Sabtu, 28 Desember 2013

Pemilu dan Kearifan Politik

Pemilu dan Kearifan Politik

Ali Rif’an  ;   Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI
SINAR HARAPAN,  27 Desember 2013




Perilaku politik yang ditunjukan pejabat negara dan elite partai politik (parpol) hari-hari ini mengalami kemunduran luar biasa. Berbagai penyalahgunaan wewenang dan skandal korupsi terus dipertontonkan ke ruang publik. Kepercayaan publik pun kian memudar, sementara riak-riak apatisme politik semakin tajam.

Menjelang beberapa bulan lagi pemilu digelar, kini kegaduhan politik sudah mulai mengemuka. Pelanggaran-pelanggaran kecil kerap dilakukan para calon anggota legislatif (caleg), seperti pemasangan spanduk atau reklame yang membuat ruang publik semakin pengap dan tidak nyaman.

Lebih parah lagi, seperti diberitakan banyak media pada Oktober 2013 lalu, caleg DPRD Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang dikeroyok massa karena ketahuan mencuri handphone. Ketika ditanya, ia mencuri ternyata untuk mencari pendanaan biaya kampanye.

Tentu fenomena di atas—khusunya tentang kasus caleg mencuri—boleh jadi hanya bagian dari gunung es kasus serupa yang belum diketahui publik. Cara-cara kotor dalam mencapai kekuasaan kerap dipertontonkan para aktor politik kita.

Hal itu bisa kita lihat dalam banyak pilkada. Serangan fajar—atau istilah yang lebih baru lagi “serangan dhuha”—kerap menjadi pemandangan yang tidak tabu lagi. Demi mengejar kekuasaan, praktik kotor seperti memanipulasi data, melakukan kekerasan dan intimidasi politik juga kerap dilakukan.

Celakanya, praktik semacam itu juga kadang terjadi di arena politik kampus, di mana perebutan tampuk tertinggi organisasi kerap diraih dengan cara-cara culas. Tidak heran jika para aktivis kampus ketika masuk organisasi yang lebih besar—seperti partai politik—cara-cara culas seperti itu masih dibawa.

Politik ala Machiavelli

Fakta tersebut menandakan politik ala Machiavelli lebih digandrungi di negeri ini. Melalui karyanya yang berjudul The Prince (1513), Niccolo Machaivelli kerap dituding sebagai “gurunya kejahatan” karena nasihat-nasihatnya yang amoral.
Dalam pandangan Machiavelli, seorang pangeran (aktor politik) harus berani untuk melakukan apa pun yang diperlukan, betapapun tampak tercela, karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yaitu kebaikan negara (Skinner, 1985: 4).

Tentu saja, jika pandangan seperti itu terus dipraktikkan politikus kita, mengutip ungkapan Yasraf Amir Piliang (2005)—“ironi politik” akan terus terjadi di negeri ini.

John Evan Seery dalam Political Return: Irony in Politics and Theory from Plato to the Anti-nuclear Movement menjelaskan, ironi politik adalah kondisi ketika dalam ruang-ruang politik hadir berbagai bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas, dan paradoks yang menciptakan berbagai bentuk absurditas politik (Piliang, 2005: 170).

Ironi politik memproduksi berbagai ambivalensi yang kemudian mendorong seorang politikus berwajah ganda yang memproduksi kode-kode ganda lewat berbagai ucapan, bahasa, tindakan, dan tindak tanduk. Dalam kehidupan politik yang nyata, ironi politik terlihat dari wajah ganda sebagian elite politik kita.

Di satu sisi mereka mengatakan sebagai wakil rakyat atau berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, sisi lain mereka sebenarnya sedang berjuang untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Bahkan, tak jarang dalam ironi politik, elite politik kemudian hanyut dalam fantasi atau ilusi-ilusi tentang gaya hidup (piknik ke luar negari, mobil mewah, pakaian bergaya, bonus, dan lain-lain), sementara tidak mempunyai kontak lagi dengan realitas rakyat yang mereka perjuangkan dan wakili.

Kearifan Politik

Menjelang Pemilu 2014 yang tinggal di ujung tanduk, para elite politik atau calon anggota legislatif kita penting untuk “mengerami” apa yang disebut kearifan politik. Kearifan politik bisa dimaknai sebagai proses berpolitik yang dilalui dengan cara-cara yang bijak dan bajik. Kearifan politik merupakan seni untuk mencapai kekuasaan politik dengan jalan yang benar.

Kearifan politik ialah menarik politik ke ruang nurani manusia yang paling jujur, tempat kebenaran berada dan mendekam terpenjarannya ambisi ego dan kepentingan yang dibungkus logika kebenaran. Kearifan merelokasikan politik pada titik kesadaran perennial yang hakikatnya sama di antara sesama makhluk politik.

Dengan demikian, kearifan politik mengembalikan esensi politik sebagai suatu yang melekat pada diri manusia yang potensial membuat kehidupan menjadi harmoni, damai, dan mengabdi hanya pada kebenaran serta memperjuangkan kebenaran itu secara elegan (Kurnianto, 2010).

Lebih dari itu, kearifan politik juga mengembalikan politik pada definisi alsinya, yakni ruang untuk mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Budiardjo, 2010). Artinya, orang yang masuk politik berarti sudah siap berjuang menciptakan tatanan sosial yang baik dengan berbagai risiko yang harus dihadapinya, termasuk hidup miskin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar