UU
Desa dan Kemiskinan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan
Pangan Pusat (2010-2014)
|
REPUBLIKA,
30 Desember 2013
Mengakhiri tahun 2013, pemerintah
dan DPR membuat keputusan penting.
Setelah tertunda-tunda dalam beberapa kali masa sidang, pekan lalu RUU Desa disahkan menjadi UU. Lewat produk hukum baru tersebut, desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu, desa bisa membangun otonomi berbasis "otonomi asli desa" yang berbasis nilai dan identitas lokal.
Harus diakui, derap pembangunan
selama beberapa dekade hanya menempatkan desa sebagai subjek. Akibatnya, desa
tidak hanya berada di pinggir, tapi juga diletakan jauh di belakang. Selama
puluhan tahun pendekatan pembangunan desa dicirikan tiga hal (Sudjito,
2013).
Pertama, tak ada kejelasan
kewenangan desa sebagai pengakuan negara atas desa. Sejak UU No 5/979 tentang
Pemerintahan Desa berlaku, tak ada pengakuan kewenangan, baik secara politik
maupun sosial-ekonomi. Pengaturan desa diseragamkan bermodel "Jawa"
agar negara mudah mengontrol desa. Dampaknya, desa termarjinalisasi dalam
arus kebijakan.
Pada era reformasi ada upaya memperkuat desa lewat UU No 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Aturan itu memberi pesan penguatan desa bertumpu pada
hak asal-usul. Tapi, hal ini tak berlangsung lama.
Ketidakpastian politik menandai
terbitnya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bercorak resentralisasi.
Desa kembali hanya menjadi objek, tersubordinasi pemerintah kabupaten/kota,
bahkan terkooptasi pemerintahan di atasnya. Ini semua cermin kemunduran
paling nyata posisi politik desa di era reformasi.
Kedua, dengan pendekatan
"Jawanisasi", kemajemukan desa tidak diakui, bahkan dinihilkan.
Padahal, format, struktur, dan pola desa di Indonesia be - gitu beragam.
Keunikan desa atau nama lainnya mencerminkan sumber daya lokal yang dimaknai
sebagai kekayaan khas bangsa. Tak mungkin variasi dimatikan lewat
penyeragaman.
Ketiga, lantaran kooptasi desa
tidak berperan dalam perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi
sumber daya. Pembangunan menempatkan desa sebagai objek lewat model
"pembangunan di desa", desa hanya jadi lokasi. Bukan "desa
membangun" yang mensyaratkan desa sebagai subjek.
Tiga paradigma pembangunan desa
itu tidak lagi ada dalam UU Desa. Tidak hanya keberagaman yang diakui, desa
juga diberi kewenangan (politik) besar dalam perencanaan, penganggaran
pembangunan, dan redistribusi sumber daya. Secara ekonomi, UU Desa memuat
kewajiban penting terkait penganggaran. Pasal 72 menyebut, dana alokasi
desa berasal dari APBN diambil sebesar 10 persen dari dana on top (dana dari dan untuk transfer
daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer daerah mencapai Rp 590,2 triliun.
Jadi, alokasi anggaran desa Rp 59,02 triliun. Sebanyak 72 ribu desa akan
menerima aliran dana Rp 0,7 miliar hingga Rp 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk,
angka kemiskinan, kesulitan geografis, dan luas wilayah.
Terlepas dari pro-kontra, adanya
alokasi anggaran khusus ke desa membawa angin segar pembangunan di perdesaan.
Pembangunan yang bias perkotaan membuat desa kering anggaran, bahkan terjadi
pengurasan modal (finansial dan sumber daya) desa oleh kota. Almarhum
Mubyarto dalam pelbagai penelitiannya menemukan, tabungan warga desa di
perbankan yang mengalir kembali ke desa tak lebih dari 25 persen.
Sisanya mengalir ke kota. Desa identik dengan kemiskinan dan kegureman.
Selama puluhan tahun pembangunan
gagal mengatasi kesenjangan kota-desa, menyebarkan penduduk ke wilayah lain
di luar Jawa dan luar Jabodetabek, serta meratakan pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan. Pembangunan tak berdaya mengatasi urbanisasi masif. Ini
terjadi lantaran ketakmampuan kita membangun ekonomi perdesaan, yang telah
menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi
ekonomi perdesaan. Konsep yang kita kenal selama ini tentang urban-rural linkages tidak berjalan
karena kenyataannya kota makin perkasa, sedangkan desa justru makin merana.
Daerah perkotaan yang didominasi
oleh kegiatan ekonomi modern, seperti sektor industri pengolahan,
perdagangan, komunikasi, properti, dan jasa keuangan serta perbankan mengalami
pertumbuhan yang jauh lebih cepat daripada daerah perdesaan yang didominasi
kegiatan ekonomi tradisional, seperti sektor pertanian dan
pertambangan-penggalian. Sejak 2008, pertumbuhan sektor pertanian tak lebih
dari setengah pertumbuhan nasional. Padahal, sektor ini menampung 43 persen
dari total tenaga kerja yang ada. Kontribusi sektor pertanian pada PDB
nasional yang terus menurun, tinggal sekitar 14 persen, membuat kemiskinan
menumpuk.
Sejak dahulu kala, kemiskinan
terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di perdesaan
44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun
kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Per September 2012,
warga miskin berjumlah 28,594 juta (11,66 persen).
Secara agregat, kemiskinan
menurun. Namun, persentase orang miskin di perdesaan tetap tinggi: 63,4
persen (18,48 juta) dari jumlah warga miskin. Ini fakta getir karena
pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan,
puluhan tahun pembangunan ternyata kemiskinan tak beranjak jauh dari desa.
UU Desa memberi harapan baru. Ada
harapan besar, transfer anggaran ke desa akan membuat wajah desa berubah:
dari miskin menjadi lebih menggairahkan. Ada sejumlah peluang (usaha,
pembukaan tenaga kerja baru dan yang lain) yang akan tercipta seiring
mengalirnya anggaran ke desa. Ada peluang harapan baru ini akan diiringi
mengalirnya lulusan pendidikan tinggi ke desa. Lewat tangan-tangan mereka,
kemiskinan, kegureman, dan pelbagai keterbelakangan desa dikikis. Tentu itu
semua mensyaratkan kelembagaan yang mumpuni, pengawasan dan kontrol ketat
agar dana desa tak dikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar