Teater
Mati dan Teater Kematian
Afrizal Malna ; Penyair
|
KOMPAS,
29 Desember 2013
Dalam perang Baratayudha
di medan Kurusetra (
Para perempuanlah yang kemudian melanjutkan
kehidupan, memproduksi generasi baru dengan ilusi: perempuan sebagai medan
titik temu antara dewa dan manusia. Namun, manusia harus mati, dewa tidak.
Mahabarata
Ilusi kemudian menjadi ladang yang
produktif untuk berkembangbiaknya ideologi-ideologi melalui dinding nihilisme
yang dibawanya. Bukankah dinding nihilisme itu selalu menghasilkan bayangan
”ada” dari ”ketiadaan”. Teater kematian dari
Cermin dan ilusi, keduanya bertemu sebagai
media dua dimensi yang tidak bisa dimasuki. Cermin sebagai presentasi
realitas seakan-akan bisa dimasuki karena sifat materinya yang bisa dipegang.
Namun, gambaran yang dipantulkan olehnya tetap merupakan media yang tidak
bisa dimasuki, tidak berbeda dengan ilusi.
Keduanya paralel dengan sifat
representasi bahasa dan agama.
Media arbitrer, seperti bahasa dan kemudian
agama, cermin dan kemudian ilusi, membutuhkan cerita untuk mendapatkan ruang
reproduksinya, pengembangbiakan ideologi-ideologi. Pelembagaan tanda-tanda
mendapatkan konstruksinya melalui ruang penyebarluasan ideologi-ideologi ini.
Penyebarluasan ideologi-ideologi yang saling bertemu sebagai kerinduan tubuh
untuk mendapatkan masa lalunya (di sana, bukan di sini) dan masa depannya
(juga di sana, bukan di sini), mendapatkan keabadian dari kerapuhannya
melalui kematian menjadi nonmateri (juga di sana, bukan di sini):
melengkapkan arbitrase media dua dimensi ini.
Sifatnya yang dua dimensi itu selalu
menghasilkan ruang ritual antara teks, konteks, dan referensi. Referensilah
yang membuat tanda-tanda di dalamnya bekerja mekanik, menciptakan order
terus-menerus melalui gradasi permainan antara konteks dan referensi (”aku”
selalu mengandaikan adanya ”kamu” di luar ”dia”). Tanda-tanda yang terus
menciptakan dirinya sebagai skenario dengan ”penulis yang tak tersentuh”,
memberlakukan klaim atas ruang masa lalu dan masa depan.
Cerita sebagai orang ketiga (dia yang
diceritakan), yang tidak pernah hadir bersama kita (selalu di sana),
seakan-akan bisa membangun ruang tiga dimensinya, menjadi orang pertama (aku)
yang berhadapan dengan orang kedua (kamu) melalui dinding pertunjukan teater.
Ilusi dua dimensi dari cerita dipentaskan ke dalam ilusi tiga dimensi melalui
dinding-dinding teater.
Dinding-dinding pasar bekerja dengan cara
berbeda dengan dinding-dinding teater. Kalau dinding-dinding teater
menciptakan ruang ilusi sebagai internalisasi ”cerita di sana” menjadi
”cerita di sini” yang bisa dimasuki dalam permainan dua dimensi antara penonton
dan yang ditonton, pasar menciptakan ilusi seakan-akan cerita bisa dimiliki
dengan cara membelinya. Teater dan pasar menjadi ritual untuk bayangan
kerinduan aku untuk berada dan menjadi bagian dari tanda. Di luar tanda, aku
seperti kehilangan identitas, kehilangan akar keber-ada-an dan ke-tiada-annya
sekaligus.
Pembatasan antara teater dan bukan teater
dilakukan, terutama melalui konsep alienasi dari Brecht, agar teater tidak
menjadi agama, walaupun agama telah mengambil teater sebagai ritual dari metanarasinya.
Garis batas inilah yang menghasilkan berbagai konsep dramaturgi agar teater
tidak menjadi ideologi.
Konsep-konsep dramaturgi bergerak bukan untuk
terjadinya pembaruan dalam teater, tetapi terutama agar teater tidak mati
oleh berbagai order tanda yang dimainkan oleh berbagai kekuatan
sosial-politik yang hidup dalam masyarakat.
Dunia kontemporer kita, di mana berbagai
media menjadi representasi pasar, didominasi kekuatan pasar, dan negara kian
kehilangan perannya, merupakan fenomena yang akan lebih banyak menghasilkan
”teater mati”. Teater mati lahir tidak hanya oleh faktor tidak bisa membaca
posisinya sendiri, tetapi juga lahir ketika teater hanya menjadi perpanjangan
tanda-tanda yang diorder oleh pasar.
Dalam hal ini, teater seolah-olah bisa
merespons perubahan, tetapi yang terjadi sebenarnya teater menjadi agen dari
order tanda yang dimobilisasi oleh pasar.
Kapitalisme mendapatkan estetikanya melalui
seni. Internalisasi pasar ke dalam dunia seni membuat nilai-nilai yang
mengonstruksi wacana seni dapat disentuh melalui pasar: tidak ada wilayah
medan kreatif yang bebas untuk kemudian menjadi ladang komoditas. Dan
sebaliknya, pasar menjadi medan yang kian tidak tersentuh. Kekuatan pasar dan
kekuatan modal menjadi ilusi besar sebagai tangan yang tidak terlihat.
Dalam tradisi Zen, tanda dianggap tidak
penting. Tanda harus dilupakan. Dinding nihilisme yang menghasilkan ilusi
akan ada, proyeksinya dihentikan, ordernya diputus untuk tidak mereproduksi
tanda. Dinding itu tetap dibiarkan sebagai dinding yang kosong. Tanda di sini
kemudian bekerja melalui ”teater kematian” dan bukan melalui ”teater mati”.
”Teater kematian” di sini digunakan untuk
melawan ”teater kehidupan” yang telah menjadi ladang subur untuk lahirnya
”teater-teater mati”. Teater kematian yang akan dengan mudah dianggap
ahistoris ini, di sini dengan tegas dilihat sebagai ladang ”antisejarah” agar
konstruksi ideologis dalam tubuh sejarah berhenti dari otomatisasi ilusi yang
dikandungnya.
Teater kematian merupakan ladang gelap
untuk komunitas-komunitas alternatif yang menyadari batas-batas kemanusiaan
kita, batas natur dan kultur yang ditegaskan kembali agar kultur tidak
bergerak di luar batas-batas yang tidak teramati oleh tubuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar