Kesadaran
Maritim
Andi Perdana Gumilang ; Peneliti dan Mahasiswa Program
Pascasarjana IPB
|
SUARA
KARYA, 26 Desember 2013
Sekadar mengingatkan, tanggal 13 Desember lalu
diperingati sebagai Hari Nusantara (Harnus). Momentum ini memiliki makna
bahwa wilayah Indonesia bukan hanya daratan tetapi juga lautan. Sejatinya, 56
tahun yang lalu tepatnya pada 13 Desember 1957 telah dideklarasikan kepada
dunia bahwa Indonesia berdaulat penuh atas seluruh wilayah perairan yang
menghubungkan pulau-pulau Nusantara tanpa memandang luas atau lebarnya.
Deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi Djuanda menjadi titik
awal perubahan radikal konsep hukum laut warisan Hindia Belanda seperti
diatur dalam Ordonansi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939.
Makna strategis yang terkandung dalam
deklarasi ini adalah adanya perubahan paradigma wawawasan Nusantara yang
dianut. Jika sebelumnya laut dipandang sebagai pembatas atau pemisah antar
pulau karena adanya zona laut bebas di dalamnya, maka dengan deklarasi ini
laut dijadikan sebagai pemersatu dan perekat pulau-pulau dalam wilayah
kedaulatan Indonesia.
Adanya pengakuan dunia dalam United Nation
Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS '82) mengenai bentuk negara
kepulauan, menjadi bagian penting dalam konstitusi Indonesia melalui
amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 2000. Dalam UUD 1945 hasil
perubahan kedua, pada BAB IX A mengenai Wilayah Negara, pasal 25A telah
menyatakan bahwa: "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara".
Konsep Wawasan Nusantara yang mengantarkan
diterimanya konsep negara kepulauan di dalam konvensi hukum laut
internasional, sudah seharusnya menjadi ramuan dasar dalam pengembangan
konsep kebijakan pengelolaan wilayah perairan dan wilayah yuridis Indonesia.
Karena itu dalam upaya mengelola wilayah laut dan sumberdayanya, Indonesia
perlu mengembangkan konsep kebijakan kepulauan (Archipelago policy).
Menurut data UNCLOS 1982, luas wilayah
perairan Indonesia meliputi kawasan laut 3,1 juta km2 yang terdiri dari
perairan kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan wilayah laut seluas 0,3 juta km2.
Selain Itu, Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas sumber kekayaan alam
dan berbagai kepentingan yang ada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang
telah diakui internasional seluas 2,7 juta km2. Dengan demikian, saat ini
Indonesia memiliki wilayah laut sebesar 5,8 juta km2 yang lebih luas daripada
daratan sehingga perlu ditanamkan kesadaran kepada setiap orang, terlebih
pemangku kebijakan dalam merumuskan pembangunan bahwa Indonesia adalah negara
maritim.
Setidaknya beberapa hal yang dapat dijadikan
dasar dalam menanamkan kesadaran maritim. Pertama, keunggulan potensi laut.
Kekayaan laut Indonesia jauh melebihi negara-negara di kawasan ASEAN maupun
Asia Pasifik. Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 dengan garis
pantai sepanjang lebih dari 95.200 km dan merekatkan sekitar 17.504 pulau
untuk membentuk satu gugusan kepulaun terbesar di dunia telah memendam
beragam potensi yang belum termanfaatkan secara optimal.
Estimasi sumber daya perikanan di wilayah
perairan Indonesia termasuk wilayah ZEE adalah 6,5 juta ton per tahun. Jika
diasumsikan harga ikan 1.000 dolar AS per ton, maka laut Indonesia memiliki
potensi sekitar 5 miliar dolar AS tentunya dengan mempertimbangkan prinsip
kelestarian sumber daya ikan. Disamping itu, laut nusantara diyakini
menyimpan berlimpah cadangan hidrokarbon berupa minyak dan gas bumi. Puluhan
cekungan yang telah terinvetarisir di wilayah perairan hingga sekarang
pengelolaannya belum mampu dimanfaatkan secara keseluruhan oleh negara secara
berdaulat, ironisnya perusahaan swasta asing lebih mendominasi
pengelolaannya. Laut Indonesia juga menyajikan keindahan dan kekayaan bio
diversity yang bisa dijadikan wisata bahari. Sebagai contoh, Kepulauan Raja
Ampat di dekat kota Sorong, Papua Barat yang bisa menambah pemasukan devisa
negara.
Kedua, posisi strategis Indonesia. Posisi yang
diapit oleh dua samudera (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia) dan dibatasi
oleh dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) menjadikannya berada pada
titik strategis yang sangat menguntungkan. Dari segi ekonomi, Indonesia
berada pada jalur perdagangan internasional yang melalui selat tersibuk di
dunia, yaitu Selat Malaka. Selain Selat Malaka, jalur perdagangan internasional
juga melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), seperti Selat Makassar,
Selat Lombok, Selat Sunda dan Laut Banda.
Sayangnya anugerah yang luar biasa itu belum
disadari benar oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. Paradigma
pembangunan ekonomi masih bertumpu pada satu kaki (daratan) yang masih
mendominasi dalam kegiatannya. Karena itu pemerintah sudah saatnya membuat
perubahan paradigma pembangunan nasional, dari daratan menjadi lautan. Dalam
hal ini diperlukan keterpaduan pembangunan sosial ekonomi di darat dan laut.
Negara perlu fokus untuk mengembangkan industri hulu sampai hilir berbasis
kekayaan alam sebagai penggerak ekonomi terutama potensi laut agar bisa
dioptimalkan.
Sumber-sumber kekayaan alam laut perlu dikelola oleh negara yang
menjadi hak pengelolaannya jangan sampai diserahkan pengelolaannya kepada
swasta asing.
Selain itu pembangunan daerah di 92 pulau
terluar perlu dikembangkan dan dijaga keamanannya. Beberapa isu strategis di
pulau perbatasan seperti penetapan segmen-segmen garis batas yang belum
selesai, persepsi perbatasan sebagai halaman belakang, kesejahteraan
masyarakat perbatasan yang tidak diperhatikan, pos lintas batas yang kurang,
sarana dan prasarana pelayanan sosial dasar yang kurang, minimnya SDM dan
pelanggaran hukum perlu segera diatasi. Pemerintah harus serius memperbaiki
taraf ekonomi masyarakat perbatasan diantaranya dengan menyediakan
infrastruktur yang memadai seperti akses jalan, telekomunikasi, pelabuhan
laut-udara, air bersih dan energi listrik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar