Pemilu
dan Kearifan Politik
Ali Rif’an ; Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Program
Pascasarjana UI
|
SINAR
HARAPAN, 27 Desember 2013
Perilaku politik yang ditunjukan pejabat negara dan elite
partai politik (parpol) hari-hari ini mengalami kemunduran luar biasa.
Berbagai penyalahgunaan wewenang dan skandal korupsi terus dipertontonkan ke
ruang publik. Kepercayaan publik pun kian memudar, sementara riak-riak
apatisme politik semakin tajam.
Menjelang beberapa bulan lagi pemilu digelar, kini
kegaduhan politik sudah mulai mengemuka. Pelanggaran-pelanggaran kecil kerap
dilakukan para calon anggota legislatif (caleg), seperti pemasangan spanduk
atau reklame yang membuat ruang publik semakin pengap dan tidak nyaman.
Lebih parah lagi, seperti diberitakan banyak media pada
Oktober 2013 lalu, caleg DPRD Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang dikeroyok
massa karena ketahuan mencuri handphone. Ketika ditanya, ia mencuri ternyata
untuk mencari pendanaan biaya kampanye.
Tentu fenomena di atas—khusunya tentang kasus caleg
mencuri—boleh jadi hanya bagian dari gunung es kasus serupa yang belum
diketahui publik. Cara-cara kotor dalam mencapai kekuasaan kerap
dipertontonkan para aktor politik kita.
Hal itu bisa kita lihat dalam banyak pilkada. Serangan
fajar—atau istilah yang lebih baru lagi “serangan dhuha”—kerap menjadi
pemandangan yang tidak tabu lagi. Demi mengejar kekuasaan, praktik kotor
seperti memanipulasi data, melakukan kekerasan dan intimidasi politik juga
kerap dilakukan.
Celakanya, praktik semacam itu juga kadang terjadi di
arena politik kampus, di mana perebutan tampuk tertinggi organisasi kerap
diraih dengan cara-cara culas. Tidak heran jika para aktivis kampus ketika
masuk organisasi yang lebih besar—seperti partai politik—cara-cara culas
seperti itu masih dibawa.
Politik ala Machiavelli
Fakta tersebut menandakan politik ala Machiavelli lebih
digandrungi di negeri ini. Melalui karyanya yang berjudul The Prince
(1513), Niccolo Machaivelli kerap dituding sebagai “gurunya kejahatan” karena
nasihat-nasihatnya yang amoral.
Dalam pandangan Machiavelli, seorang pangeran (aktor
politik) harus berani untuk melakukan apa pun yang diperlukan, betapapun
tampak tercela, karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya,
yaitu kebaikan negara (Skinner, 1985: 4).
Tentu saja, jika pandangan seperti itu terus dipraktikkan
politikus kita, mengutip ungkapan Yasraf Amir Piliang (2005)—“ironi politik”
akan terus terjadi di negeri ini.
John Evan Seery dalam Political
Return: Irony in Politics and Theory from Plato to the Anti-nuclear Movement menjelaskan,
ironi politik adalah kondisi ketika dalam ruang-ruang politik hadir berbagai
bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi,
inkompatibilitas, dan paradoks yang menciptakan berbagai bentuk absurditas
politik (Piliang, 2005: 170).
Ironi politik memproduksi berbagai ambivalensi yang
kemudian mendorong seorang politikus berwajah ganda yang memproduksi kode-kode
ganda lewat berbagai ucapan, bahasa, tindakan, dan tindak tanduk. Dalam
kehidupan politik yang nyata, ironi politik terlihat dari wajah ganda
sebagian elite politik kita.
Di satu sisi mereka mengatakan sebagai wakil rakyat atau
berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, sisi lain mereka sebenarnya sedang
berjuang untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Bahkan, tak jarang dalam ironi politik, elite politik
kemudian hanyut dalam fantasi atau ilusi-ilusi tentang gaya hidup (piknik ke
luar negari, mobil mewah, pakaian bergaya, bonus, dan lain-lain), sementara
tidak mempunyai kontak lagi dengan realitas rakyat yang mereka perjuangkan
dan wakili.
Kearifan Politik
Menjelang Pemilu 2014 yang tinggal di ujung tanduk, para
elite politik atau calon anggota legislatif kita penting untuk “mengerami”
apa yang disebut kearifan politik. Kearifan politik bisa dimaknai sebagai
proses berpolitik yang dilalui dengan cara-cara yang bijak dan bajik.
Kearifan politik merupakan seni untuk mencapai kekuasaan politik dengan jalan
yang benar.
Kearifan politik ialah menarik politik ke ruang nurani
manusia yang paling jujur, tempat kebenaran berada dan mendekam
terpenjarannya ambisi ego dan kepentingan yang dibungkus logika kebenaran.
Kearifan merelokasikan politik pada titik kesadaran perennial yang hakikatnya
sama di antara sesama makhluk politik.
Dengan demikian, kearifan politik mengembalikan esensi
politik sebagai suatu yang melekat pada diri manusia yang potensial membuat
kehidupan menjadi harmoni, damai, dan mengabdi hanya pada kebenaran serta
memperjuangkan kebenaran itu secara elegan (Kurnianto, 2010).
Lebih dari itu, kearifan politik juga mengembalikan
politik pada definisi alsinya, yakni ruang untuk mencapai tatanan sosial yang
baik dan berkeadilan (Budiardjo, 2010).
Artinya, orang yang masuk politik berarti sudah siap berjuang menciptakan
tatanan sosial yang baik dengan berbagai risiko yang harus dihadapinya,
termasuk hidup miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar