PROSPEK POLITIK
2014
Indonesia dan Globalisasi
Sri Hartati Samhadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
TAHUN
2015 akan menjadi tahun penentuan bagi perekonomian Indonesia, terutama
dengan mulai berlaku efektifnya Masyarakat Ekonomi Asia: Indonesia akan
menjadi pemenang, atau sebaliknya pecundang di kawasan.
Sejumlah kajian akademis dan
empiris menunjukkan, deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dan
investasi selama ini menyumbang besar pada tingginya laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama kurun 1980-an hingga awal 1990-an.
Namun, perkembangan makroekonomi,
khususnya neraca perdagangan beberapa tahun terakhir menunjukkan Indonesia
mulai kedodoran serta tak mampu memetik manfaat dan peluang yang terbuka
lebar dari momentum kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi di
Asia dan internasional.
Per Juli 2011, Indonesia tercatat
terlibat dalam 19 kesepakatan perdagangan bebas (FTA) di mana 7 di antaranya
sudah berjalan, sementara 1 belum mulai berlaku, 3 masih dalam status
negosiasi, 2 dalam status negosiasi tetapi kerangka kesepakatannya sudah
ditandatangani, serta 6 masih berstatus usulan.
Dari tujuh yang sudah berjalan,
hanya satu yang FTA bilateral, yakni Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA)
Indonesia-Jepang, sedangkan enam sisanya FTA yang ditandatangani Indonesia
sebagai bagian dari ASEAN, termasuk AFTA.
Salah satu yang paling ekstensif,
ambisius, dan di depan mata adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang salah satu
pilarnya adalah pembentukan pasar tunggal ASEAN pada 2015 atau dua tahun dari
sekarang. Di ASEAN sendiri kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BTA)
ditempuh karena kemajuan AFTA dianggap terlalu lamban. Masyarakat Ekonomi
Asia (MEA) yang akan menjadikan ASEAN pasar tunggal dan basis produksi
kompetitif di kawasan ,juga bentuk dari respons ASEAN terhadap bangkitnya
ekonomi China dan India.
Sebagai pasar tunggal, semua
hambatan perdagangan, baik tarif maupun tarif, akan dihapuskan. Antisipasi
terutama harus kita lakukan terkait liberalisasi sektor jasa sebagai sektor
sensitif. Lima sektor jasa yang disepakati diliberalisasi adalah jasa
kesehatan, pariwisata, e-commerce, transportasi udara, dan logistik.
Kelimanya pada 2015 akan bebas diperdagangkan lintas negara. Perdagangan jasa
mengatur liberalisasi tenaga kerja profesional dan buruh manufaktur. Untuk
profesional, ada lima kategori yang disepakati mulai beroperasi bebas 2015,
yaitu perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, dan insinyur. Tenaga profesional
dan buruh yang melintas batas negara ini harus memenuhi standar yang sudah
ditetapkan di ASEAN.
Yang menjadi pertanyaan, siapkah
kita menghadapi serbuan tenaga kerja dari negara tetangga di ASEAN ini dan
mampukah kita memanfaatkan peluang pasar di negara ASEAN lain? Kekhawatiran
yang muncul terutama terkait ketidaksiapan tenaga kerja Indonesia.
Berdasarkan survei Asian Productivity Organization 2004, dari setiap 1.000
tenaga kerja Indonesia hanya 4,3 persen yang tergolong terampil, sementara
Filipina 8,3 persen, Malaysia 32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen. Apalagi
dalam MEA sendiri tak ada kesepakatan regional terkait perlindungan buruh
migran yang jadi kepentingan Indonesia.
Motivasi Indonesia
Meskipun premisnya perdagangan
bebas menawarkan peluang kerja sama ekonomi dan perluasan perdagangan lewat
penurunan tarif, dalam kenyataannya karena ketidaksiapan kita sendiri, FTA
justru berdampak memukul industri dalam negeri. Bukan perluasan pasar ekspor
di negara mitra dagang yang terjadi, melainkan justru kian terdesaknya pelaku
industri Indonesia di pasar dalam negeri.
Ini antara lain kita alami dalam
kasus Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) di mana perdagangan bebas
ASEAN dan China justru kian memperlebar defisit perdagangan kita dengan
China. Pasar dalam negeri Indonesia semakin dibanjiri berbagai produk
konsumsi dari China yang membuat sejumlah pelaku industri dalam negeri gulung
tikar karena tak mampu bersaing.
Tujuh subsektor industri, yakni
petrokimia, pertekstilan, alas kaki dan barang dari kulit, elektronik,
keramik, makanan dan minuman, serta besi dan baja bakal babak belur dengan
potensi kerugian diperkirakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia mencapai Rp 35
triliun per tahun.
Hal serupa terjadi dalam kasus EPA
dengan Jepang yang ditandatangani dan mulai berlaku 2008. Ketidaksiapan
Indonesia memanfaatkan peluang—selain juga keengganan Jepang membuka
pasar—menyebabkan setelah lima tahun berlaku, nyaris tak ada manfaat apa pun
bisa kita petik dari adanya EPA.
Awalnya, dengan EPA kita berharap terjadi
restrukturisasi industri lebih cepat melalui transfer teknologi dan juga
peningkatan kapasitas. Selain itu, terbuka akses lebih lebar bagi tenaga
kerja terampil dari Indonesia seperti perawat untuk masuk ke pasar Jepang.
Dalam kenyataannya itu tak terjadi sehingga dalam pertemuan bilateral kedua
negara di sela APEC Bali awal bulan ini disepakati dilakukan negosiasi ulang.
Dalam beberapa tahun terakhir,
terjadi perkembangan pesat jumlah FTA bilateral di kawasan Asia. Tak seperti
negara ASEAN lain, yakni Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina,
Indonesia awalnya tergolong lambat melibatkan diri dalam kebijakan FTA dengan
negara non-ASEAN. Namun dengan proliferasi FTA bilateral di negara ASEAN
lain, Indonesia mau tak mau ikut melompat ke dalam gerbong karena tak ingin
ketinggalan.
Diawali dengan ASEAN+1, ASEAN+3,
kemudian dengan CER (Australia, Selandia Baru), lalu dengan India, disusul
dengan Pakistan. Indonesia juga tengah menjajaki negosiasi FTA dengan AS.
Dalam kunjungan ke Berlin belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Kanselir Jerman Angela Merkel juga menyepakati segera dimulainya
negosiasi FTA EU-Indonesia.
Tingginya resistensi di dalam
negeri yang dilatari kekhawatiran Indonesia hanya akan jadi penonton atau
pasar, tampaknya tidak bisa mengerem animo pemerintah untuk terus melakukan
negosiasi FTA dengan negara mitra dagang penting. Ekonom Hadi Soesastro dan
Wakil Presiden Boediono pernah mengemukakan, alasannya Indonesia terlibat
dalam begitu banyak FTA di kawasan sifatnya lebih pragmatis obyektif
ketimbang ideologis. Indonesia akan kehilangan daya saing jika tidak ikut
ambil bagian dalam FTA regional ini.
Kesiapan Indonesia
Sektor industri dalam negeri
adalah sektor kunci yang akan paling terpengaruh oleh penerapan BTA dengan
negara mitra dagang. Di luar Kadin, menurut Alexander C Chandra dari The
Institute for Global Justice (Indonesia and Bilateral Trade Agreements),
sebagian besar asosiasi bisnis dan kelompok penekan lain di Indonesia
sebenarnya merasa skeptis dengan keterlibatan Indonesia dalam BTA dengan
sejumlah negara. Pemerintah dinilai terlalu berani membuat komitmen BTA.
Di kalangan pemerintah sendiri,
tidak ada kesamaan pandangan soal kesiapan Indonesia. Secara umum, mereka
yang terlibat langsung dalam negosiasi, seperti Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, sangat mendukung BTA
karena menganggap BTA membuka peluang besar bagi perekonomian Indonesia meski
Kementerian Perdagangan mengakui adanya potensi dampak negatif pada industri dalam
negeri.
Kementerian Perindustrian sendiri
melihat BTA sebagai momentum untuk memaksa pelaku industri besar khususnya
industri logam, otomotif, dan kendaraan bermotor untuk bersaing karena selama
ini mereka terlalu manja dan terlalu banyak menikmati proteksi dan insentif
dari pemerintah.
Sebagian kementerian lain, seperti
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) serta Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan skeptisisme mereka.
Kemenkop dan UKM mengingatkan mayoritas sektor industri dalam negeri tak
yakin siap bersaing dengan pesaing di ASEAN, apalagi China. Kemenkop dan UKM
juga mengingatkan lemahnya koordinasi internal di antara pemerintah sendiri
dan lemahnya diseminasi informasi kepada publik terkait BTA ini. Bahkan
banyak kalangan di pemerintahan sendiri tak paham kebijakan spesifik terkait
BTA.
Kekhawatiran serupa diungkapkan
kalangan pejabat Bappenas. Mereka mencemaskan sektor pertanian dan
non-pertanian dalam negeri yang dinilai tak siap. Eliminasi tarif yang
dilakukan pemerintah menjadi 4-10 persen pada kurun 1995-2003 untuk sebagian
besar industri, menurut Bappenas, gagal mendorong pengembangan dan daya saing
industri dalam negeri.
Pemerintah selama ini selalu
berargumen upah buruh murah menjadi keunggulan kompetitif penting Indonesia,
tetapi kita gagal meningkatkan produktivitas buruh dan produktivitas
perekonomian secara keseluruhan. Kalangan akademisi umumnya juga skeptis
karena mereka tak melihat sasaran jelas pemerintah dalam kesepakatan BTA dengan
para mitra dagang utama.
Mereka melihat Indonesia sekadar
latah atau ikut-ikutan dengan langkah yang diambil negara ASEAN lain,
khususnya Singapura dan Thailand. Mereka mendesak pemerintah mengambil
pendekatan hati-hati, selain karena ketidaksiapan industri dalam negeri,
indonesia sendiri tak cukup memiliki negosiator tangguh yang mampu
mengartikulasikan kebutuhan dalam negeri dengan baik, memetakan keunggulan
dan kelemahan, serta merumuskan strategi dalam menghadapi BTA.
Sebagai anggota ASEAN, misalnya,
Indonesia selama ini tak ikut memainkan peran aktif dalam negosiasi
ASEAN-China soal ACFTA. Akibatnya, kepentingan Indonesia tak sepenuhnya
terakomodasi dan Indonesia gelagapan dan babak belur ketika kesepakatan
diimplementasikan. Terkesan negosiasi selama ini tak menyertakan semua
pemangku kepentingan sejak awal.
Sejumlah ekonom pada sebuah
diskusi di Kompas beberapa waktu lalu mencemaskan jika tidak
hati-hati, Indonesia bisa sekadar jadi pasar bagi negara ASEAN lain.
Rendahnya kualitas pembangunan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia
membuat kemampuan Indonesia memanfaatkan peluang MEA 2015 sangat rendah dan
bangsa indonesia akan semakin kehilangan daya saing.
Untuk bisa maju,
berkembang, dan bangkit bersama Asia, menurut mereka, Indonesia harus memberikan
prioritas pada peningkatan kualitas SDM dan memodernisasi ekonominya agar
berdaya saing tinggi, menggarap ekonomi domestik menjadi berdikari, dan
mengurangi ketimpangan.
Indonesia harus segera
mengidentifikasi kembali sektor apa saja yang kemungkinan besar akan
diuntungkan atau dirugikan dengan berlakunya MEA. Ini penting agar Indonesia
bisa lebih fokus dalam membenahi sektor tersebut dan mengurangi dampak
negatifnya. Langkah reformasi dan penyesuaian dalam negeri harus dilakukan.
Langkah serius membenahi berbagai masalah yang menjadi hambatan bagi industri
indonesia untuk bisa bersaing juga tak bias ditunda-tunda lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar