Antisipasi
Dini Bencana Alam
Admiral Musa Julius Sipahutar ; Pengamat Meteorologi dan Geofisika
|
SINAR
HARAPAN, 30 Desember 2013
Bencana alam di Indonesia tidak
bisa dihindari. Beragam bencana, seperti banjir, gempa bumi, tsunami, tanah
longsor, erupsi gunung api, iklim ekstrem, kebakaran hutan, dan lainnya akan
terus menjadi pencuri di malam hari bagi negeri ini. Tidak ada seorang pun
ilmuwan yang dapat memastikan Indonesia aman dari bencana sehari saja.
Fakta ini membuktikan bencana alam mau tidak mau harus dikenal dan diwaspadai dampaknya, khususnya efek buruk yang berpotensi mengancam korban jiwa.
Upaya awal yang umumnya dilakukan
masyarakat prabencana adalah melakukan mitigasi bencana. Mitigasi bencana
sangat perlu dilakukan sejak dini mengingat akan datangnya Pemilu 2014. Jika
bencana alam tidak diwaspadai, dikhawatirkan memengaruhi jumlah DPT akibat
korban jiwa.
Kita ingat sejenak serangkaian duka yang pernah dialami Ibu Pertiwi. Masih hangat peringatan sembilan tahun megatsunami yang melanda Banda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Peristiwa ini meluluhlantakkan sisi utara dan barat Negeri Serambi Mekah.
Megatsunami tersebut merenggut
ratusan ribu korban jiwa, puluhan ribu jiwa hilang, dan kerugian hingga angka
triliun. Megatsunami Aceh menjadi bencana tsunami terparah yang pernah
dialami Indonesia akibat gempa bumi tektonik.
Tak hanya Indonesia, negara-negara tetangga, seperti Thailand, India, Sri Lanka, Maladewa, bahkan sisi timur Afrika seperti Somalia merasakan efek buruk bencana tsunami tersebut. Dua tahun kemudian, 27 Mei 2006, Ibu Pertiwi kembali menangis ketika rangkaian gempa bumi kuat melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Gempa bumi tersebut juga menghancurkan bangunan-bangunan strategis dan merenggut ribuan jiwa. Tidak hanya bencana bersumber dari dalam bumi, bencana banjir juga terjadi setiap tahunnya. Sering kali datangnya musim hujan kurang ditanggapi secara kritis oleh masyarakat berisiko, terutama masyarakat DKI Jakarta
Cuaca ekstrem dalam bentuk
datangnya hujan dengan intensitas tinggi secara mendadak dalam waktu yang
singkat, sering ditemui di Indonesia. Ini sangat berpotensi menimbulkan
banjir bagi wilayah yang kurang mewaspadai efek buruk musim hujan. Banjir
Wasior, Papua barat pada 4 Oktober 2010 silam yang menyebabkan 410 orang
meninggal menjadi pelajaran penting untuk mewaspadai bencana banjir.
Rawan Bencana
Secara geografis, Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng
tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Filipina,
dan Lempeng Pasifik. Di selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari
Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan
vulkanik tua dan dataran rendah, sebagian didominasi rawa-rawa.
Kondisi tersebut sangat berpotensi berbagai bencana, seperti erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Data United States Geological Survey (USGS) menunjukkan, Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan tertinggi di
dunia, 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat. Statistik
menyatakan, setidaknya ada dua gempa besar terjadi dalam satu tahun dan satu
tsunami dalam dua tahun.
Seiring berkembangnya teknologi, beragam bencana alam baru menjadi tinjauan khusus di Indonesia. Pemanasan global, perubahan iklim, badai magnet, dan penurunan kualitas udara menjadi bencana terbaru pada abad ke-21.
Rangkaian bencana tersebut kini
belum terlalu dirasakan dampaknya. Namun, akan menjadi bencana besar ketika
manusia tidak memahami dan mewaspadai hingga menjadi bencana makro. Tidak
dapat dimungkiri, segala upaya mitigasi bencana sangat perlu dilakukan
seluruh elemen masyarakat di Indonesia.
Tindakan Antisipatif
Mitigasi bencana adalah usaha
untuk mengurangi atau meminimalkan bahkan meniadakan korban dan kerugian yang
mungkin timbul akibat bencana. Titik berat diberikan pada tahap sebelum
terjadinya segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam
(natural disaster) maupun bencana sebagai akibat perbuatan manusia (man-made
disaster).
Bencana yang tidak bisa dihindari
dan berpotensi menimbulkan banyak korban adalah bencana alam. Diperkuat data
statistik tahun 1815-2013 yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) menunjukkan, bencana banjir, tanah longsor, dan puting beliung
mendominasi jumlah bencana yang pernah terjadi di negeri ini.
Informasi dari instansi terkait ada baiknya dimanfaatkan untuk langkah-langkah antisipatif meliputi adaptasi dan mitigasi bencana tektonik ataupun hidrometeorologis. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan pelayanan informasi cuaca hingga peta-peta potensi bencana banjir yang dapat diakses secara langsung melalui website resminya.
Selain informasi cuaca, BMKG
memberi informasi dini gempa bumi dan tsunami yang dapat diakses dengan mudah
melalui website dan pesan singkat via ponsel atau email. Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) juga memberi informasi terkini aktivitas
gunung api aktif di seluruh Indonesia. BNPB hingga kini sangat baik dalam
menjalankan tugas utamanya dalam fungsi penanggulangan.
Namun, alangkah lebih baik kita saling bekerja sama dengan pemerintah dalam menjalankan fungsinya melakukan mitigasi. Banyak hal yang dapat dilakukan, seperti dalam mengantisipasi banjir, pemerintah daerah dan masyarakat harus memperhatikan bangunan pengendali banjir (bendungan/dam atau sumur resapan) serta kondisi sungai. Untuk jangka pendek, dapat kita lakukan pengerukan dan/atau pelebaran sungai sebagai langkah antisipatif. Dalam hal antisipasi bahaya kerusakan dan korban jiwa akibat gempa bumi, pemerintah daerah dapat meninjau ulang konstruksi bangunan di masing-masing wilayah untuk direkonstruksi menjadi bangunan tahan gempa.
Begitu juga dalam hal antisipasi
tsunami. Masyarakat pesisir dapat diberikan sosialisasi sirine penanda
tsunami serta dapat dicanangkan pembangunan penghalang tsunami, seperti
tembok besar, karang, atau hutan mangrove skala besar. Reboisasi dan
terasering juga dapat dilakukan untuk mencegah tanah longsor serta kebakaran
hutan. Keduanya harus terus dilakukan dalam rangka menjaga keseimbangan
ekosistem.
Mitigasi berbasis kearifan lokal juga jangan diabaikan. Pembangunan rumah adat tahan gempa omo hada di lereng gunung api, interpretasi alam melalui aktivitas hewan dan tumbuhan lereng gunung, serta tradisi smong atau imbauan akbar dari pemuka adat untuk melarikan diri ke dataran tinggi juga merupakan prestasi mitigasi terbaik yang pernah dilakukan masyarakat Indonesia dahulu kala.
Mari kita masuki tahun 2014 dengan
memahami dan melakukan mitigasi bencana alam di negeri ini, dalam rangka
membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan meminimalkan efek buruk bencana
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar