PROSPEK EKONOMI
2014
Pentingnya Mengamankan Pasokan
Hermas E Prabowo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
PEMERINTAH berkomitmen untuk terus mengamankan pasokan barang-barang kebutuhan
pokok, termasuk pangan, dengan memastikan ketersediaan barang dan harga pada
tingkat yang terjangkau. Jaminan keamanan pasokan dan harga penting untuk
menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional.
Tanpa pasokan yang
cukup, harga barang kebutuhan pokok rentan berfluktuasi dan berpotensi
menggerus daya beli masyarakat, mendorong inflasi, dan memperlambat
pertumbuhan ekonomi.
Apabila terus
dibiarkan, hal tersebut dapat memicu tuntutan kenaikan upah buruh,
mengakibatkan penurunan daya saing produk, sehingga kinerja ekspor terganggu
dan makin banyak produk impor yang masuk ke pasar domestik.
Menimbang pentingnya
stabilitas harga kebutuhan pokok, Wakil Presiden Boediono dalam Trade Expo
Indonesia Ke-28 di Kemayoran, Jakarta, menekankan pentingnya mengamankan
pasokan pangan dan stabilitas harga.
Dalam keterangan pers
di Nusa Dua, Bali, di sela pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC),
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa juga mengungkapkan pentingnya
menjaga pasokan, termasuk di dalamnya pasokan kebutuhan pangan.
Saat ini, pertumbuhan
ekonomi nasional di topang oleh konsumsi, investasi, perdagangan, dan belanja
negara (APBN). Dari keempat itu, yang memberikan kontribusi terbesar bagi
pertumbuhan ekonomi nasional adalah sektor konsumsi.
Konsumsi yang terus
meningkat, kata Hatta, tanpa diimbangi dengan pasokan yang memadai berbahaya
karena akan menggantungkan dari impor dan menguras cadangan devisa, yang
akhirnya mengakibatkan defisit transaksi berjalan.
Pemerintah sangat
memahami pentingnya menjaga pasokan, dan mencegah terlalu banyak impor dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi, termasuk di dalamnya pangan, sebagai penopang
utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, hingga saat ini
pasokan kebutuhan pangan tidak pernah mendapat perhatian serius. Pemerintah
masih terus mengambil jalan pintas dalam memenuhi kebutuhan pangan negaranya
dengan cara mengimpor.
Peningkatan konsumsi
sebagai dampak positif pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah tidak diimbangi
dengan dukungan produksi pangan yang cukup. Upaya peningkatan produksi pangan
juga masih sebatas wacana, jauh dari langkah-langkah konkret.
Menteri Pertanian
Suswono bahkan terus mengeluhkan keterbatasan lahan pertanian yang kian akut.
Konversi lahan pertanian ke nonpertanian terus terjadi tanpa ada gerakan
serius untuk menghentikannya.
Reformasi agraria,
atau dalam konsep lain bisa diwujudkan dalam bentuk pengelolaan lahan negara
oleh para petani kecil, tidak kunjung direalisasikan. Padahal, lebih dari 7
juta hektar lahan yang cocok untuk pertanian dibiarkan telantar.
Di sisi lain, petani
hanya menggarap lahan pertanian rata-rata kurang dari 0,5 hektar per rumah
tangga petani. Padahal, idealnya mereka mengelola 2 hektar agar bisa
mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya. Di Amerika Serikat, petani
mengelola lahan minimal 10 hektar, begitu pula di Australia. Di Jepang, lahan
garapan petani juga luas. Begitu pula Thailand dan Vietnam.
Produktivitas tinggi
Saat ini, komoditas
pangan yang bisa dihasilkan pertanian dalam negeri sesungguhnya sangat beragam.
Mulai dari beras, jagung, kedelai, kacang hijau, ubi, singkong, daging sapi,
daging ayam, telor, hingga komoditas lainnya seperti gula.
Dari berbagai
komoditas itu, produktivitas tanaman padi sebagai penghasil beras sudah
tinggi, lebih baik dibandingkan dengan produktivitas di negara-negara lain di
kawasan. Tantangan utamanya hanyalah soal konsumsi beras per kapita yang
terlalu tinggi, serta luas lahan pertanian padi yang kian sempit akibat alih
fungsi lahan yang salah satunya dipicu fragmentasi lahan.
Dalam beberapa hal,
terjadi kompetisi pemanfaatan lahan padi dengan tanaman jagung dan kedelai.
Namun, karena harga beras lebih baik dari kedua komoditas di atas, petani
masih memprioritaskan menanam padi. Namun, masalah alih fungsi lahan dan
keterbatasan lahan merupakan PR mendesak yang tak pernah dikerjakan.
Bagaimana dengan
jagung dan kedelai? Produktivitas jagung masih rendah karena kurang dari 50
persen petani menanam jagung hibrida. Selebihnya menggunakan benih jagung
lokal atau komposit yang produktivitasnya rendah. Akibatnya, produksi jagung
nasional belum optimal.
Kebijakan subsidi
benih yang bias ke Jawa tidak banyak membantu penambahan penggunaan benih
hibrida. Selain subsidi diberikan secara tidak maksimal dan tidak dalam
kualitas terbaik akibat berbagai penyimpangan, khusus untuk jagung, masalah
keterbatasan lahan juga menjadi persoalan.
Kedelai juga sama.
Produktivitas kedelai nasional rata-rata hanya 1,3 ton per hektar. Padahal,
potensi yang ada dari benih hasil persilangan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian bisa mencapai 3 ton per hektar.
Masalah transfer
teknologi, pengelolaan struktur perbenihan kedelai, juga menjadi masalah
serius yang tak pernah dituntaskan. Acap kali petani kesulitan mendapatkan
benih kedelai dengan kualitas unggul. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi.
Di luar semua itu,
lahan kedelai juga sangat terbatas. Kedelai masih menjadi tanaman sela bagi
petani. Dari aspek tata niaga, sudah tidak ada kendala. Apalagi, pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan telah memberikan jaminan harga beli kedelai
petani sebesar Rp 7.000 per kilogram. Jaminan pasar juga siap karena Bulog
sanggup membeli kedelai petani dengan jumlah berapa pun.
Daging sapi juga sama.
Populasi sapi potong di Indonesia cukup tinggi, mencapai 13,2 juta ekor.
Cukup untuk modal peningkatan produksi daging sapi lokal. Tantangannya
sekarang, ternak sapi belum menjadi komoditas bisnis bagi masyarakat. Sapi
masih menjadi hewan peliharaan, sekadar sebagai tabungan. Padahal, jika
dikembangkan menjadi komoditas bisnis, ternak sapi memberi kue ekonomi
besar bagi rakyat, terutama masyarakat pedesaan.
Persoalannya sekarang,
orang enggan memelihara sapi karena kesulitan mencari pakan hijauan. Kalau
dijadikan sebagai bisnis komoditas, sangat tidak menguntungkan. Di sisi
lain, pengembangan peternakan sapi skala luas di luar Jawa tak kunjung
direalisasikan.
Meski banyak pengusaha
yang tertarik untuk berinvestasi, tidak ada fasilitas khusus yang diberikan
pemerintah untuk menarik minat para pengusaha itu, baik dalam bentuk
keringanan subsidi bunga, pembebasan lahan peternakan, transportasi dari
sumber produksi ke sumber konsumsi, hingga keringanan pajak.
Susu sapi juga
kondisinya tidak jauh berbeda. Produksi susu sapi dan keengganan masyarakat
memelihara sapi perah akibat keterbatasan mendapatkan pakan hijauan. Harusnya
pemerintah mendorong pengembangan produksi ”pakan hijauan siap saji” bagi
sapi-sapi tersebut dengan harga yang terjangkau dan menguntungkan untuk
berproduksi.
Contoh buruk pemerintah
Bagaimana dengan gula?
Gula masih berkutat pada persoalan lama, yaitu rendahnya rendemen gula di
pabrik tebu sebagai akibat mesin produksi yang sudah tua dan tidak adanya
transparansi dalam manajemen produksi gula.
Petani tebu dibiarkan
terus menikmati rendemen gula yang rendah tanpa mereka bisa memiliki pilihan
lain. Revitalisasi pabrik gula macet meskipun ujung tombaknya ada di
perusahaan gula Badan Usaha Milik Negara. Yang membuat ironis, rendemen gula
di pabrik gula milik pemerintah kalah jauh dengan swasta. Dan ironisnya, pemerintah
terus mempertahankan ”kebijakan” rendemen gula rendah itu.
Di luar persoalan itu,
produktivitas tanaman tebu juga masih bisa ditingkatkan. Sayangnya, program
bongkar ratoon, penggantian bibit tebu agar lebih berkualitas, sempat macet.
Kementerian Pertanian sempat berhenti menganggarkannya.
Keterbatasan lahan
tebu juga menjadi kendala peningkatan produksi. Dengan konsumsi gula nasional
5,7 juta ton per tahun, dan produksi gula kristal putih hanya 2,5 juta ton,
masih perlu tambahan lahan 500.000 hektar untuk tanaman tebu. Sesuatu yang
tidak pernah diupayakan secara sungguh-sungguh.
Produksi singkong,
kacang hijau, dan ubi juga mengalami kendala sama: keterbatasan lahan dan
rendahnya produktivitas. Berbagai persoalan di atas tampaknya belum akan bisa
diselesaikan dalam waktu singkat.
Itu artinya, situasi
pangan 2014 tidak akan berbeda dengan tahun 2013 atau tahun-tahun sebelumnya,
dan bisa jadi akan lebih mengkhawatirkan karena konsumsi terus tumbuh.
Pasokan pangan masih akan mengandalkan impor. Ketergantungan ini akan menjadi
masalah serius.
Jika pasokan pangan
dunia terus menyusut, sesuai tren saat ini, dan harga terus berfluktuasi,
stabilitas ekonomi nasional akan menjadi taruhannya. Selain itu, potensi
meningkatkan daya beli masyarakat dan pembangunan ekonomi desa terpencil
hilang.
Pertumbuhan ekonomi
akan melambat, devisa kian terkuras, dan transaksi berjalan makin defisit.
Sebenarnya bangsa Indonesia sudah jago mengidentifikasi masalah dan mencari
solusinya. Petani juga tahan banting dan bersemangat tinggi.
Namun, solusi berbagai
masalah pangan tidak pernah dikerjakan secara serius. Dalam lingkup lebih
kecil, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, sudah terlalu
banyak studi terkait berbagai persoalan di Jakarta. Yang lemah pelaksanaannya.
Pada konteks nasional,
hal sama terjadi, juga dalam produksi pangan. Berbagai gagasan dan studi yang
brilian tidak mampu dijalankan pemerintah sekarang. Semua mimpi peningkatan
produksi loyo apabila dihadapkan pada kepentingan para pemburu rente. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar