DENGAR-dengar ada Hari Ikan
Nasional, Harkannas, yang secara internasional memang sudah ada.
Ikan mungkin saja lebih dulu ada
di dunia dibandingkan dengan manusia. Demikian pula laut. Dari segi
peradaban, manusia dan ikan sebagai sumber utama makanan sama purbanya.
Kecuali jenis ikan bersisik tertentu, masyarakat Semit Yahudi membolehkan
makan ikan jenis apa saja. Ada 27.000 jenis ikan tanpa label haram.
Sedemikian populer dan dekatnya ikan sehingga kita terbiasa mendengar
ungkapan ”makan ikan ayam”. Jangan ditertawakan karena sebenarnya
cumi-cumi, paus, atau duyung konon juga bukan jenis ikan. Semua binatang
air disebut ikan: yang 14 meter seperti paus; juga yang hanya 7 milimeter.
Ikan bisa hidup di semua
genangan, dari selutut sampai sedalam laut. Bisa di air tawar, payau, atau
laut. Ikan bisa ditangkap dengan tangan, dikail, dijala, atau dipanen
besar-besaran. Bahan kandungannya luar biasa: omega-3, serat protein pendek
(hingga mudah dicerna), vitamin (A, B, B6, B12), zat besi, yodium,
sampai fluoruntuk menyehatkan pertumbuhan gigi anak.
Memasak ikan pun bisa dengan
menggoreng, membakar, menumis, mengesop, atau menyantan. Sisa ikan bisa
dijadikan pupuk tanaman. Ibarat kata: tak ada produk seseksi ikan. Ikan
memenuhi semua syarat untuk kesehatan, bahkan kecerdasan. Ia bisa diperoleh
di mana saja, dengan berbagai cara.
Maka, sebenarnya memaknai Hari
Ikan Nasional tidaklah sulit. Menaikkan tingkat konsumsi ikan dari 30
kilogram per orang per tahun tak mustahil—ibarat melewati jalan bebas
hambatan. Masalah utama di negeri ini adalah bahwa kebaikan pun perlu
dipromosikan, disosialisasikan, dimasyarakatkan, dibenamkan sebagai gaya
hidup. Kita bandingkan bagaimana pemakaian helm atau sabuk pengaman bagi
pengendara memerlukan strategi. Demikian juga program keluarga berencana
atau wajib belajar.
Perubahan kebiasaan
Strategi itu lebih ditekankan
pada perubahan kebiasaan daripada memberikan informasi semata. Terutama
kaitan dengan segmentasi masyarakat yang disasar. Menciptakan ”Tarian Ikan
Mabuk” barangkali efektif jika sasarannya remaja yang keranjingan K-Pop
atau Gang Nam Style. Nyi Roro Kidul sebagai Nyai Ikan, padanan Dewi Sri
dewi padi, mungkin bisa dicerna sasaran tertentu sebagaimana Dewa Ruci,
dewa laut yang suci yang tidak korupsi.
Pengalaman pribadi saya
mengajarkan itu ketika mengajak para artis berpuisi saat KPK berdiri.
Mengubah kebiasaan memerlukan pendekatan yang tidak biasa. Begitulah kita
mengubah makan nasi dengan mi. Dengan kata lain, ikan atau laut
diperlakukan sebagai produk, sebagai barang dagangan, yang memerlukan
dinamika untuk memasyarakatkan secara nasional.
Pada titik itu persoalan lebih
besar dipersiapkan agar ikan itu adalah ikan tangkapan laut sendiri oleh
tenaga kerja kita sehingga kail dan jala
menghidupimu atau ikan laut pun menari di bawah
lenganmu dalam arti sebenarnya. Betul-betullah menggerakkan Gemarikan.
Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia dirintis pada 1971 dan berkelanjutan.
”Bahagiakan nelayan”,
”sejahterakan nelayan” juga idiom yang mudah dikomunikasikan secara nyata,
apa lagi menjadi kenyataan. Ikan mungkin lebih dulu ada sebelum manusia.
Juga sungai, juga danau, atau air payau. Kini pun sebenarnya, begitu kita
lahir, ikan sudah tersedia dalam jumlah besar.
Manusia sebagai pemangsa segala
pastilah suka melalap dan melahap ikan. Sedemikian gemarnya makan ikan,
manusia bisa menerbitkan kalender sebagai petunjuk di pasar tradisional.
Kalau tanggal tua, kios ikan asin lebih banyak dikerumuni.
Memancing juga sudah lama
dikenal, bahkan diberi ungkapan filosofis mengenai kesabaran. Belasan
program televisi di luar negeri memanjangkan acara mancing: dari pemancing
profesional sampai yang selalu sial. Ikan selalu tersedia. Mereka hidup
cari makan sendiri di laut— atau di empang, beranak pinak, dan itulah
sesungguhnya anugerah alam yang luar biasa. Tinggal apakah kita mampu
memanfaatkannya, atau menyia-nyiakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar