunia modern berbasis paradigma berpikir filosofis sesuai nilai-nilai
filsafat Islam yang berakar pada filsafat Yunani.
Akhirnya, pola pikir filosofis
dengan segala cirinya harus menjadi tolok ukur kemodernan.
Sebagaimana diamanatkan oleh
Nurcholish Madjid dalam Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan (Mizan,
2008), modernisasi tidak diukur dengan westernisasi, tetapi
rasionalisasi.
Mereka yang mampu menghadirkan
pemikiran dan karya berbasis pola pikir filosofis yang bisa
dipertanggungjawabkan itulah generasi modern. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar