Indonesia
dalam Rekonsiliasi Mesir
Ibnu Burdah ; Pemerhati
Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 27 Desember 2013
KONFLIK antara pendukung ”legitimasi” yang dimotori
Ikhwanul Muslimin dan kubu pemerintahan- ”militer” di Mesir masih jauh dari
selesai. Setelah dikabarkan sedikit mereda, ledakan bom mobil di kota
Al-Manshurah terjadi, dan itu menambah ketegangan.
Puluhan warga sipil tewas dan ratusan lainnya lukaluka.
Perdana Menteri Hazem al-Beblawi secara tidak langsung menuding Ikhwan berada
di balik itu semua. Kantor perdana menteri menyatakan Ikhwan adalah
organisasi teroris. Sontak Ikhwan dan kelompoknya menolak tudingan itu.
Lewat pernyataan resmi, Ikhwan juga mengutuk keras
kejahatan itu dan berharap pelakunya segera ditangkap dan diadili. Kelompok
pendukung Mursi plus antimiliter tersebut masih berupaya mempertahankan dan
memperluas gerakan aksi di jalanan kendati posisi mereka makin tersudut.
Gerakan mereka tidak hanya terkonsentrasi pada 1 atau 2 titik di tengah ibu
kota seperti sebelumnya.
Kini mereka menyebar ke berbagai titik di pelbagi kota,
termasuk di pinggiran-pinggiran Kota Kairo dan juga di kampus besar di
berbagai kota. Sementara, pemerintahan-”militer” masih terus memburu pemimpin
Ikhwan yang belum tertangkap. Beberapa pentolan tokoh 6 April yang paling
berjasa menjatuhkan rezim Mubarak kini meringkuk di penjara.
Sebagian besar tokoh Ikhwan yang ditangkap, termasuk
Mursi, menghadapi tuduhan berat, yaitu melakukan aksi spionase untuk asing,
pengkhianatan terhadap negara, memprovokasi untuk melakukan pembunuhan,
tindakan kekerasan, menghasut, dan seterusnya. Pilihan rakyat Mesir pada
demokrasi sebagai penentu masa depan sebagaimana telah dinyatakan dalam
revolusi rakyat tanggal 25 Januari 2011 sebenarnya sudah tepat.
Sistem tersebut memungkinkan negeri itu mengelola
keberagaman dan berbagai perbedaan di masyarakat, terutama mengenai cetak
biru negara itu ke depan. Patut disesalkan, sebagian rakyat Mesir seperti
menelan ludah sendiri melalui gerakan massa sangat besar pada 30 Juni 2013.
Gerakan itu antara lain mengundang kembali militer yang mulai tersisih dari
panggung politik untuk memegang lagi kendali kekuasaan.
Kegagalan kekuatan sipil demokratik, termasuk Ikhwanul,
saat memerintah, beberapa kelompok Liberal dan Kiri yang terkesan memaksakan
kehendak telah membawa kembali militer ke pusaran kekuasaan.
Kelompok-kelompok sipil demokratik gagal menjadikan jalan demokrasi damai
sebagai saluran menyelesaikan perbedaan dan perselisihan di antara mereka.
Kesalahan paling fatal adalah mengundang kembali militer
ke pusaran kekuasaan padahal revolusi 25 Januari lalu jelas mengamanatkan
keterbentukan pemerintahan sipil, bukan militer. Tragedi demokrasi dan
kemanusiaan di Mesir setelah gerakan massa 30 Juni 2013 hingga sekarang tak
lain adalah akibat nyata dari kegagalan itu. Faktanya, militer adalah penguasa
de facto sekarang. Kekuatankekuatan sipil-demokratik, baik Islamis maupun
sebagian besar kelompok sekuler terpinggirkan dari panggung kekuasaan.
Strategi utama Ikhwan hingga sekarang sepertinya belum
berubah, yakni melawan ”pemerintah” militer melalui gerakan massa secara
damai, terutama di kampus- kampus besar. Mereka masih meyakini pola itu
kendati korban di pihak mereka sudah terlalu besar. Angin segar bagi kelompok
ini adalah kemunculan gerakan massa yang menamakan diri al-Ahraar. Gerakan
ini menginginkan militer keluar dari ”istana” kendati mereka mengklaim juga
tidak berpihak kepada Ikhwan.
Gerakan pemuda pada 6 April, yang beberapa pemimpin
terasnya dijebloskan ke penjara beberapa hari lalu memiliki posisi mirip
kelompok ini. Kelompok ini akan menggalang demo besarbesaran pada 25 Januari
2014 sebagaimana mereka lakukan terhadap Mubarak 3 tahun lalu.
Peran Indonesia
Rekonsiliasi damai tak akan mudah dicapai di Mesir saat
ini kendati banyak cara terus diupayakan untuk mencari terobosan baru atas
kebuntuan politik saat ini. Berbagai upaya pihak luar, termasuk AS dan Uni
Eropa, untuk mendorong rekonsiliasi, juga gagal padahal mereka aktor-aktor
kuat internasional.
Orang Mesir tak akan mudah menerima solusi dan ”nasihat”
dari orang lain mengingat konsep diri mereka itu sangat tinggi. Mashr yaa
ummal bilaad, kata mereka dalam lagu kebangsaannya. Yang ada pada benak
mereka adalah apa yang mereka lakukan akan menjadi perhatian dan diikuti oleh
negara-negara Arab dan banyak negara berpenduduk muslim.
Tapi Indonesia dengan segala prestasi dalam hal mengelola
perbedaan, menjaga moderatisme agama, dan mengokohkan diri sebagai negara
terbesar demokrasi di dunia Islam tak boleh terlalu percaya diri menghadapi
Mesir. Kita pasti melogikakan pengalaman Indonesia adalah sesuatu yang pasti
menarik dan berharga bagi negeri itu untuk memecahkan segala masalah saat ini.
Logika itu mendasarkan pada banyaknya kemiripan persoalan
kedua negara, sekaligus kebersamaan yang panjang dalam sejarah perjuangan.
Tapi, dalam waktu yang bersamaan yakinlah logika seperti itu tak akan berguna
mengingat orang Mesir tidak akan menerima nasihat dari siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar