Minggu, 29 Desember 2013

HAM dan Daulat Jilbab Polwan

HAM dan Daulat Jilbab Polwan

Joko Wahyono  ;   Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA,  27 Desember 2013
  


Moratorium pemakaian jilbab oleh pimpinan Kepolisisn Republik Indonesia (Polri) kembali membuat gamang polisi wanita (Polwan) muslimah yang sudah terbiasa berjilbab dalam kesehariannya. Mereka lagi-lagi terpaksa harus menabrak "rambu-rambu" tidak tertulis dan membuat argumentasi sendiri saat memakai jilbab.

Padahal, sebelumnya Kapolri Jenderal Polisi Sutarman telah memberi sinyal diperbolehkannya polwan mengenakan jilbab saat bertugas. Tetapi, karena alasan penyeragaman, Polri butuh waktu untuk menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) sebagai dasar legitimasi seragam jilbab polwan itu.

Terlepas dari polemik yang muncul, pengaturan jilbab harus benar-benar dilakukan dalam konteks melindungi keamanan, keselamatan, kesehatan, martabat atau hak-hak mendasar polwan lainnya. Terlebih, konstitusi memberikan jaminan hak asasi (HAM) bagi setiap warga negara untuk menjalankan kewajiban sebagai umat beragama sesuai dengan agama dan kepercayaanya. Untuk itu, persoalan jilbab (memakai atau tidak) sejatinya masuk wilayah internum (kebebasan internal). Ini merupakan hasil dari permenungan pemikiran (ijtihadi) terhadap keyakinan yang dianut, yakni Islam, sehingga dalam konteks HAM selayaknya dilindungi.

Kontestasi Makna

Di masyarakat kita, jilbab lazim dipandang sebagai simbol religiusitas atau manifestasi kualitas keimanan dan kesalehan seorang perempuan. Namun, konstruksi identitas kesalehan atas jilbab sering kali sangat rapuh dihadapan politik. Politisi perempuan yang terjerat korupsi mendadak berjilbab saat masuk ruang persidangan. Akibatnya, keindahan jilbab terhempas dan maknanya menjadi bias. Perkara memakai jilbab akhirnya banyak digugat. Jilbab masuk pada arena kontestasi permainan makna dan tafsir. Apakah ia simbol kesalehan, ekspresi perlawanan (resistensi), pengukuhan identitas, persembunyian simbolik, tren fashion pecandu gaya hidup urban (urban life style) atau kombinasi dari dua atau tiga hal itu atau malah di luar itu semua.

Karenanya, jilbab sebenarnya tidak hidup dalam ruang kedap kultural. Membaca sesampir jilbab harus dibarengi dengan membincangkan ihwal konteks ruang dan waktu di mana jilbab itu hidup dan dihidupkan oleh pemakainya. Pada tataran ini, ada berjibun makna simbolik pada sehelai kain jilbab dengan warna, model, pemakai dan konteks pemakaiannya seolah jilbab berbicara tentang titah sosio-kultural tertentu.

Fadwa El Guindi (2003) meletakkan jilbab dalam konteks pakaian multidimensi sebagai model komunikasi yang dibangun dari pengetahuan lintas sejarah, budaya, agama dan gender. Perkara jilbab tidak hanya menjadi milik masyarakat Islam, Yunani dan Persia (sekarang Iran), pra Islam pun telah mengenal jilbab. 

Bagi masyarakat Persia jilbab adalah representasi dari ekslusivitas kelas yang membedakan antara perempuan kelas bangsawan dan perempuan biasa.
Sementara jilbab bagi masyarakat Yunani berkaitan dengan mitologi menstruasi sebagai dosa asal (original sin). Darah menstruasi diyakini sebagai darah tabu yang menuntut berbagai upacara ritual dan perlakuan khusus. Tatapan mata perempuan menstruasi dipercaya memiliki kekuatan "mata iblis" yang berpotensi menimbulkan malapetaka. Selain diasingkan secara sosial, mereka juga diharuskan menjulurkan pakean (baca: jilbab) untuk menutupi anggota badan sebagai isyarat pencegah iblis masuk ke dalam tubuh perempuan.

Begitu pula, dalam banyak literatur kitab suci agama abrahamik (semitik) telah dikenal istilah-istilah yang punya arti sepadan dengan jilbab. Misalnya, dalam kitab Injil (Kristiani) ada istilah redid, zamah, re'aliah, zaif dan mitpahat. Begitu pula dalam kitab Taurat (Yahudi) ditemukan istilah tif'eret.

Bahkan, agama Yahudi pernah menjadikan jilbab sebagai pakaian wajib (obliged dress) bagi perempuan. Membuka jilbab adalah suatu pelanggaran yang mengakibatkan perceraian, karena dianggap sebagai wujud ketidaksetiaan isteri terhadap suami. Tidak hanya itu, jilbab juga menjadi alat perlawanan (resistensi). 

Di Aljazair, jilbab memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan. Jilbab menjadi bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan kaum perempuan dari penghancuran budaya tradisional Arab-Aljazair yang dilakukan oleh kolonial Perancis. Intelektual muslim, Kuntowijoyo (2001) mengungkapkan bahwa Islam itu bergerak dari dalam ke luar. Artinya, kesadaran iman dan kesalehan yang berada dalam diri seorang muslim merupakan condition sine qua non, syarat mutlak bagi yang berada di luar. Untuk itu, Islam meniscayakan integrasi antara ketakwaan dengan amal salih, niat dengan perbuatan.

Dari perspektif ini, jilbab polwan seharusnya menjadi perwujudan keterpaduan orientasi instrinsik dan ekstrinsik itu. Orientasi ekstrinsik jilbab polwan tidak hanya dibaca sebagai manifestasi ketakwaan, ekspresi busana penanda kemuslimahan. Atau, sekedar gaya hidup yang menumbuhkan tafsir jilbab dengan nalar komersialisasi, sebagaimana jilbab dalam semiotika pop-culture. Jilbab polwan harus menyiratkan pesan sosial-kultural, bahkan ia harus dicandra sebagai simbol perlawanan kultural.

Jilbab polwan diharapkan menjadi alat perjuangan moral agar institusi kepolisian bersedia membersihkan diri, tidak lagi berkawan dengan korupsi, suap dan berbagai penyalahgunaan kewenangan. Dengan jilbabnya, polwan ingin menegaskan bahwa jilbab bukanlah busana persembunyian simbolik para koruptor sebaliknya, busana pembasmi koruptor, penegak hukum dan keadilan, pelayan publik, pejuang kebenaran.

Jilbab polwan membersitkan seruan agar Kepolisian menjaga "aurat institusionalnya" sebagai penegak hukum terbebas dari perilaku korupsi dan degradasi moral, penanda komitmen selalu siap menjaga marwah kepolisian. Tidak salah, rakyat mendesak diterbitkan peraturan polwan berjilbab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar