Minggu, 29 Desember 2013

Melihat dengan Hati

Melihat dengan Hati

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  29 Desember 2013

  

Ada yang mengeluh mengapa film yang ditontonnya hanya menarik secara visual, tetapi tak menarik secara jalan ceritanya. Saya mengeluh mengapa buku ini hanya menarik judulnya, tetapi isinya biasa-biasa saja seperti menyantap makanan yang tak diberi bumbu.   ”Ngomel”

Saya menulis hal ini karena terpancing keluhan seseorang di sebuah media sosial. Bentuk keluhannya sejenis seperti yang saya tuliskan di atas. Awalnya saya tak terpancing. Membaca isi pemikiran manusia di media sosial sudah menjadi ritual yang rutin buat saya sehingga kepekaan terhadap kalimat sesarkastis apa pun tak menggelitik seperti saat sebelum sosial media dilahirkan di dunia ini.

Kalau dahulu suka terkejut karena isi kepala manusia tak semudah itu diungkapkan dan kemudian bisa dinilai, sekarang semua orang bisa mengungkapkan isi hatinya dan itu dapat saya baca sepanjang hari, sepanjang tahun, melalui sekian banyak bentuk sosial media. Jadi, geregetnya sudah memudar, tetapi tidak hilang.

Setelah mengulang membaca keluhan seseorang itu, saya mulai sedikit naik pitam. Di dalam taksi yang membawa saya ke sebuah pertemuan, saya bertanya mengapa ya orang ini mengeluh seperti itu. Sampai-sampai saya menuliskan status di sosial media begini. Manusia itu suka lupa kalau dirinya itu manusia.

Nah, saya sendiri sebetulnya yaa..seperti status yang saya tulis itu. Kalau saya juga senang mengeluh seperti seseorang di media sosial itu. Berkeluh soal mengapa. Mengapa ini dan mengapa itu. Dari soal makanan, tabiat klien, nonton film, layanan maskapai penerbangan, belanja di pasar, tukang listrik, membeli pakaian, layanan rumah sakit dan dokter, sampai yang paling parah adalah kemacetan di Jakarta ini.

Mengeluh bisa macam-macam bentuknya. Dari komentar yang sederhana macam kok ada ya orang kayak gitu,atau kayak gini, sampai mengumpat untuk keluhan yang kelas bantam. Maka di dalam taksi itu, saya kemudian berbicara dengan diri sendiri dengan suara berbisik sampai si bapak sopir taksi bertanya. ”Mas, bicara sama saya?”

Maka kemudian saya melanjutkan diskusi dengan diri sendiri di dalam hati. Rasanya beda. Tak ada luapan emosi seperti kalau sedang mengeluarkan suara. Diskusi dengan hati itu dimulai dengan pertanyaan, mengapa seseorang, termasuk saya, sebelum menilai akan seseorang atau sesuatu melupakan sebuah pertanyaan mendasar, siapa sesungguhnya manusia itu.

Jerapah

Dalam salah satu serial televisi Desperate Housewives dipertontonkan sebuah episode tentang tingkat intelektual anak yang dikemas dalam sebuah pengelompokan. Yang paling pandai dimasukkan ke dalam kategori yang diberi nama kelompok macan, yang biasa-biasa saja tupai, dan yang paling bodoh adalah jerapah.

Kategori ini menyulut kekesalan para ibu dalam serial itu. Sudah bisa diduga mereka yang naik pitam adalah yang anaknya dimasukkan ke kelompok jerapah. Dan seperti orangtua di mana pun di dunia ini, tak akan bisa mudah mengakui kalau anaknya masuk ke dalam kelompok itu meski memang kenyataannya demikian. Buat orangtua, anak itu selalu pandai, selalu paling cantik, selalu ini, dan selalu itu, bukan?

Melihat tayangan itu, saya sempat tersinggung karena sejujurnya dalam kehidupan nyata sebagai anak kecil, saya masuk ke kelompok terbodoh itu. La wong oleh kepala sekolah saya saja saya dikatakan seperti ayam tak punya otak. Jadi, Anda bisa bayangkan, sudah seperti ayam, masuk kelompok jerapah, dan tak punya otak pula. Klop, bukan? Klop penghinaannya maksud saya.

Nah, bayangkan kalau para jerapah ini tumbuh menjadi makhluk dewasa dengan tingkat IQ jerapah, apakah kira-kira yang akan dihasilkan oleh mereka? Tentu Anda akan mengatakan tak selamanya begitu. Mungkin tidak pandai dalam bermain angka, tetapi pandai dalam menulis.

Katakan saya jerapah yang pandai menulis, tetapi kalau seandainya saya diuji di antara para jerapah lainnya yang juga jagoan menulis, apa jadinya? Bisa jadi saya masuk lagi dalam kelompok jerapah, bukan? Karena menurut saya secara umum, tingkat kepandaian yang ada dalam diri seseorang itu permanen sifatnya.

Setelah menyaksikan tayangan serial itu, mungkin sebaiknya saya harus senantiasa mengingatkan diri sendiri dengan sebuah pertanyaan, siapakah manusia itu sebelum mulut ini berkicau tanpa henti.

Manusia itu cuma memiliki dua hal, kelemahan dan kekuatan. Kepandaian di satu sisi, kebodohan di sisi yang lain. Oleh karena itu, selama segala sesuatu itu dihasilkan manusia, yaa..hasilnya mengandung dua hal abadi itu yang menempel dan tak bisa dilepaskan.

Jadi, sungguh wajar kalau tak ada karya buatan manusia yang sempurna. Yang sesungguhnya lebih penting dari itu adalah melatih kemampuan menghargai keindahan karya para jerapah, macan, dan tupai, tidak hanya dengan kasatnya mata, tetapi juga dengan murninya hati. Sempurna itu kalau saya bisa memainkan hati, dan bukan hanya memainkan mata.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar