PROSPEK EKONOMI
2014
Ironi Anggaran Negara Kaya
Gianie ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
PAKET
kebijakan pemerintah pada 22 Agustus lalu untuk meredam pemburukan ekonomi akan
berpengaruh pada pendapatan negara 2014. Jika tidak hati-hati, keseimbangan
primer bisa membengkak dari yang sudah direncanakan dalam RAPBN 2014. Di sisi
lain, alokasi belanja negara memperlihatkan ironi pemerintah.
Sejak tahun 2012, keseimbangan
primer Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni pendapatan
dikurangi belanja di luar pembayaran utang, sudah minus. Meskipun rasio
defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) masih dalam batas aman
(kurang dari 3 persen), keseimbangan primer yang negatif menjadi sinyal tidak
sehatnya APBN.
Dalam RAPBN 2014, pemerintah
memperkirakan keseimbangan primer masih minus dengan angka lebih kecil, yakni
Rp 34,7 triliun. Tahun 2012 keseimbangan primer defisit Rp 52,8 triliun yang
membengkak minus Rp 111,7 triliun pada APBN Perubahan 2013.
Ada dua cara mengatasi defisit
keseimbangan primer: menambah pendapatan atau efisiensi belanja. Cara pertama
akan bertabrakan dengan beberapa kebijakan ekonomi pemerintah untuk
menyelamatkan perekonomian akibat merosotnya nilai tukar rupiah dan saham.
Kebijakan pengurangan pajak
sebagai insentif industri padat karya dan penghapusan pajak penjualan atas
barang mewah jelas akan memengaruhi pendapatan negara. Ditambah pula dengan
pemberian insentif tax holidayuntuk mempercepat investasi berbasis agro,
minyak sawit mentah (CPO), kakao, rotan, mineral logam, bauksit, dan tembaga.
Jika belanja negara diasumsikan tetap, apalagi jika membengkak, menurunnya
sumber pendapatan akan memperbesar defisit keseimbangan primer.
Pendapatan negara dalam RAPBN 2014
direncanakan Rp 1.662,5 triliun, naik hampir 11 persen dari APBN-P 2013.
Sekitar 80 persen pendapatan tetap berasal dari penerimaan pajak, yakni Rp
1.310,2 triliun. Tren penerimaan selalu meningkat, kali ini 14 persen dengan laju
agak menurun. Penerimaan dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai
menjadi sumber penyumbang terbesar.
Belanja negara 2014 meningkat 5
persen menjadi Rp 1.816,7 triliun. Tren belanja negara selalu meningkat, baik
untuk belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah. Belanja pemerintah
pusat naik 3 persen, sementara transfer ke daerah dalam bentuk dana
perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian naik 11 persen.
Dengan belanja lebih besar
daripada pendapatan, defisit anggaran diperkirakan Rp 154,2 triliun atau 1,49
persen terhadap PDB. Defisit ini bisa diatasi melalui beberapa instrumen
pembiayaan, seperti penerbitan surat berharga negara atau pinjaman luar
negeri.
Namun, hal penting dari belanja
negara adalah efisiensi dan alokasi anggaran yang tepat, yaitu pada sektor
yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, realokasi anggaran ke belanja
modal, terutama ke sektor yang mendorong berkembangnya pertanian, industri,
dan infrastruktur, harus dilakukan. Sektor-sektor ini yang akan menjadi
tumpuan penciptaan lapangan kerja.
Alokasi belanja
Mengacu pada data tujuh tahun
lalu, pendapatan negara yang direncanakan untuk tahun 2014 naik sangat
signifikan, yaitu 135 persen. Ini menandakan perkembangan ekonomi dan
perbaikan kesejahteraan masyarakat menyumbang banyak untuk anggaran negara.
Potensi penerimaan tentu lebih besar lagi. Meski belum tergolong negara maju,
Indonesia negara kaya dengan jumlah masyarakat kelas menengah yang besar dan
pertumbuhan ekonomi terjaga.
Belanja negara juga naik hingga
140 persen. Sayangnya, alokasi anggaran belanja belum bisa dikatakan efisien
dan memihak rakyat. Belanja subsidi dan belanja pegawai masih mendominasi.
Alokasi belanja pemerintah pusat
sebenarnya mulai menaruh perhatian lebih besar pada belanja modal dan barang.
Alokasi belanja modal yang meningkat mengompensasi subsidi yang mulai
dikurangi bertahap. Pengurangan subsidi merupakan konsekuensi kenaikan harga
bahan bakar minyak pada Juni 2013. Juga kenaikan tarif listrik bertahap per
tiga bulan sejak awal tahun 2013.
Pada APBN-P 2013, alokasi belanja
barang dan modal mencapai 33,4 persen. Naik dari tahun 2012 yang baru 28,3
persen. Untuk tahun depan, belanja kedua pos tersebut sebesar 33,3 persen.
Peningkatan alokasi anggaran
belanja modal, antara lain, untuk mengakomodasi keperluan anggaran pada
kegiatan infrastruktur dasar (termasuk energi, pangan, dan komunikasi) serta
meningkatkan keterhubungan antardaerah. Tren kenaikan alokasi belanja barang
dan modal ini berkebalikan dengan tren belanja pegawai. Meskipun secara
nominal belanja pegawai meningkat, porsinya dalam keseluruhan belanja
pemerintah cenderung berkurang.
Tren belanja subsidi menurun
bertahap. Porsi belanja subsidi 2012 masih 34,3 persen (Rp 346,4 triliun).
Tahun 2013 porsinya turun menjadi 29,1 persen (Rp 348,1 triliun) dan turun
lagi untuk tahun depan menjadi 27,3 persen (Rp 336,2 triliun). Penurunan
terutama pada subsidi energi. Adapun subsidi untuk non-energi alokasinya
naik, terutama untuk subsidi pupuk.
Selain belanja subsidi, alokasi bantuan
sosial juga diturunkan cukup drastis, baik secara nominal maupun persentase.
Pada APBN-P 2013, bantuan sosial sebesar Rp 82,5 triliun (6,9 persen). Tahun
depan alokasinya turun menjadi Rp 55,9 triliun (4,5 persen).
Hal tersebut memperlihatkan
menipisnya kepekaan pemerintah dalam menyusun anggaran belanja. Di tengah
kondisi masyarakat kelas bawah bertahan mengatasi kenaikan harga banyak
kebutuhan pokok, mereka sangat bergantung pada bantuan sosial di bidang
pendidikan dan kesehatan.
Pengurangan alokasi bantuan sosial
mengindikasikan kurangnya kepedulian pemerintah terhadap kesulitan rakyat.
Pengurangan subsidi energi masih bisa dimaklumi karena dugaan penerima
subsidi lebih banyak kelas menengah ke atas. Sementara pengurangan bantuan
sosial di tengah masyarakat yang rentan perubahan harga pangan dan energi
serta tinggal di wilayah rawan bencana seakan menciptakan ironi. Ironi yang
membentangkan jarak semakin jauh antara pemerintah dan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar