Transformasi
Sistemik Indonesia 2014
Negara
Wajib Hadir, Bukan Cuma Menonton
Tim Kompas ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember 2013
Pengantar Redaksi:
Reformasi sudah berjalan 15 tahun,
tetapi kelembagaan yang menjamin bekerjanya sistem pemerintahan berkelanjutan
dan bervisi kedaulatan bangsa agar dapat berkompetisi secara global belum
terbangun. Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas
Gadjah Mada DKI Jakarta menggelar diskusi bertema ”Transformasi Sistemik
Indonesia 2014” pada 3 Desember 2013. Diskusi menghadirkan panelis Pratikno
(Rektor UGM), Syamsuddin Haris (profesor riset LIPI), Hendri Saparini
(Direktur Eksekutif Core Indonesia), Bambang Kesowo (mantan Mensesneg), Yudi
Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), dan dipandu Arie Sudjito
(sosiolog UGM), serta dihadiri sejumlah undangan terbatas. Laporan diskusi
ditulis M Hernowo, Wisnu Nugroho, Ninuk Mardiana P, dan Mohamad Subhan SD
yang disajikan di bawah ini, serta di halaman 5 dan 6.
INDONESIA saat ini sangat
demokratis. Namun, kualitas dan efektivitas demokrasi dan pemerintahan hasil
pemilu masih jauh dari harapan publik. Terlebih lagi, penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi sangat masif dan terus terjadi.
Konflik sosial juga tak kunjung
surut. Tindak kekerasan dan anarki sektarian yang mengancam pluralitas bangsa
seakan tidak dapat diatasi. Bangsa pun seperti tak berkutik ketika berhadapan
dengan negara-negara tetangga yang kerap melakukan tindakan jahil. Di sektor
ekonomi, realitas harus diterima ketika semua bahan pangan harus diimpor,
sementara sektor migas, perbankan, dan telekomunikasi dikuasai asing.
Dalam perjalanan menjadi
Indonesia, butuh penegasan kembali terminal-terminal tujuan. Apabila terminal
tujuan akhir sudah jelas, harus mampu membangun energi kolektif untuk
merumuskan yang mesti dilakukan sebagai bangsa.
Dalam konteks globalisasi,
terminal utama adalah memenangi kompetisi global mengingat globalisasi telah
menembus pelosok desa di semua sektor kehidupan dan masyarakat Indonesia
semakin termarjinalkan. Terlebih lagi, struktur ekonomi global sangat
hegemonik. Dana Moneter Internasional, misalnya, meminta Indonesia melupakan
sektor pertanian. Itu berarti Indonesia yang berpenduduk lebih dari 240 juta
orang ”dilarang” bicara kedaulatan pangannya sendiri.
Keadaan Indonesia berbeda dari
negara tetangga yang menyiapkan strategi untuk melindungi rakyatnya.
Malaysia, misalnya, menetapkan 24 jenis pangan strategis dan mengontrol
melalui undang-undang untuk mengendalikan pasokan dan UU pengontrol harga.
Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan senada.
Kedaulatan
Pilar sistem ekonomi Indonesia
sesungguhnya sangat kuat dalam UUD 1945, yaitu pengelolaan APBN untuk
kesejahteraan rakyat (Pasal 23), rakyat berhak atas pekerjaan dan penghidupan
layak (Pasal 27), pemerintah wajib memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan
layanan dasar (Pasal 28), pengelolaan ekonomi berbasis kebersamaan (Pasal
33), penguasaan negara atas cabang produksi (Pasal 33), penguasaan dan
kepemilikan negara atas kekayaan alam (Pasal 33), serta pemerintah
bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar fakir miskin dan anak
telantar (Pasal 34).
Dalam praktik, pemenuhan kebutuhan
dasar dan layanan dasar nyatanya banyak diserahkan kepada pasar dan swasta
asing. Meski konstitusi mengamanatkan negara harus menjamin pemenuhan
kebutuhan dasar, hal tersebut tidak mudah dipenuhi karena neoliberalisme
merasuk di semua sektor, termasuk yang seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Sampai 15 tahun reformasi, masih
sulit menentukan ke mana arah perjalanan Indonesia. Penyebabnya, negara ini
tidak memiliki peta jalan jangka panjang. Sering kali penyelesaian masalah
bersifat jangka pendek dan sektoral.
Setidaknya ada lima akar persoalan
bangsa ini: warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem
otoriter yang panjang sejak era Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru; pola
transisi demokrasi yang tidak menjanjikan demokrasi substansial yang
terkonsolidasi; reformasi institusional tambal sulam; serta pendangkalan
politik yang bermuara pada absennya etika dan moral aktor demokrasi dan
penyelenggara negara.
Politik kini tidak lagi dilihat
sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan bangsa,
tetapi lebih sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat
pada setiap manusia bebas.
Politik hanya menjadi kekuasaan,
tidak penting lagi apakah bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif atau
justru menjadi monster yang berpotensi menghancurkan kolektivitas. Parpol,
yang semestinya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa,
justru berkembang menjadi tempat untuk mencari nafkah.
Elite politik juga tidak
konsisten. Tidak ada upaya serius dan konsisten membangun skema presidensial
yang koheren. Hal itu bisa dilihat dari UU politik. Sistem perwakilan dan
sistem pemilu (baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden, maupun
pemilihan kepala daerah) tak didesain untuk mendukung skema sistem
presidensial.
Membangun sistem
Pemilu-pemilu setelah Orde Baru justru
melahirkan raja-raja kecil korup dan tidak bertanggung jawab. Seharusnya
pemilu presiden mendahului pemilu legislatif sebagai konsekuensi logis sistem
presidensial, paling tidak simultan dengan pemilu legislatif seperti di
sejumlah negara. Dengan demikian, ambang batas pencalonan presiden tidak
diperlukan lagi.
Agar bangsa Indonesia mampu
bersaing secara global, pembenahan harus dilakukan dalam tataran instrumental
dan kelembagaan, terutama institusi politik, termasuk dalam fungsi dan
kewenangannya.
Ada dua hal penting untuk
mentranformasikan demokrasi, yaitu melalui jejak masyarakat politik (political society) dan masyarakat
sipil (civil society).
Dalam konteks masyarakat politik,
penting melanjutkan reformasi kelembagaan dan penataan skema pemilu. Dalam
konteks masyarakat sipil, terus didorong membangun saling percaya, kerja
sama, dan konsolidasi antarelemen. Apalagi tonggak penting republik, seperti
Sumpah Pemuda atau Pancasila, sebenarnya produk masyarakat sipil.
Banyak produk penting berasal dari
visi masyarakat sipil yang dibajak masyarakat politik ke arah tidak
produktif. Contohnya, amandemen konstitusi. Hal-hal baik yang dikerjakan para
pendiri bangsa dikapling-kapling untuk kepentingan parpol dan kelompok.
Cahaya menanti di depan mata.
Pemilu 2014 sangat strategis, harus melahirkan pemimpin yang menyelesaikan
masalah bersifat jangka pendek dan sektoral, sekaligus bervisi jauh ke depan.
Pemimpin masa depan harus mampu
membangun sistem, menjadi fondasi sekaligus peta jalan bangsa, disertai tindakan
konkret. Inilah saatnya masyarakat politik menciptakan cahaya yang menyinari
bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar