Implementasi
JKN dan Kesiapan SDM Kesehatan
Mieska Despitasari ; Peneliti Badan Litbangkes Kemenkes RI,
Mahasiswi Program
Pascasarjana FKM Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2013
IMPLEMENTASI Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) tinggal menghitung hari karena baru resmi diberlakukan pada
awal 2014. Siapkah Indonesia dengan sumber daya manusia (SDM) kesehatannya
untuk implementasi JKN yang masih diberlakukan secara bertahap tersebut?
JKN mengarah pada pelayanan
kesehatan yang layak untuk semesta (universal
health coverage). Menurut Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), SJSN diselenggarakan
berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
SJSN bertujuan untuk memberikan
jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta
dan/atau anggota keluarganya (Pasal 3), sebagaimana juga tertuang pada
Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan Konvensi ILO No 102 Tahun 1952. Salah
satunya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditujukan untuk
memberikan manfaat pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tantangan pelaksanaan
JKN tidak hanya terletak pada kesiapan infrastruktur pelayanan kesehatan,
tetapi juga ketersediaan SDM bidang kesehatan. Isu strategis SDM kesehatan
jelang JKN mencakup jumlah, jenis, mutu, dan distribusi.
Fakta menunjukkan bahwa pada 2011 dari sekitar 8.980 puskesmas, sebanyak 380
puskesmas tidak memiliki tenaga dokter, 25 puskesmas tidak memiliki tenaga
perawat, 105 puskesmas tanpa bidan, dan lebih dari separuh puskesmas di
Indonesia tidak memiliki tenaga promosi kesehatan.
Pertaruhan
mutu
Jika diasumsikan ada sekitar 86
juta penduduk yang tercatat sebagai penerima layanan JKN, dan 10 juta di
antaranya ialah rakyat di daerah tertinggal, apa yang akan terjadi jika JKN
diterapkan tanpa persiapan matang di sisi pemenuhan jumlah, jenis, mutu dan
distribusi SDM kesehatan?
Akankah banyak korban berjatuhan
akibat pelayanan kesehatan yang tidak memadai? Atau malah SDM kesehatan yang
kebobolan karena beban kerja yang sudah kelewat batas dengan insentif yang
kurang layak? Mungkin saja beban kerja berlebih juga mengarah pada kelalaian
yang tidak sengaja dilakukan SDM kesehatan? Belum lagi perlindungan hukum
untuk SDM kesehatan yang belum memadai. Haruskah kasus dokter Ayu jilid 2, 3,
4 dan selanjutnya berulang?
Padahal Pasal 3 dan 4 UU No 44/2009 tentang Rumah
Sakit menyebutkan bahwa pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit, dan SDM di rumah sakit. Meningkatkan mutu dan
mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; artinya, bahwa perlindungan
tidak hanya diberikan kepada pasien. SDM di rumah sakit bahkan masyarakat
sekitarnya pun harus diberi perlindungan.
SDM kesehatan pada umumnya lebih
memilih ditempatkan di perkotaan. Karenanya, daerah terpencil sering kali
mengalami kekurangan tenaga kesehatan. Kendala distribusi itu dapat
diselesaikan dengan beberapa alternatif, misalnya dengan mewajibkan lulusan
baru institusi pendidikan kesehatan (FK, FKG, FIK, FKM, Poltekkes, Akbid,
Akper, dll) untuk ditempatkan di daerah. Selain itu, redistribusi dan
perencanaan kembali SDM kesehatan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, serta
penegasan pola karier dan insentif yang layak dengan mempertimbangkan wilayah
kerja juga ada baiknya dilakukan.
Tuntutan
kerja
Selain masalah kuantitas, kualitas
SDM kesehatan juga diperlukan untuk menjamin terpenuhinya hak pasien. Menurut
UU No 44 Tahun 2009 Pasal 32, hak pasien ialah mem peroleh layanan yang
manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; memperoleh layanan kesehatan
yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
serta memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi.
Terkadang tuntutan kerja di
lapangan menuntut SDM kesehatan untuk memiliki kompetensi yang lebih tinggi
daripada sekadar kompetensi lulusan institusi pendidikan kesehatan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penyesuaian antara standar pelayanan dengan
standar kompetensi dan standar pendidikan.
Pengawasan mutu SDM kesehatan
melalui uji kompetensi dan sertifikasi mutlak untuk dilakukan. Peningkatan
kualitas dan kapasitas SDM kesehatan melalui tugas belajar dan
pelatihan-pelatihan harus dilakukan secara kontinu dan sesuai prioritas
masalah.
Revitalisasi puskesmas dalam usaha
preventif dan promotif mutlak dilakukan. Tujuannya agar SDM kesehatan tidak
mengalami kelebihan beban kerja. Memperkuat fungsi promotif dan preventif
puskesmas dengan tidak mengabaikan fungsi kuratif menjadi salah satu
alternatif solusi. Untuk menjalankan program tersebut diperlukan SDM
kesehatan yang menguasai area promotif dan preventif. Hal ini sejalan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), bahwa promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat termasuk dalam 12 program pembangunan kesehatan.
SDM kesehatan merupakan komponen
strategis dalam pencapaian pembangunan kesehatan. Sejalan juga dengan
prioritas pembangunan kesehatan bahwa perlu dilakukan peningkatan kemampuan
SDM kesehatan, termasuk tenaga promosi kesehatan (penyuluh kesehatan). Di era
JKN, SDM kesehatan harus dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas dan kepuasan peserta yang baik. Untuk itu, SDM kesehatan harus
mampu berperan sebagai penyedia pelayanan kesehatan dan perawatan, pengambil
keputusan, komunikator, pemimpin masyarakat, dan pengelola manajemen. Semoga
dengan adanya kerja cerdas dan komitmen yang kuat dari seluruh insan
kesehatan serta pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan JKN akan dapat
berjalan sesuai dengan harapan sehingga pada akhirnya bermuara pada
peningkatan status kesehatan seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar