Imparsialitas
Perguruan Tinggi
F Budi Hardiman ; Pengajar STF Driyarkara
|
KOMPAS,
28 Desember 2013
MASIH diingat dalam literatur
Eropa, Plato membeli halaman kuil Hekademos dari uang tebusan atas dirinya
yang akan dijual sebagai budak oleh seorang tiran.
Kampus tertua, Akademia, didirikan
atas tebusan kebebasan itu. Kisah itu mengingatkan kita kembali bahwa
perguruan tinggi didirikan bukan demi uang atau kuasa, melainkan demi
intelektualitas yang esensinya adalah kebebasan berpikir. Kemajuan peradaban
modern menambahkan dua nilai dasariah lagi, yaitu imparsialitas dan
universalitas. ”Sebuah universitas...
menurut namanya,” demikian tulis John Henry Newman dalam The Idea of a University, ”bertugas untuk mengajarkan pengetahuan
universal.” Newman bicara tentang kultur intelektual yang membagikan
pengetahuan secara imparsial. Kampus adalah ruang untuk berpikir jernih.
Dewasa ini, justru ketika globalisasi menyebarkan universalisme dan
kebebasan, secara ironis muncul tendensi partikularisasi di kampus-kampus
kita.
Bukan hanya agama sebagai
identitas, melainkan juga orientasi bisnis membuat ruang berpikir itu menjadi
keruh dan bising. Sekarang ini, justru dalam demokrasi, kampus ikut dalam
hiruk-pikuk kepentingan. Yang terancam di sini adalah imparsialitas. Situasi
tersebut mendesak kita untuk menimbang kembali peran perguruan tinggi kita
pada umumnya dalam menyongsong Pemilu 2014. Bagaimanakah perguruan tinggi
memainkan peran khasnya di tengah-tengah turbulensi politis kita?
Reproduksi ruang publik
Dikatakan dengan padat, peran
perguruan tinggi dalam demokrasi adalah reproduksi ruang publik. Ia harus
mendorong—mengacu pada Kant—public use of reason. Bersama pers dan masyarakat
warga, ia berkontribusi dalam regenerasi, multiplikasi, dan ekspansi
bentuk-bentuk komunikasi yang bebas dan setara dalam masyarakat demokratis.
Ruang publik direproduksi lewat distribusi hak-hak komunikasi warga yang
praktis dilakukan lewat institusi pendidikan.
Tugas itu terkait ”Tridarma
Perguruan Tinggi”. Pertama, pengajaran memungkinkan sosialisasi nilai-nilai
kewarganegaraan yang mengalihkan para mahasiswa dari yang privat ke dalam
yang publik. Kedua, penelitian membuka wawasan-wawasan baru dan
kesadaran-kesadaran baru untuk menemukan tidak hanya potensi-potensi, tetapi
juga kendala-kendala masyarakat kita dalam demokratisasi. Ketiga, pengabdian
kepada masyarakat merupakan tugas penyadaran hak-hak komunikasi publik dalam
demokrasi pada umumnya dan pemilu pada khususnya. Hasil pelaksanaan ketiga
pilar itu adalah ”keadaban publik” (public
civility).
Bagian sentral keadaban publik
adalah pelaksanaan pemilu yang berintegritas. Integritas pemilu memang banyak
bergantung pada para aktor dalam partai-partai, lembaga-lembaga pengawas, dan
para pemilih. Namun, tanpa peran perguruan tinggi, integritas pemilu sulit
diwujudkan. Dalam hal ini perguruan tinggi menduduki posisi khas sebagai
otoritas intelektual bagi pencarian keadilan sebagai fairness. Suaranya
otoritatif untuk menyingkap apa yang adil dan tak adil, dan apa yang benar
dan salah, hanya jika ia bersikap imparsial dan tidak terjebak entah dalam
jeratan kepentingan bisnis-politis ataupun eksklusivisme agama.
Reproduksi ruang publik memang
tugas politis, tetapi tugas itu tidak mengubah perguruan tinggi menjadi
lembaga politis. Public use of reason dilakukan oleh warga yang tak
langsung terlibat politik, tetapi memiliki efek politis. Kampus harus bebas
dari politisasi agar tetap menjangkau kepentingan semua pihak dan tidak
tersandera oleh kepentingan segelintir orang. Bicara tentang ”peran politis”
perguruan tinggi, yang kita maksudkan tak lain daripada ikut menjaga fairness dan
integritas proses demokratis. Dalam arti ini imparsialitas perguruan tinggi
terdapat dalam pemihakannya pada kebenaran.
Tiga tantangan
Menyongsong Pemilu 2014 ada
sekurangnya tiga tantangan yang dihadapi perguruan tinggi dalam melaksanakan
peran khasnya sebagai otoritas intelektual. Tantangan pertama terkait dengan
pasar. Globalisasi yang disertai ekspansi pasar telah ikut mendorong proses
komersialisasi pendidikan. Jika tidak hati-hati, perguruan tinggi dapat
kehilangan otonominya dan mengikuti dikte kepentingan pemodalnya. Politik
uang dapat terjadi dalam bentuk transaksi gelap kekuasaan antara politikus
dan pengusaha yang berbisnis pendidikan. Antisipasi harus dilakukan mengingat
di era reformasi ini banyak akademisi kampus menjadi politikus, sehingga jika
tidak hati-hati, kampus kehilangan imparsialitasnya.
Terjun ke politik adalah
hak konstitusional para insan kampus, tetapi pemakaian hak itu menjadi
berlebihan jika kampus dijadikan basis massa partai tertentu. Tim-tim sukses
dapat mengoyak kampus dalam pusaran kepentingan uang dan kuasa.
Jika di satu kutub kita temukan
politisasi kampus, ada juga bahaya dari kutub lawannya, yaitu depolitisasi
kampus sebagai akibat merebaknya kultur konsumerisme. Iklim komersialisasi
telah membuat banyak kampus kita lebih melayani pasar daripada melakukan
inovasi-inovasi kreatif untuk demokrasi.
Difrustrasikan oleh fakta bahwa
koruptor-koruptor besar juga ada di lingkungan kampus, apatisme terhadap
pemilu menjadi respons wajar. Namun, jika jumlah ”golput” meningkat di
kalangan kampus, bukanlah solusi yang didapat, melainkan problem baru bahwa
perguruan tinggi ikut andil dalam membiarkan status quo negeri ini. Cacat dalam imparsialitas dibuat tak
hanya dengan melayani kepentingan oligarkis bisnis-politis, tetapi juga
mengubur kesadaran politis lewat gaya hidup konsumeris.
Tantangan kedua terkait dengan
eksklusivisme agama. Sebuah universitas tentu boleh berbasis agama tertentu,
tetapi sejauh tetap ingin menyadang namanya, universitas berkewajiban untuk
membangun ”loyalitas konstitusi”. Civitas academica bukanlah
anggota civitas Dei, bukan umat, melainkan warga res publica. Newman yang melihat
pentingnya teologi dalam kurikulum universitas tetap mendesak agar para
mahasiswa dipersiapkan untuk mengenali ”maksim-maksim dunia ini”. Artinya,
kampus bukan biara, seminari, atau pesantren.
Namun, banyak perguruan tinggi
kita gagap terhadap ”pemucatan identitas” akibat globalisasi. Mereka
menguatkan identitas partikular dengan mencangkokkan eksklusivisme agama ke
dalam visi mereka. Mereka lupa bahwa tugas mereka sebagai otoritas
intelektual adalah rekonstruksi identitas bersama lewat ruang publik. Tetapi
bagaimana mereka bisa menjadi pionir dalam proyek ”identity in the making” kalau dijadikan kantong massa bagi
partai-partai berbasis agama? Kampus seharusnya merupakan ruang depolitisasi
agama dan bukan sebaliknya.
Tantangan ketiga terkait dengan
birokrasi pendidikan. Sistem perizinan, subsidi, hibah, dan tunjangan yang
diberikan oleh birokrasi dimaksudkan untuk menguatkan fungsi akademis
perguruan tinggi. Jika tidak hati-hati, kebijakan ini sekadar melatihkan
kegigihan administratif dan kurang merangsang inovasi akademis. Tumbuh dalam
kultur yang masih feodal, para insan kampus kita lebih gemar mencari status
daripada berinovasi dalam riset, lebih pintar menganggarkan proyek-proyek
daripada menghasilkan temuan ilmiah yang mencengangkan dunia.
Arogansi birokratis
Jika Newman dan para penulis Eropa
lain mewaspadai arogansi intelektual, kita terlebih perlu mewaspadai arogansi
birokratis. Kebanyakan orang kampus lebih bangga diri menjadi rektor, wakil
rektor, atau dekan daripada menjadi peneliti atau expert. Dalam atmosfer
seperti ini muncul loyalis-loyalis pejabat-pejabat tertentu yang dalam
periode tertentu berasal dari partai-partai tertentu. Rezim berubah, kampus
pun ganti warna. Contoh terkenal untuk sikap partisan atas birokrasi adalah
filsuf Martin Heidegger yang waktu itu sebagai rektor di Freiburg memihak
Nazi dan menjadi antisemitis terhadap koleganya sendiri, Karl Jaspers.
Siapa
dapat menjamin bahwa sikap partisan seperti itu tidak ada di kampus-kampus
kita?
Mengingat martabatnya sebagai
otoritas intelektual, sebuah perguruan tinggi yang tunduk pada
kepentingan-kepentingan partikular, entah dari pasar, agama, atau birokrasi,
kiranya lebih merugikan demokrasi daripada menguntungkannya. Kalkulasi
strategis membuatnya oportunis, dan kata Newman, ”kalkulasi tak pernah membuat seorang pahlawan”. Publik
mengharapkannya tetap memiliki suara profetis di tengah-tengah turbulensi
politis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar