Lagi,
Tentang NU dan ‘Buku Putih’ 1965
M Najib Yuliantoro ; Aktivis PCI NU Belgia
|
INDOPROGRESS,
17 Desember 2013
SEBAGAI warga Nahdliyyin, kita
perlu segera mempertanyakan: apa tujuan sesungguhnya diterbitkannya ‘Buku
Putih’ Benturan NU-PKI 1948-1965 itu? Apakah untuk
mengklarifikasi bahwa, katakanlah, PKI masih berbahaya, musuh ideologi
negara, sehingga NU—bersama militer—mesti melawan setiap gejala kebangkitan
PKI beserta ajaran-ajarannya? Atau, sebaliknya, untuk menerangkan bahwa NU
mulai terbuka terhadap berbagai rekonstruksi fakta sejarah pembunuhan massal
pasca G30S, di mana NU dengan penuh sadar mengaku sebagai pelaku—sekaligus
korban—dan dengan itu diharapkan dapat menghapus sisa-sisa stigma miring
akibat peristiwa G30S, yang hingga kini masih amat terasa baik di antara
keturunan PKI maupun NU, sehingga keduanya mampu memasuki suatu fase baru
dengan cara membangun proyek rekonsiliasi dan konsolidasi?
Di tengah harapan publik yang
semakin besar terhadap kejelasan arah pengusutan tragedi 1965, inisiatif NU
untuk menerbitkan buku yang menempatkannya bersama PKI dalam satu tarikan
nafas adalah suatu kemajuan penting yang patut diapresiasi. Hadirnya buku
tersebut menandai bahwa kita, warga NU, kini tak lagi perlu merasa tabu dan
rikuh membicarakan hubungan antara NU dan PKI dalam peristiwa pasca G30S.
Akan tetapi, seperti sudah diduga sebelumnya dan kemudian dinyatakan dengan
baik oleh Fayyadl, buku tersebut berjalan di atas logika setengah hati: NU
enggan mengakui perannya sebagai pelaku, sebab memang pelakunya tidak
tunggal. Lebih-lebih, NU merasa setali tiga uang dengan PKI, sama-sama
sebagai korban. PKI adalah korban ‘proyek politik’ militer. Sementara NU
adalah korban penghasutan militer untuk menghabisi PKI sekaligus juga, dalam
konteks tertentu, korban dari PKI.
Tak masuk akal apabila NU, di mana
sebagian besar warganya dididik dalam tradisi pesantren yang menjunjung
tinggi persaudaraan dapat seberingas itu, tega menghabisi nyawa tetangga
sendiri, jika tidak memperoleh bisikan sekaligus bekingan yang kuat dari
militer—atas nama negara. Seperti yang pernah penulis dengar dari seorang
kiai di Jawa Timur: saat itu, desas-desus yang terdengar di telinga santri
dan warga NU, ‘setelah jenderal dibunuh, PKI akan bergerak membunuh kiai-kiai
NU.’ Ditambah oleh situasi politik yang sudah keruh dan sekian peristiwa
sebelum-sebelumnya yang selalu mengandaikan adanya ‘benturan’ antara orang NU
dan orang PKI, lengkaplah sudah suatu kondisi yang dilematis sekaligus
mencekam: memukul atau dipukul. John Roosa menganalogikan: pukulan yang
menentukan, sebagaimana Anwar Congo dalam The Act of Killing menyebut:
membunuh atau dibunuh.
Maka sudah tepat apa yang pernah
dilontarkan oleh Franz Magnis-Suseno: ‘pembunuhan-pembunuhan itu—di mana
militer memang sangat terlibat—merupakan akibat dari segala ketegangan yang
terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya.’ Ada sebuah konteks ketegangan
yang juga perlu dimengerti kenapa warga NU saat itu begitu mudah, dan relatif
sangat cepat, termakan oleh desas-desus ‘rencana pembunuhan kiai oleh PKI.’
Kita masih ingat, bagaimana konteks ketegangan itu sebelumnya muncul,
misalnya, melalui pertunjukkan seni ludruk yang sarat pesan-pesan politik
PKI, seperti Malaikat Kimpoi, Gusti Allah Ngunduh Mantu,
Matine Gusti Allah, dst.. Pertunjukan-pertunjukan itu, betapapun
maksud awalnya adalah untuk mengritik pemerintah, cukup melukai keyakinan
teologis kaum santri NU. Hingga tak terlalu mengherankan apabila kemudian
muncul riak-riak kecil yang menandai adanya ‘benturan’ antara kaum abangan
dan kaum santri.
Luka-luka itu terus mengendap dan
menggumpal, melahirkan suatu kekesalan sekaligus dendam. Tragedi pasca G30S
adalah konfirmasi atas luka tersebut. NU dengan mudah dimanfaatkan
militer sebagai ‘alat’ untuk menghabisi PKI, selain tentu saja dikompori oleh
pembunuhan Dewan Jenderal sebagai dalih gerakan penggayangan. Di titik
ini, NU dan PKI lagi-lagi memiliki persamaan nasib: sebagai pelaku sekaligus
korban. Keduanya bertarung dengan penuh patriotik, menganggap apa yang
dilakukannya adalah perjuangan mulia berdasarkan atas ukuran kepercayaannya
masing-masing.
Dalam konteks struktural yang
lebih luas, NU dan PKI adalah tumbal politik untuk melapangkan jalan militer
dalam mengusai panggung politik, sekaligus, menambahi catatan Fayyadl,
menggeser persepsi umum publik dari ‘konsolidasi Nasakom’ ke ‘benturan
Nasakom,’ dari ‘pro-kerakyatan’ ke ‘pro-liberalisasi-kapitalis,’ dari
‘anti-kolonialisme-imperialisme’ ke ‘anti-komunisme-marxisme.’ Bolehlah lalu
dikatakan bahwa watak rezim Orde Baru adalah menggunakan dalih tertentu untuk
meneror, mengintimidasi, dan menghabisi bangsa sendiri.
Hingga kini, ketegangan antara
kaum abangan dan santri sesungguhnya masih tersisa. Di sebagian daerah di
Jawa Timur, misalnya, setiap pemilihan Lurah selalu muncul dikotomi calon
yang menjadi representasi kaum abangan dan kaum santri (atau, kaum masjidan). Dan memang di antara keduanya terdapat
sekian perbedaan mendasar mengenai cara dan pandangan dalam melakoni hidup.
Untuk menyebut beberapa contoh: kaum abangan tidak sholat jumat, kaum santri
sholat jumat; kaum abangan senang nonton wayang dan mabuk di pinggir jalan,
kaum santri senang sholawatan dan tahlilan. Namun, perbedaan-perbedaan itu
kini tidak terlalu penting, sebab perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya sudah
eksis jauh sebelum dan pasca G30S, serta merupakan keniscayaan pluralitas
dalam masyarakat kita. Bahkan, saat ini, tak sedikit dari anak cucu kaum
abangan yang sudah mulai kenal dan terlibat dalam kehidupan dan ajaran kaum
santri, sementara tak sendikit pula anak cucu kaum santri yang terlibat dalam
kehidupan dan ajaran kaum abangan. Sekat-sekat kultural yang dahulu sangat
kuat itu kini perlahan luntur dan karena itu, tak lagi relevan diperkuat
kembali, termasuk soal-soal menyangkut peristiwa pembunuhan pasca G30S di
antara mereka.
Semakin tipisnya sekat-sekat
tersebut membantu kita untuk memuluskan proyek ‘tabayyunsejarah’
(klarifikasi kebenaran sejarah), baik kepada mantan pelaku maupun korban dari
NU, PKI, bahkan milter. Zaman sudah berubah. Peta sosial-politik-ekonomi
sudah terpolarisasi ke arah yang berbeda-beda. Tak perlu lagi kita, warga NU,
merasa perlu khawatir bahwa PKI akan lahir kembali. Secara politik, PKI sudah
hancur. Masyarakat kita juga bukan lagi masyarakat seperti tahun 65-66 yang
sangat mudah tersulut oleh kabar burung. Justru suasana demokratis seperti
sekarang ini idealnya membuka jalan baru bagi kita untuk mempelajari berbagai
versi sejarah buram itu dengan sikap terbuka, jujur, dan empati.
Kembali ke masa-masa itu tidak
sama artinya dengan mengorek-ngorek luka lama yang memang belum sepenuhnya
sembuh. Ia dibutuhkan untuk menemukan anatomi luka tersebut sehingga
memudahkan kita untuk mencari obatnya. Kita harus kembali ke masa-masa itu
bukan untuk memperkeruh suasana kebatinan kita, melainkan untuk membebaskan
diri kita dari beban sejarah yang (di)lenyap(kan) karena kesuramannya,
sejarah yang gelap karena resiko yang telah diakibatkannya. Harapannya,
kembali ke era tersebut akan mempermudah langkah-langkah kita ke depan
sebagai satu-kesatuan sesama anak bangsa.
Sudah saatnya komunisme kita
pelajari bukan karena keangkerannya—karena memang tidak angker—akan tetapi
semata-mata untuk memahami apa dan bagaimana ajaran tersebut terbentuk dan
dipraktikkan. Apa pandangan komunisme secara sosial, politik, ekonomi; apa
pandangan komunisme secara teologis; apa relasi yang pernah dan mungkin
terjalin antara komunisme dan NU, dst. Mempelajari komunisme tak lebih
seperti mempelajari kitab tasawuf Ihya’ Ulumuddin atau
risalah pernikahan Qurratul Uyun:
mendebarkan, tetapi perlu.
Komunisme tidak sesederhana jargon-jargon
remeh-temeh seperti selama ini dipopulerkan Orde Baru: ‘ateis,’ ‘agama adalah
candu,’ ‘Tuhan tak ada lagi,’ ‘komunisme adalah agama buruh,’ dst. Ada sekian
proposisi, konteks, praktik, yang perlu kita pahami untuk mempelajari ‘apa
itu komunisme?’ secara detail dan komprehensif. Dan ketidaktahuan—atau
kecurigaan—yang selama ini bergelayut di pikiran orang-orang NU itu hanya
dapat diatasi dengan cara mempelajarinya, sebagai ikhtiar untuk ‘tabayyun epistemologis’ seperti yang telah
dilakukan Gus Dur, tanpa perlu menjadi komunis maupun ateis.
Pada akhirnya, proses rekonsiliasi
dan konsolidasi tidak cukup apabila hanya dijalani secara kultural, akan
tetapi juga mesti melibatkan aspek struktural yang lebih luas, termasuk di
antaranya adalah aspek epistemologis. Konkretnya, saya membayangkan ada
semacam Bahtsul Masail[1] di pesantren-pesantren NU untuk, misalnya, kembali
mengkaji aliran-aliran dalam disiplin sosial-ekonomi-politik dunia, termasuk
di antaranya adalah komunisme, dengan pembanding yang memang mempelajari
ajaran-ajaran tersebut secara disiplin. Dengan mempelajari aliran-aliran itu,
kita, warga NU, akan lebih cepat membebaskan diri dari tradisi panjang bangsa
ini: menaruh prasangka dan curiga kepada sesuatu yang sesungguhnya belum
benar-benar kita mengerti.
Termasuk di antaranya adalah
penulisan ‘Buku Putih’ Benturan NU-PKI 1948-1965 itu.
Apabila buku tersebut diniatkan untuk mengawali proyek konsolidasi struktural
sebagaimana dikemukakan di atas, maka buku tersebut patut dihargai.
Konsekuensinya, tidak cukup apabila NU hanya menjadikan militer sebagai
‘partner epistemik,’ namun perlu juga melibatkan mantan anggota PKI, supaya
proses ‘tabayyun sejarah’ yang diupayakan NU berlangsung lebih fair dan
konklusif. Jika hendak demikian, semua elemen yang terlibat dalam benturan
berdarah tersebut perlu memiliki jiwa yang besar, saling menghargai, dan
sikap empati: militer tidak perlu merasa menang sendiri, NU tak perlu merasa
rendah diri, begitupun PKI tidak perlu merasa kemaki.
Namun, apabila tujuan penerbitan ‘Buku Putih’ itu semata-mata untuk ‘membela
diri’ dan mengglorifikasi perjuangan, serta mengabaikan berbagai rekonstruksi
fakta sejarah yang telah berhasil dilakukan, serta mengerdilkan proses rekonsiliasi
yang adil dan konklusif seperti selama ini sudah digagas, maka buku tersebut
tak lebih seperti buku-buku propaganda pseudo-ilmiah
seperti karangan Harun Yahya. Andaikata maksud penerbitan buku tersebut
adalah yang terakhir, maka ‘Buku Putih’ itu idealnya perlu direvisi oleh
buku-buku yang lain.
Kebenaran sejarah, bagaimanapun juga, tidaklah tunggal.
Apapun alasannya, pembantaian tetaplah pembantaian. Hanya orang gila yang
menyebut bahwa membantai manusia, lebih-lebih karena alasan beda ideologi, adalah
konstitusional. Dan usaha-usaha ini membutuhkan waktu yang relatif panjang
dan tidak akan mungkin tuntas dalam satu atau dua generasi saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar