Minggu, 29 Desember 2013

Teater Mati dan Teater Kematian

Teater Mati dan Teater Kematian

Afrizal Malna  ;   Penyair
KOMPAS,  29 Desember 2013

  

Dalam perang Baratayudha di medan Kurusetra (Mahabrata) antara Pandawa dan Kurawa, satria-satria besar dari kedua pihak berguguran. Perang yang sukses menciptakan pertanyaan: ”kenapa yang baik dan yang jahat keduanya sama-sama mati?” Mahabarata tidak hanya berakhir dengan nihilisme, tetapi juga bercampurnya benih para dewa dan manusia lewat perempuan. Pembocoran batas antara dewa dan manusia ini paralel dengan narasi: para lelaki sakti, setengah dewa, akhirnya mati di medan perang, tetapi perempuan tidak.

Para perempuanlah yang kemudian melanjutkan kehidupan, memproduksi generasi baru dengan ilusi: perempuan sebagai medan titik temu antara dewa dan manusia. Namun, manusia harus mati, dewa tidak.

Ilusi dari dinding nihilisme

Mahabarata menjadi cerita, memenuhi seluruh formula dari bagaimana teks menjadi cerita karena ia menghadirkan ilusi. Bayangan yang menghasilkan jembatan pertemuan antara manusia (presentasi realitas) dan dewa (representasi mitos) kemudian membunuh kembali ilusi tersebut (representasi dari kodrat kematian manusia).

Ilusi kemudian menjadi ladang yang produktif untuk berkembangbiaknya ideologi-ideologi melalui dinding nihilisme yang dibawanya. Bukankah dinding nihilisme itu selalu menghasilkan bayangan ”ada” dari ”ketiadaan”. Teater kematian dari Mahabarata bersama dengan dinding nihilistisnya diciptakan dari kata yang penuh darah, permainan grafis antarruang manusia dan nonmanusia. Cerita mendapatkan kehidupannya melalui kematian. Kematianlah yang membuat cerita mendapatkan nyawanya, menjadi cermin untuk realitas.

Cermin dan ilusi, keduanya bertemu sebagai media dua dimensi yang tidak bisa dimasuki. Cermin sebagai presentasi realitas seakan-akan bisa dimasuki karena sifat materinya yang bisa dipegang. Namun, gambaran yang dipantulkan olehnya tetap merupakan media yang tidak bisa dimasuki, tidak berbeda dengan ilusi. 
Keduanya paralel dengan sifat representasi bahasa dan agama.

Media arbitrer, seperti bahasa dan kemudian agama, cermin dan kemudian ilusi, membutuhkan cerita untuk mendapatkan ruang reproduksinya, pengembangbiakan ideologi-ideologi. Pelembagaan tanda-tanda mendapatkan konstruksinya melalui ruang penyebarluasan ideologi-ideologi ini. 

Penyebarluasan ideologi-ideologi yang saling bertemu sebagai kerinduan tubuh untuk mendapatkan masa lalunya (di sana, bukan di sini) dan masa depannya (juga di sana, bukan di sini), mendapatkan keabadian dari kerapuhannya melalui kematian menjadi nonmateri (juga di sana, bukan di sini): melengkapkan arbitrase media dua dimensi ini.

Order tanda antara teater dan pasar

Sifatnya yang dua dimensi itu selalu menghasilkan ruang ritual antara teks, konteks, dan referensi. Referensilah yang membuat tanda-tanda di dalamnya bekerja mekanik, menciptakan order terus-menerus melalui gradasi permainan antara konteks dan referensi (”aku” selalu mengandaikan adanya ”kamu” di luar ”dia”). Tanda-tanda yang terus menciptakan dirinya sebagai skenario dengan ”penulis yang tak tersentuh”, memberlakukan klaim atas ruang masa lalu dan masa depan.

Cerita sebagai orang ketiga (dia yang diceritakan), yang tidak pernah hadir bersama kita (selalu di sana), seakan-akan bisa membangun ruang tiga dimensinya, menjadi orang pertama (aku) yang berhadapan dengan orang kedua (kamu) melalui dinding pertunjukan teater. Ilusi dua dimensi dari cerita dipentaskan ke dalam ilusi tiga dimensi melalui dinding-dinding teater.

Dinding-dinding pasar bekerja dengan cara berbeda dengan dinding-dinding teater. Kalau dinding-dinding teater menciptakan ruang ilusi sebagai internalisasi ”cerita di sana” menjadi ”cerita di sini” yang bisa dimasuki dalam permainan dua dimensi antara penonton dan yang ditonton, pasar menciptakan ilusi seakan-akan cerita bisa dimiliki dengan cara membelinya. Teater dan pasar menjadi ritual untuk bayangan kerinduan aku untuk berada dan menjadi bagian dari tanda. Di luar tanda, aku seperti kehilangan identitas, kehilangan akar keber-ada-an dan ke-tiada-annya sekaligus.

Pembatasan antara teater dan bukan teater dilakukan, terutama melalui konsep alienasi dari Brecht, agar teater tidak menjadi agama, walaupun agama telah mengambil teater sebagai ritual dari metanarasinya. Garis batas inilah yang menghasilkan berbagai konsep dramaturgi agar teater tidak menjadi ideologi. 

Konsep-konsep dramaturgi bergerak bukan untuk terjadinya pembaruan dalam teater, tetapi terutama agar teater tidak mati oleh berbagai order tanda yang dimainkan oleh berbagai kekuatan sosial-politik yang hidup dalam masyarakat.

Teater mati dan teater kematian

Dunia kontemporer kita, di mana berbagai media menjadi representasi pasar, didominasi kekuatan pasar, dan negara kian kehilangan perannya, merupakan fenomena yang akan lebih banyak menghasilkan ”teater mati”. Teater mati lahir tidak hanya oleh faktor tidak bisa membaca posisinya sendiri, tetapi juga lahir ketika teater hanya menjadi perpanjangan tanda-tanda yang diorder oleh pasar. 

Dalam hal ini, teater seolah-olah bisa merespons perubahan, tetapi yang terjadi sebenarnya teater menjadi agen dari order tanda yang dimobilisasi oleh pasar.
Kapitalisme mendapatkan estetikanya melalui seni. Internalisasi pasar ke dalam dunia seni membuat nilai-nilai yang mengonstruksi wacana seni dapat disentuh melalui pasar: tidak ada wilayah medan kreatif yang bebas untuk kemudian menjadi ladang komoditas. Dan sebaliknya, pasar menjadi medan yang kian tidak tersentuh. Kekuatan pasar dan kekuatan modal menjadi ilusi besar sebagai tangan yang tidak terlihat.

Dalam tradisi Zen, tanda dianggap tidak penting. Tanda harus dilupakan. Dinding nihilisme yang menghasilkan ilusi akan ada, proyeksinya dihentikan, ordernya diputus untuk tidak mereproduksi tanda. Dinding itu tetap dibiarkan sebagai dinding yang kosong. Tanda di sini kemudian bekerja melalui ”teater kematian” dan bukan melalui ”teater mati”.

”Teater kematian” di sini digunakan untuk melawan ”teater kehidupan” yang telah menjadi ladang subur untuk lahirnya ”teater-teater mati”. Teater kematian yang akan dengan mudah dianggap ahistoris ini, di sini dengan tegas dilihat sebagai ladang ”antisejarah” agar konstruksi ideologis dalam tubuh sejarah berhenti dari otomatisasi ilusi yang dikandungnya.

Teater kematian merupakan ladang gelap untuk komunitas-komunitas alternatif yang menyadari batas-batas kemanusiaan kita, batas natur dan kultur yang ditegaskan kembali agar kultur tidak bergerak di luar batas-batas yang tidak teramati oleh tubuh.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar