Sabtu, 28 Desember 2013

Negara Wajib Hadir, Bukan Cuma Menonton

Transformasi Sistemik Indonesia 2014

Negara Wajib Hadir, Bukan Cuma Menonton

Tim Kompas  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  27 Desember 2013
  


Pengantar Redaksi:
Reformasi sudah berjalan 15 tahun, tetapi kelembagaan yang menjamin bekerjanya sistem pemerintahan berkelanjutan dan bervisi kedaulatan bangsa agar dapat berkompetisi secara global belum terbangun. Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada DKI Jakarta menggelar diskusi bertema ”Transformasi Sistemik Indonesia 2014” pada 3 Desember 2013. Diskusi menghadirkan panelis Pratikno (Rektor UGM), Syamsuddin Haris (profesor riset LIPI), Hendri Saparini (Direktur Eksekutif Core Indonesia), Bambang Kesowo (mantan Mensesneg), Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), dan dipandu Arie Sudjito (sosiolog UGM), serta dihadiri sejumlah undangan terbatas. Laporan diskusi ditulis M Hernowo, Wisnu Nugroho, Ninuk Mardiana P, dan Mohamad Subhan SD yang disajikan di bawah ini, serta di halaman 5 dan 6.


INDONESIA saat ini sangat demokratis. Namun, kualitas dan efektivitas demokrasi dan pemerintahan hasil pemilu masih jauh dari harapan publik. Terlebih lagi, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi sangat masif dan terus terjadi.

Konflik sosial juga tak kunjung surut. Tindak kekerasan dan anarki sektarian yang mengancam pluralitas bangsa seakan tidak dapat diatasi. Bangsa pun seperti tak berkutik ketika berhadapan dengan negara-negara tetangga yang kerap melakukan tindakan jahil. Di sektor ekonomi, realitas harus diterima ketika semua bahan pangan harus diimpor, sementara sektor migas, perbankan, dan telekomunikasi dikuasai asing.

Dalam perjalanan menjadi Indonesia, butuh penegasan kembali terminal-terminal tujuan. Apabila terminal tujuan akhir sudah jelas, harus mampu membangun energi kolektif untuk merumuskan yang mesti dilakukan sebagai bangsa.

Dalam konteks globalisasi, terminal utama adalah memenangi kompetisi global mengingat globalisasi telah menembus pelosok desa di semua sektor kehidupan dan masyarakat Indonesia semakin termarjinalkan. Terlebih lagi, struktur ekonomi global sangat hegemonik. Dana Moneter Internasional, misalnya, meminta Indonesia melupakan sektor pertanian. Itu berarti Indonesia yang berpenduduk lebih dari 240 juta orang ”dilarang” bicara kedaulatan pangannya sendiri.

Keadaan Indonesia berbeda dari negara tetangga yang menyiapkan strategi untuk melindungi rakyatnya. Malaysia, misalnya, menetapkan 24 jenis pangan strategis dan mengontrol melalui undang-undang untuk mengendalikan pasokan dan UU pengontrol harga. Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan senada.

Kedaulatan

Pilar sistem ekonomi Indonesia sesungguhnya sangat kuat dalam UUD 1945, yaitu pengelolaan APBN untuk kesejahteraan rakyat (Pasal 23), rakyat berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak (Pasal 27), pemerintah wajib memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan layanan dasar (Pasal 28), pengelolaan ekonomi berbasis kebersamaan (Pasal 33), penguasaan negara atas cabang produksi (Pasal 33), penguasaan dan kepemilikan negara atas kekayaan alam (Pasal 33), serta pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar fakir miskin dan anak telantar (Pasal 34).

Dalam praktik, pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan dasar nyatanya banyak diserahkan kepada pasar dan swasta asing. Meski konstitusi mengamanatkan negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, hal tersebut tidak mudah dipenuhi karena neoliberalisme merasuk di semua sektor, termasuk yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sampai 15 tahun reformasi, masih sulit menentukan ke mana arah perjalanan Indonesia. Penyebabnya, negara ini tidak memiliki peta jalan jangka panjang. Sering kali penyelesaian masalah bersifat jangka pendek dan sektoral.

Setidaknya ada lima akar persoalan bangsa ini: warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem otoriter yang panjang sejak era Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru; pola transisi demokrasi yang tidak menjanjikan demokrasi substansial yang terkonsolidasi; reformasi institusional tambal sulam; serta pendangkalan politik yang bermuara pada absennya etika dan moral aktor demokrasi dan penyelenggara negara.

Politik kini tidak lagi dilihat sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan bangsa, tetapi lebih sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas.

Politik hanya menjadi kekuasaan, tidak penting lagi apakah bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif atau justru menjadi monster yang berpotensi menghancurkan kolektivitas. Parpol, yang semestinya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa, justru berkembang menjadi tempat untuk mencari nafkah.

Elite politik juga tidak konsisten. Tidak ada upaya serius dan konsisten membangun skema presidensial yang koheren. Hal itu bisa dilihat dari UU politik. Sistem perwakilan dan sistem pemilu (baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala daerah) tak didesain untuk mendukung skema sistem presidensial.

Membangun sistem

Pemilu-pemilu setelah Orde Baru justru melahirkan raja-raja kecil korup dan tidak bertanggung jawab. Seharusnya pemilu presiden mendahului pemilu legislatif sebagai konsekuensi logis sistem presidensial, paling tidak simultan dengan pemilu legislatif seperti di sejumlah negara. Dengan demikian, ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan lagi.

Agar bangsa Indonesia mampu bersaing secara global, pembenahan harus dilakukan dalam tataran instrumental dan kelembagaan, terutama institusi politik, termasuk dalam fungsi dan kewenangannya.

Ada dua hal penting untuk mentranformasikan demokrasi, yaitu melalui jejak masyarakat politik (political society) dan masyarakat sipil (civil society).

Dalam konteks masyarakat politik, penting melanjutkan reformasi kelembagaan dan penataan skema pemilu. Dalam konteks masyarakat sipil, terus didorong membangun saling percaya, kerja sama, dan konsolidasi antarelemen. Apalagi tonggak penting republik, seperti Sumpah Pemuda atau Pancasila, sebenarnya produk masyarakat sipil.

Banyak produk penting berasal dari visi masyarakat sipil yang dibajak masyarakat politik ke arah tidak produktif. Contohnya, amandemen konstitusi. Hal-hal baik yang dikerjakan para pendiri bangsa dikapling-kapling untuk kepentingan parpol dan kelompok.

Cahaya menanti di depan mata. Pemilu 2014 sangat strategis, harus melahirkan pemimpin yang menyelesaikan masalah bersifat jangka pendek dan sektoral, sekaligus bervisi jauh ke depan.

Pemimpin masa depan harus mampu membangun sistem, menjadi fondasi sekaligus peta jalan bangsa, disertai tindakan konkret. Inilah saatnya masyarakat politik menciptakan cahaya yang menyinari bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar