PROSPEK POLITIK
2014
Peluang Menuai Buah Demokrasi
Bestian Nainggolan ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
“Bagi masyarakat, besar kecilnya
manfaat demokrasi ditentukan oleh manisnya buah kesejahteraan yang
dihasilkan. Setelah 15 tahun demokratisasi berlangsung, buah demokrasi belum
merata terwujud.”
Tahun 2014, yang sarat
dengan berbagai peristiwa politik, akan membuka kembali gugatan klasik relasi
demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Gugatan ini semakin relevan tatkala
dihadapkan pada realitas yang kini berkembang, munculnya berbagai penyikapan
miring masyarakat. Mencermati berbagai hasil pengumpulan opini publik yang
dilakukan Kompas sepanjang tahun ini, misalnya, terlihat benar
adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap berbagai
kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan.
Sebagian besar di
antara mereka berpandangan reformasi politik yang mampu melembagakan
demokrasi di negeri ini belum mampu menjawab harapan mereka. Kinerja berbagai
institusi politik demokratis, baik partai politik, DPR, maupun pemerintah
yang hadir selama kurun waktu 15 tahun terakhir, tidak memuaskan. Semakin
mengecewakan tatkala kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan dari
perubahan struktur politik tidak juga banyak dirasakan sebagaimana yang
mereka harapkan.
Tidak heran dalam
situasi semacam ini, bibit frustrasi sosial yang justru merekah. Jalan
demokrasi yang telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, di antaranya
tampak cukup fatal, berkembang kerinduan akan masa ”kegemilangan” Orde Baru.
Indeks demokrasi
Berbagai kajian
menunjukkan, masa depan kehidupan demokrasi bergantung pada besar kecilnya
manfaat kesejahteraan yang dihasilkan. Sayangnya, demokratisasi dengan
kesejahteraan di negeri ini tidak selalu menggambarkan kausalitas hubungan
saling menunjang. Terbukti, pada sebagian kecil wilayah saja demokrasi dan
kesejahteraan layak dikaitkan sekaligus manis dirasakan. Pada belahan wilayah
lainnya, buah demokratisasi masih terasa masam. Bahkan, jika ditelusuri masih
terdapat pula wilayah yang hingga kini belum memiliki peluang menuai buah
demokrasi.
Dengan mengaitkan
besaran Indeks Demokrasi Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia, dapat
dipetakan kualitas pencapaian demokrasi dan kesejahteraan setiap wilayah.
Indeks demokrasi yang dimaksud mengacu pada hasil rumusan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNDP). Terakhir, tahun 2012 lembaga tersebut memublikasikan Indeks Demokrasi
Indonesia. Indeks ini dihasilkan dari berbagai indikator pengukuran aspek
kebebasan sipil, pemenuhan hak politik, dan kelembagaan politik di 33
provinsi Indonesia pada kondisi tahun 2011.
Hasilnya, skor
nasional Indeks Demokrasi Indonesia mencapai 63,17. Jika mengacu pada skor
tertinggi indeks sebesar 100, yang kurang lebih menjadi acuan situasi
demokrasi yang sempurna, perolehan nilai indeks nasional tahun tersebut
tergolong cukup baik. Terlebih jika dilihat dari salah satu aspek yang
dikaji, khususnya aspek kebebasan sipil, tampak tinggi di negeri ini.
Rata-rata memiliki skor nasional 82,53 yang mengindikasikan betapa besarnya
kebebasan masyarakat di negeri ini.
Berbeda dengan Indeks
Demokrasi Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia yang dipublikasikan Badan
Pusat Statistik digunakan untuk menyarikan kinerja pembangunan suatu kawasan.
Indeks Pembangunan Manusia didasarkan pada tiga aspek yang merupakan
kapasitas dasar penduduk. Ketiganya berupa besaran umur panjang dan
kesehatan, pengetahuan, dan kehidupan yang layak masyarakat. Dalam
perhitungan, ketiga aspek tersebut diturunkan dalam berbagai indikator,
seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan
kemampuan daya beli.
Berbagai indikator
tersebut, sekalipun tidak sepenuhnya identik dengan seluruh aspek
kesejahteraan manusia, dipandang cukup memadai dijadikan rujukan. Tahun 2011,
skor Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 72,77. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, skor indeks tersebut meningkat. Sekalipun tidak tampak merata,
hal itu cukup jelas menunjukkan terjadi perubahan kesejahteraan.
Prospek demokrasi
Mengaitkan Indeks
Demokrasi Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia inilah relasi antara
demokrasi dan kesejahteraan negeri terpetakan, yang sekaligus mengindikasikan
prospek wilayah masing-masing (Grafik). Setidaknya terdapat tiga kelompok
wilayah yang terbentuk.
Pertama, kelompok
provinsi dengan skor kedua indeks memiliki nilai tinggi, di atas nilai
rata-rata indeks nasionalnya. Terdapat 13 provinsi dalam kelompok ini. Akan
tetapi, jika ditelisik lebih jauh, hanya Provinsi DKI Jakarta dan Daerah
Istimewa Yogyakarta yang terlihat lebih menonjol. Dengan posisi yang jauh di
atas rata-rata, prospek demokrasi dan kesejahteraan di kedua provinsi ini
cukup kuat terpertahankan, sementara provinsi lainnya masih tergolong rentan
perubahannya.
Kedua, merupakan
kelompok yang justru bertolak belakang dengan kelompok pertama. Pada kelompok
ini, skor kedua indeks tergolong di bawah nilai skor nasionalnya. Dari 8 provinsi
yang masuk kelompok ini, Nusa Tenggara Barat dan Papua tergolong paling
rendah, baik demokrasi maupun kesejahteraan masyarakatnya. Di satu sisi,
pergulatan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat masih menjadi persoalan
terberat yang dihadapi. Sementara di sisi lain, kebutuhan akan kebebasan
sipil, hak-hak politik warga, ataupun berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi
masih dipermasalahkan.
Rendahnya besaran
kedua indeks pada kelompok ini diperparah pula oleh laju perubahan
kesejahteraannya. Sekalipun peningkatan kualitas kesejahteraan berlangsung,
hal itu belum mampu memperkecil jarak ketertinggalan mereka terhadap wilayah
lain. Selepas bergulirnya reformasi politik (1999) hingga kini, misalnya,
tetap saja menempatkan NTB dan Papua dalam posisi terbawah. Lambannya
perubahan sekaligus mengindikasikan keterkaitan demokrasi dan kesejahteraan
yang tidak mulus di kedua wilayah. Kondisi semacam ini akan berulang, tetap
menjadi persoalan krusial.
Ketiga, merupakan
kelompok dengan masing-masing indeks yang berbeda kualitas perolehannya. Ada
sekumpulan provinsi dengan kondisi indeks demokrasinya melebihi rata-rata
nasional. Akan tetapi, skor kesejahteraan provinsi tersebut masih berada di
bawah skor nasional. Aceh, Kalimantan Barat, dan Lampung menjadi contoh kelompok
ini. Sebaliknya, terdapat pula provinsi, Sumatera Barat misalnya, yang
memiliki skor demokrasi rendah, tetapi kesejahteraannya masih di atas skor
nasional.
Sekalipun agak berbeda
karakteristiknya, setiap provinsi dalam kelompok ketiga ini memiliki pergulatan
yang sama. Pada masa mendatang, apakah geliat demokrasi memampukan
peningkatan kesejahteraan warganya, ataupun kondisi kesejahteraan mampu
menjadi pendorong kehidupan lebih demokratis, keduanya masih terus-menerus
berproses. Hanya yang pasti, sejauh ini buah demokrasi masih masam dirasakan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar