PROSPEK EKONOMI
2014
UMKM : Butuh Penanganan Tepat dan Kompak
C Anto Saptowalyono ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
BANYAK yang menangani, tetapi
masalah yang dihadapi tak kunjung tertangani. Inilah ironi yang dihadapi
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia. Sebuah entitas usaha
yang besar dalam hal jumlah danperanannya, tetapi relatif kurang dalam
mendapatkan sentuhan tepat yang dibutuhkan dalam berkembang.
Sebagai gambaran, di luar
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), ada 16
kementerian atau lembaga lainnya di pusat dan daerah yang memiliki program
pemberdayaan UMKM. Namun, terwujudnya sinergi yang saling memperkuat dan
melengkapi antarprogram atau fokus kebijakan di masing-masing lembaga
tersebut dipertanyakan. Hal tersebut jika dikaitkan dengan masih banyaknya
kendala yang dihadapi UMKM.
Data olahan Kemenkop UKM
menunjukkan, jumlah total UMKM mencapai 56,5 juta unit usaha atau 99,9 persen
dari total unit bisnis di Indonesia. Apabila lebih diperinci, dari jumlah
unit usaha di Indonesia, jumlah usaha mikro mendominasi, yakni sebanyak
55,856 juta unit atau 98,79 persen, disusul usaha kecil sejumlah 629.418 unit
(1,11 persen), usaha menengah sebesar 48.997 unit (0,09 persen), dan usaha
besar sebanyak 4.968 unit (0,001 persen).
Terkait kontribusinya terhadap
perekonomian, UMKM menyumbang 57,94 persen terhadap produk domestik bruto
dengan nilai Rp 4.303,57 triliun. Nilai investasinya tercatat mencapai Rp
830,9 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 110,80 juta orang.
Sebarannya yang merata di seluruh Tanah Air memosisikan UMKM sebagai
instrumen potensial dalam pemerataan pendapatan dan sekaligus mengurangi
kesenjangan kesejahteraan masyarakat.
Ketika pemerintah belakangan ini
gencar mendorong bertumbuhnya wirausaha baru, UMKM pun menjadi sarana
bereksperimen yang cocok bagi wirausaha untuk merintis usaha. Pemanfaatan
bahan baku dan sumber daya lokal oleh UMKM juga berperan dalam menghemat
devisa karena minimnya kebergantungan komponen impor.
Minim koordinasi
Sayangnya, belum ada koordinasi,
sinergi, dan sinkronisasi di antara 17 kementerian dan lembaga tersebut.
Padahal, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang UMKM jelas mengatur bahwa
pemerintah memiliki satu komando dalam pemberdayaan UMKM.
Kondisi tiap lembaga yang memiliki
prioritas sendiri-sendiri menghambat pencapaian suatu tujuan. Tidak pernah
tuntasnya pengembangan sentra industri ataupun kluster industri yang gencar
dilakukan pada tahun 1990-an disebut-sebut juga akibat kondisi tersebut.
UMKM mutlak membutuhkan dukungan,
termasuk dalam aspek keuangan. Pemangku kepentingan terkait fiskal, moneter,
dan juga regulator bagi UMKM perlu melakukan sinkronisasi agar lebih
mendorong pembiayaan mikro. Hal itu penting karena masih relatif minimnya
pembiayaan usaha mikro di Indonesia.
Masih rendahnya akses permodalan
bagi UMKM tersebut tidak lepas dari sejumlah kendala yang dihadapi pelaku
UMKM, semisal dinilai tidak layak bank dan minimnya kemampuan mengelola usaha
dengan baik. Sesuatu yang kemudian banyak dicoba atasi oleh beberapa pihak,
seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia melalui pelatihan pembukuan dan
manajemen usaha.
Mengacu data olahan Bank Indonesia
dan Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan tahun 2012, misalnya,
pembiayaan UMKM di Indonesia hanya 20,1 persen dari total kredit perbankan di
Tanah Air. Porsi pembiayaan untuk usaha mikro hanya 20,7 persen dari total
pembiayaan UMKM yang sebesar Rp 612 triliun.
Masih banyaknya segmen yang belum
terlayani menjadikan tingginya potensi pasar keuangan mikro. Hal yang patut
dicatat, keuangan mikro jangan hanya dibatasi pada proses transaksi kredit
mikro. Keuangan mikro harus disertai pula dengan pendampingan, penjaminan,
asuransi, dan sebagainya.
Ada banyak harapan di sisi inklusi
keuangan bagi UMKM. Kemenkop UKM mencatat, hanya sekitar 19 persen dari UMK
yang memiliki pemahaman dan mempunyai akses ke lembaga keuangan layanan
perbankan. Ada beberapa penyebab, di antaranya peraturan-peraturan yang
kurang mendukung ataupun kondisi geografis yang tidak memungkinkan pelayanan
UKM hingga ke pelosok.
Merujuk hasil penelitian Bank
Dunia tahun 2011, kondisi Indonesia dalam hal inklusi keuangan relatif masih
terbelakang dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Hal
ini tergambar dari hanya 20 persen dari orang dewasa di Indonesia yang
memiliki rekening di lembaga keuangan formal.
Sebagai perbandingan,
persentase orang dewasa di Thailand yang memiliki rekening di bank mencapai
77 persen, Malaysia 66 persen, Filipina 26 persen, dan Vietnam 21 persen.
Pengenalan UMKM terhadap bank
disebutkan merupakan awal dari evolusi pembiayaan mikro. Berawal dari
mendapatkan bantuan, UMKM kemudian dapat memperoleh kredit program. Setelah
usahanya kian berkembang dan layak bank, selanjutnya mereka pun dapat
mengakses pinjaman.
Keberadaan koperasi simpan pinjam
di Indonesia, yang jumlahnya sekitar 138.000 unit, merupakan sarana yang
dapat pula menjembatani dan menyelesaikan masalah permodalan UMKM. Berhimpunnya
sekitar 1.200 koperasi wanita pun merupakan potensi dahsyat dalam mendukung
permodalan bagi pelaku UMKM.
Penguatan kelembagaan koperasi
menjadi tantangan di masa depan. Pun halnya peningkatan akses modal merupakan
tantangan bagi koperasi dan UMKM. Termasuk juga peningkatan akses terhadap
sumber daya produktif lainnya, seperti teknologi, informasi, dan jejaring.
UMKM berpeluang besar dikembangkan
apabila ada koordinasi dan sinergi kebijakan. Adalah sulit mengembangkan 56,5
juta unit UMKM secara bersama-sama. Perlu ada orientasi dan fokus program
untuk menentukan UMKM yang betul-betul potensial dan memiliki dampak
berganda. Adanya panutan dan aturan main yang jelas diyakini akan
mengompakkan dan memudahkan pengaturan koperasi dan UMKM untuk melakukan tindakan
kolektif atau bekerja sama dengan pelaku usaha lain.
Tidak terbantahkan, UMKM memiliki
sejumlah keunggulan. Mereka terbukti tangguh saat krisis melanda, memiliki
keluwesan dalam memasuki semua lini usaha, dan cepat beradaptasi. Bahkan,
banyak pula koperasi dan UMKM yang menghasilkan barang dan jasa berkualitas
ekspor. UMKM akan terus berkembang sejauh para pemangku kepentingan
memberikan dukungan dan sentuhan penanganan yang tepat dan terkoordinasi.
Jangan lagi berjalan sendiri-sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar