Selasa, 31 Desember 2013

Pendidikan dan Paradigma Filosofis

Pendidikan dan Paradigma Filosofis

Husein Ja’far Al Hadar  ;   Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy), Jakarta
KOMPAS,  30 Desember 2013

  

JIKAPUN tak mau dinilai semuanya, mayoritas filsuf tak hanya dikenal sebagai filsuf saja. Biasanya mereka juga menjadi tokoh utama di bidang keilmuan lain. Dalam Islam, ada Ibn Sina, yang selain dikenal sebagai filsuf juga merupakan tokoh kedokteran. Di Barat ada Adam Smith, filsuf yang juga menjadi tokoh bidang ekonomi. Ada juga Sigmund Freud, yang selain filsuf juga menjadi bapak psikologi. Atau Machiavelli, yang juga menjadi pemikir di bidang politik.
Fakta itu bukan hanya narasi yang mengukuhkan eksistensi filsafat sebagai induk semua bidang keilmuan, melainkan juga indikasi tentang signifikansi berpikir filosofis pada umat manusia.

Berpikir filosofis adalah salah satu kunci utama kematangan paradigma seseorang. Tidaklah mengherankan jika seorang Steve Jobs, mantan CEO Apple Inc, mengungkap- kan peran penting membaca buku-buku dan pemikiran-pemikiran filsafat sebagai penentu kesuksesan membangun kerajaan bisnis raksasa bernama Apple Inc (Walter Isaacson dalam Steve Jobs, terjemahan Bentang, 2011).

Dalam konteks ini, penulis hendak memosisikan filsafat bukan sebagai induk segala keilmuan, melainkan lebih pada sistematika berpikir yang menjadi salah satu ciri paling khas dari filsafat.

Bahkan, dalam karyanya yang berjudul Elements of Philosophy, Kattsoff (1963) memosisikan berpikir filosofis, dengan cirinya yakni berpikir kritis, sistematis, runtut, rasional, dan komprehensif, sebagai tonggak sekaligus pengertian filsafat.
Namun, filsafat sebagai sistematika berpikir justru kerap tak disadari dan tak diserap secara utuh.

Maka, yang muncul adalah kerancuan berpikir dari para pengkaji filsafat.
Akhirnya, filsafat lebih berfungsi, dipahami, dan dinilai sebagai dekonstruksi ketimbang sebagai rekonstruksi.

Integral

Dua peran filsafat, baik sebagai dekonstruksi maupun rekonstruksi, sebenarnya selalu integral. Pemisahan keduanya justru mereduksi keutuhan filsafat.
Filsafat sebagai metode berpikir memang berfungsi sebagai dekonstruksi bagi pola pikir yang irasional dan tak runtut. Dia akan menghunjam dan menghancurkan paradigma yang rancu itu.

Dekonstruksi terjadi karena latar belakang untuk merekonstruksi guna membentuk pola pikir yang filosofis: sistematis, logis, dan koheren. Itulah nilai ”sakral” sebagai sebuah tanggung jawab dari filsafat.

Fungsi dan peran filsafat sebagai metode berpikir (secara filosofis, dalam mendekonstruksi dan kemudian merekonstruksi) itu begitu kental terlihat pada masa awal filsafat, yakni filsafat Yunani.

Awalnya, filsuf generasi awal Yunani, seperti Thales dan Pythagoras, melakukan dekonstruksi atas pola pikir mitologis yang berkembang di Babilonia dan Mesir, yang kemudian dikenal dengan upaya demitologisasi.

Upaya dilanjutkan oleh para filsuf Yunani berikutnya, seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato, yang dengan mendasar, hati-hati, dan cermat merekonstruksi dasar-dasar berpikir filosofis sebagai tonggak kegiatan berfilsafat dan berpikir selanjutnya.

Karena itu, seberapa jauh filsafat itu dipahami, dikaji, dan dikembangkan, nilai-nilai dasar yang ditancapkan oleh para filsuf Yunani itu terasa pengaruhnya pada hampir semua filsuf, baik Islam maupun Barat.

Filsafat sebagai metode berpikir inilah yang kian kurang dieksplorasi, dikaji, dan diterapkan.

Padahal, itulah sumbu utama filsafat sehingga bisa menjadi induk sekaligus pelopor dan pengembang bidang keilmuan lain.

Pola pikir yang kritis, sistematis, rasional, dan koheren −sebagai pola pikir filosofis− itulah yang sebenarnya membuat para filsuf menjadi luwes, cerdas, dan cermat dalam mengembangkan bidang keilmuan turunannya, mulai dari sains hingga politik dan bisnis sekalipun.

Itu juga yang seharusnya menjadi salah satu cita-cita filsafat di era postmodernisme sehingga filsafat memberi bekas dan kontribusi positif yang berpengaruh bagi peradaban manusia.

Kurikulum kita

Dalam konteks Indonesia, pola pikir filosofis menjadi bagian integral dalam kurikulum pendidikan kita.

Dengan demikian, anak-anak kita sejak dini telah dididik dalam kurikulum yang berbasis pada paradigma berpikir filosofis.

Nantinya, apa pun bidang yang dipilih dan digeluti oleh anak didik ketika dewasa menjadi fondasi berupa paradigma berpikir filosofis yang akan membuat buah pikirannya—dalam bidang apa pun—menjadi monumental dan berpengaruh besar bagi peradaban karena telah memenuhi nilai-nilai dasar keilmuan: rasional, sistematis, koheren, juga visioner.

Dalam konteks dunia Islam modern, ini pula yang dibayangkan Seyyed Hossein Nasr, seperti ditulisnya dalam salah satu bab di buku Traditional Islam in the Modern World (1987). Ia membayangkan, pendidikan Islam di dunia modern berbasis paradigma berpikir filosofis sesuai nilai-nilai filsafat Islam yang berakar pada filsafat Yunani.

Akhirnya, pola pikir filosofis dengan segala cirinya harus menjadi tolok ukur kemodernan.

Sebagaimana diamanatkan oleh Nurcholish Madjid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Mizan, 2008), modernisasi tidak diukur dengan westernisasi, tetapi rasionalisasi.

Mereka yang mampu menghadirkan pemikiran dan karya berbasis pola pikir filosofis yang bisa dipertanggungjawabkan itulah generasi modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar