HAM
dan Daulat Jilbab Polwan
Joko Wahyono ; Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
SUARA
KARYA, 27 Desember 2013
Moratorium pemakaian jilbab oleh pimpinan
Kepolisisn Republik Indonesia (Polri) kembali membuat gamang polisi wanita
(Polwan) muslimah yang sudah terbiasa berjilbab dalam kesehariannya. Mereka
lagi-lagi terpaksa harus menabrak "rambu-rambu" tidak tertulis dan
membuat argumentasi sendiri saat memakai jilbab.
Padahal, sebelumnya Kapolri Jenderal Polisi
Sutarman telah memberi sinyal diperbolehkannya polwan mengenakan jilbab saat
bertugas. Tetapi, karena alasan penyeragaman, Polri butuh waktu untuk
menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) sebagai dasar legitimasi seragam
jilbab polwan itu.
Terlepas dari polemik yang muncul, pengaturan
jilbab harus benar-benar dilakukan dalam konteks melindungi keamanan,
keselamatan, kesehatan, martabat atau hak-hak mendasar polwan lainnya.
Terlebih, konstitusi memberikan jaminan hak asasi (HAM) bagi setiap warga
negara untuk menjalankan kewajiban sebagai umat beragama sesuai dengan agama
dan kepercayaanya. Untuk itu, persoalan jilbab (memakai atau tidak) sejatinya
masuk wilayah internum (kebebasan internal). Ini merupakan hasil dari
permenungan pemikiran (ijtihadi) terhadap keyakinan yang dianut, yakni Islam,
sehingga dalam konteks HAM selayaknya dilindungi.
Kontestasi Makna
Di masyarakat kita, jilbab lazim dipandang
sebagai simbol religiusitas atau manifestasi kualitas keimanan dan kesalehan
seorang perempuan. Namun, konstruksi identitas kesalehan atas jilbab sering
kali sangat rapuh dihadapan politik. Politisi perempuan yang terjerat korupsi
mendadak berjilbab saat masuk ruang persidangan. Akibatnya, keindahan jilbab
terhempas dan maknanya menjadi bias. Perkara memakai jilbab akhirnya banyak
digugat. Jilbab masuk pada arena kontestasi permainan makna dan tafsir.
Apakah ia simbol kesalehan, ekspresi perlawanan (resistensi), pengukuhan
identitas, persembunyian simbolik, tren fashion pecandu gaya hidup urban (urban life style) atau kombinasi dari
dua atau tiga hal itu atau malah di luar itu semua.
Karenanya, jilbab sebenarnya tidak hidup dalam
ruang kedap kultural. Membaca sesampir jilbab harus dibarengi dengan membincangkan
ihwal konteks ruang dan waktu di mana jilbab itu hidup dan dihidupkan oleh
pemakainya. Pada tataran ini, ada berjibun makna simbolik pada sehelai kain
jilbab dengan warna, model, pemakai dan konteks pemakaiannya seolah jilbab
berbicara tentang titah sosio-kultural tertentu.
Fadwa El Guindi (2003) meletakkan jilbab dalam
konteks pakaian multidimensi sebagai model komunikasi yang dibangun dari
pengetahuan lintas sejarah, budaya, agama dan gender. Perkara jilbab tidak
hanya menjadi milik masyarakat Islam, Yunani dan Persia (sekarang Iran), pra
Islam pun telah mengenal jilbab.
Bagi masyarakat Persia jilbab adalah
representasi dari ekslusivitas kelas yang membedakan antara perempuan kelas
bangsawan dan perempuan biasa.
Sementara jilbab bagi masyarakat Yunani
berkaitan dengan mitologi menstruasi sebagai dosa asal (original sin). Darah menstruasi diyakini sebagai darah tabu yang
menuntut berbagai upacara ritual dan perlakuan khusus. Tatapan mata perempuan
menstruasi dipercaya memiliki kekuatan "mata iblis" yang berpotensi
menimbulkan malapetaka. Selain diasingkan secara sosial, mereka juga
diharuskan menjulurkan pakean (baca: jilbab) untuk menutupi anggota badan
sebagai isyarat pencegah iblis masuk ke dalam tubuh perempuan.
Begitu pula, dalam banyak literatur kitab suci
agama abrahamik (semitik) telah dikenal istilah-istilah yang punya arti
sepadan dengan jilbab. Misalnya, dalam kitab Injil (Kristiani) ada istilah redid, zamah, re'aliah, zaif dan mitpahat. Begitu pula dalam kitab
Taurat (Yahudi) ditemukan istilah tif'eret.
Bahkan, agama Yahudi pernah menjadikan jilbab
sebagai pakaian wajib (obliged dress)
bagi perempuan. Membuka jilbab adalah suatu pelanggaran yang mengakibatkan
perceraian, karena dianggap sebagai wujud ketidaksetiaan isteri terhadap
suami. Tidak hanya itu, jilbab juga menjadi alat perlawanan (resistensi).
Di
Aljazair, jilbab memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan. Jilbab
menjadi bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan kaum perempuan
dari penghancuran budaya tradisional Arab-Aljazair yang dilakukan oleh
kolonial Perancis. Intelektual muslim, Kuntowijoyo (2001) mengungkapkan bahwa
Islam itu bergerak dari dalam ke luar. Artinya, kesadaran iman dan kesalehan
yang berada dalam diri seorang muslim merupakan condition sine qua non, syarat mutlak bagi yang berada di luar.
Untuk itu, Islam meniscayakan integrasi antara ketakwaan dengan amal salih,
niat dengan perbuatan.
Dari perspektif ini, jilbab polwan seharusnya
menjadi perwujudan keterpaduan orientasi instrinsik dan ekstrinsik itu.
Orientasi ekstrinsik jilbab polwan tidak hanya dibaca sebagai manifestasi
ketakwaan, ekspresi busana penanda kemuslimahan. Atau, sekedar gaya hidup
yang menumbuhkan tafsir jilbab dengan nalar komersialisasi, sebagaimana
jilbab dalam semiotika pop-culture.
Jilbab polwan harus menyiratkan pesan sosial-kultural, bahkan ia harus
dicandra sebagai simbol perlawanan kultural.
Jilbab polwan diharapkan menjadi alat
perjuangan moral agar institusi kepolisian bersedia membersihkan diri, tidak
lagi berkawan dengan korupsi, suap dan berbagai penyalahgunaan kewenangan.
Dengan jilbabnya, polwan ingin menegaskan bahwa jilbab bukanlah busana
persembunyian simbolik para koruptor sebaliknya, busana pembasmi koruptor,
penegak hukum dan keadilan, pelayan publik, pejuang kebenaran.
Jilbab polwan membersitkan seruan agar
Kepolisian menjaga "aurat institusionalnya" sebagai penegak hukum
terbebas dari perilaku korupsi dan degradasi moral, penanda komitmen selalu
siap menjaga marwah kepolisian. Tidak salah, rakyat mendesak diterbitkan
peraturan polwan berjilbab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar