Daulat
Rakyat di RUU Pemilu Kada
Wiwin Suwandi ; Pengamat Hukum Tata Negara Unhas,
Peneliti Pusat
Kajian Konstitusi Unhas, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2013
RANCANGAN Undang-Undang
(RUU) Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pemilu Kada) yang sedang dibahas di
DPR memuat beberapa isu yang menarik didiskusikan secara akademis. Satu di
antaranya tentang format pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Jika
awalnya gubernur, bupati dan wali kota dipilih secara langsung oleh rakyat,
draf RUU Pemilu Kada mewacanakan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota
dikembalikan ke Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Isu ini kemudian
mengundang perdebatan. Menggiring sejumlah pihak yang berkepentingan dalam
arus pro dan kontra. Namun dari sekian banyak komentar yang mengemuka,
pertanyaan kunci terkait dengan wacana ini tidak bisa dilepaskan dari satu
pertanyaan besar, di mana posisi daulat rakyat? Pertanyaan ini harus dijawab
agar demokrasi pemilihan tidak hanya menjadi ajang transaksi elite.
Problem otda
Tak bisa dimungkiri,
banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus hukum, utamanya korupsi, menjadi
alasan kuat wacana pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dikembalikan ke
DPRD. Ramainya pemberitaan penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap sejumlah kepala daerah, mulai level gubernur hingga bupati dan wali
kota menjadi `legitimasi opini' untuk mendesakkan wacana ini. Apalagi
pascapenahanan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, oleh KPK belum lama ini.
Otonomi daerah (otda)
kemudian dituding sebagai `kambing hitam'.
Tudingan ini cukup beralasan mengingat pemilu kada berada di bawah rezim UU No 32 Tahun 2004 (UU Pemda/UU Otda), berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang merupakan rezim pemilu. Oleh karena berada di bawah rezim otoda, wacana pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota oleh DPRD dalam draf RUU Pemilu Kada, tidak bisa dilepaskan dari problem pelaksanaan otoda selama ini.
Dari banyak masalah
terkait pelaksanaan otoda, isu korupsi kepala daerah menjadi topik utama.
Jika dikaitkan dengan wacana pemilihan gubernur, bupati dan wali kota oleh
DPRD dalam draf RUU Pemilu Kada, isu ini cukup kuat. Bahwa pemilihan kepala
daerah secara langsung yang selama ini memakan biaya mahal, rawan memicu
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) oleh kepala daerah.
Lihat saja, hingga
penghujung 2013, sudah ratusan kepala daerah tersandung korupsi. Ironisnya,
kepala daerah ini lahir dari proses pemilihan langsung. Mahalnya ongkos
politik yang harus dikeluarkan selama mengikuti proses pemilu kada memicu
kepala daerah terpilih menyalahgunakan kekuasaannya. Ketika terpilih, sang
kepala daerah berpikir untuk mencari pengganti ongkos politik yang keluar
selama ini.
Penyalahgunaan APBD
dan izin investasi, pertambangan, perkebunan dan izin investasi lainnya
menjadi lahan empuk korupsi kepala daerah. Korupsi dana bantuan sosial
(bansos) oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan penyalahgunaan izin
investasi oleh mantan Bupati Buol Amran Batalipu menjadi tesis autentik dalam
isu ini.
Korupsi kepala daerah
merupakan imbas dari desentralisasi kekuasaan yang tidak terkontrol dengan
baik, baik oleh UU maupun perangkat atau institusi sosial-politik lainnya di
daerah seperti DPRD, LSM/NGO lokal dan masyarakat umum. Besarnya kewenangan
yang dimiliki seorang kepala daerah tidak dibarengi dengan pengawasan dan
standar pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah yang efektif.
Akibatnya, otda seakan `menjebak' kepala daerah dalam jaring korupsi.
Berkaca pada rezim
Orde Baru yang saat berkuasa dengan watak sentralistiknya, kekuasaan terpusat
pada satu tangan: Soeharto dan kroninya. Akibatnya, sumber-sumber politik dan
ekonomi negara hanya berputar pada segelintir orang. Daerah tidak diberikan
akses luas untuk mengelola kemandiriannya.
Saat Orde Baru runtuh,
pemerintahan masa transisi menerbitkan UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (lazim disebut UU Otda) untuk mengobati `luka' daerah dan
untuk menyempurnakan beberapa kesalahan dalam UU Pemda sebelumnya (UU No 5
Tahun 1974). UU itu membuka keran desentralisasi kekuasaan sebesar-besarnya.
Desentralisasi melalui asas `otonomi' menjadi kata kunci yang diberikan pusat
ke daerah untuk mengelola kemandirian daerahnya.
Namun, reformasi politik
di bidang UU Pemda itu menjadi tidak terkontrol dan kebablasan. Tujuan awalnya
sangat baik, yaitu agar daerah mampu bersaing dan mengelola daerahnya dengan
dasar kemandirian. Akan tetapi, kekuasaan yang terlampau besar yang kemudian
diperparah dengan mekanisme kontrol yang kurang menyebabkan kekuasaan
tersebut disalahgunakan.
Fenomena tersebut
menguatkan dalil Mansur Olson tentang political
bandit. Olson--seorang yang menentang kediktatoran--mengemukakan teori
tentang roving bandit dan stationary bandit. Ia menggambarkan
bahwa dulu ada seorang bandit besar (stationary
bandit). Bandit besar ini dengan semua kemampuan nya menguasai hampir
seluruh kekayaan di wi layah tersebut. Pada masa sang bandit besar tersebut
berakhir, muncul bandit bandit kecil (roving
bandit) yang menguasai beberapa wilayah sesuai dengan otoritasnya masing-masing.
Olson benar, otda yang kebablasan ernyata melahirkan `bandit bandit kecil'
yang hanya bisa memperkaya diri.
Pertahankan daulat rakyat
Beragam masalah ter
sebut cukup kuat menjadi dasar wacana pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota oleh DPRD. Namun, bukan berarti semua alasan tersebut lantas diterima
mentah-mentah. Perlu dikaji dan diperdebatkan secara akademik agar daulat
rakyat tidak tereliminasi kepen tingan elite semata.
Memang benar bahwa
pemilihan melalui DPRD juga dianggap `demokratis', karena wakil rakyat yang
duduk di situ juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Sistem demokrasi
tidak hanya mengenal demokrasi langsung, tetapi juga demokrasi perwakilan.
Namun, jika menyelisik teori pure
demokrasi, bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat (from, by and for people)
jelas demokrasi langsung adalah sistem terbaik. Karena melibatkan masyarakat
secara keseluruhan dalam menggunakan hak pilih, termasuk hak untuk dipilih. Dalam
konteks ini, doktrin bahwa `demokrasi adalah aspirasi mayoritas' adalah benar
adanya.
Selain itu, visi untuk
membangun masyarakat yang sadar dan tertib politik juga akan terhambat dengan
berlakunya klausul tersebut. Jika gubernur, bupati, dan wali kota dipilih
melalui DPRD, hubungan antara gubernur, bupati, dan wali kota sebagai `abdi'
dan rakyat sebagai pihak yang dilayani akan renggang. Rakyat tidak terlalu
merasa terikat untuk taat dan patuh kepada apa yang diperintahkan oleh
gubernur, bupati, dan wali kota. Secara berseloroh, rakyat akan mengatakan, “Anda kan wakil partai, bukan wakil kami!“
Ketentuan ini juga
bertentangan dengan makna kedaulatan rakyat dan penyaluran hak sipil-politik
warga negara. Pasal 2 UUD 1945 menyatakan bahwa, `kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD'.
Apalagi pada 2005 kita telah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No 12 Tahun
2005. Salah satu ketentuan dalam ICCPR adalah terkait dengan hak untuk
memilih.
Saya khawatir, klausul
ini rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap telah
mengeliminasi kedaulatan rakyat. Bagaimana negara mempertanggungjawabkan
semuanya: biaya dan wibawa, jika seandainya, UU ini akhirnya `rontok' di MK.
Jadi pemerintah harus cermat memikirkan hal ini, agar sekali lagi posisi
daulat rakyat tidak tereliminasi oleh kepentingan elite semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar