Rahasia Kesuksesan dalam Pendidikan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2013
"THE secret of education lies in respecting
the pupil. It is not for you to choose what he shall know, what he shall do.
It is chosen and foreordained and he only holds the key to his own
secret." (Ralph Waldo Emerson)
SAAT mendengar kata kesuksesan,
imajinasi kita pasti akan menangkap pesan berupa gambar asosiatif yang
berkaitan dengan kekayaan dan keberlimpahan materi, kehormatan, dan kedudukan
di mata orang lain.
Seperti teori kebutuhan Maslow, tiap-tiap kesuksesan seseorang selalu diukur
berdasarkan tingkatan yang ingin dicapainya. Karena itu, kesuksesan juga bisa
diidentifikasi dengan motivasi yang dimiliki seseorang ketika belajar.
Artinya setiap motivasi tidak pernah dikatakan baik apabila tujuan yang
diinginkan itu tidak baik, demikian pula sebaliknya.
Pertanyaannya ialah
apakah tujuan pendidikan kita peduli dengan tujuan dan motivasi anak ketika
belajar? Jika kita survei secara kasar, hampir setiap siswa yang ditanya soal
kesuksesan selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebendaan. Hal itu tak
aneh karena sistem pendidikan di negara kita terlalu berorientasi pada hasil
yang bersifat fisik. Ijazah atau kelulusan, kesempatan dalam bekerja, dan
memperoleh kedudukan adalah di antara fakta-fakta yang ada di sebagian besar
kepala siswa kita. Pendek kata, belajar dimaknai sebagai usaha untuk mengejar
kesuksesan dalam arti yang sempit.
Pendidikan yang
berorientasi pada hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan
manusia-manusia yang pasif dan kering secara spiritual. Mereka bisa
memperoleh kesuksesan, tetapi sangat boleh jadi tak memperoleh kebahagiaan
secara hakiki. Kebahagiaan hakiki hanya akan diperoleh setiap anak jika
proses belajarmengajar dimaknai dan dijalankan sebagai eksplorasi atas
nilai-nilai kehidupan yang mulia. Karena itu, proses belajarmengajar harus
berorientasi pada proses yang benar.
Bila mengikuti logika
Maslow, pendidikan yang berorientasi pada hasil sesungguhnya hanya akan
memperoleh kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk
memperoleh kasih sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan ini.
Penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh dengan
memberi siswa sebanyak mungkin pengalaman berinteraksi secara langsung kepada
lingkungan sosial tempat mereka berada.
Menurut teori
fisiologi, semua tindakan manusia itu berasal pada usaha yang memenuhi
kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan fisik semata.
Padahal, kebutuhan
siswa tak hanya soal materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan
rasa yang sangat bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan
perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada
hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati dan selalu tak
berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya anak-anak
memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu menyebabkan
perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan anakanak sekolah,
seperti kasus kekerasan.
Proses pendidikan yang
tak seimbang antara pikir dan rasa itulah salah satu ujung petaka kemanusiaan
di Indonesia. Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat
Indonesia hidup saling hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya
penyimpangan perilaku tak berkeadaban seperti tawuran antarwarga, warga
melawan polisi, sekolah versus sekolah, dan yang lebih parah dinodai pula
dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.
Jelas sistem
pendidikan kita memerlukan road-map
baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling menghargai.
Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan kita yang lebih
berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik. Dalam
praktiknya, antara mata ajar sains, sosial sains, humaniora, dan seni budaya
harus proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi maupun substansi. Kurangnya
mata ajar humaniora dan seni budaya di sekolah, menurut beberapa temuan
riset, rentan menjadikan anak-anak berpe rilaku menyimpang di tengah
masyarakat.
Profesor Antonio
Damasio (2006) menyebutkan hari ini sistem pendidikan hampir di seluruh
belahan dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses
pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional. Menyelami empati dan rasa
tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga
anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa.
Dalam pandangan
Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni budaya dan humaniora seharusnya
diseimbangkan untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan
manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku.
Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa itulah
yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.
Menyeimbangkan pikir
dan rasa dalam praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai antara satu
dan yang lain, dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya
masyarakat Indonesia. Hilangnya kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa
yang majemuk lebih banyak disebabkan ketidakefektifan kebijakan kurikulum
kita yang kurang menimbang dalam menyeimbangkan rumpun dan mata ajar yang
ada.
Hans-Peter Becker
dalam Unleash the Secret of Education
and Learn How to Raise a Happy Child (2012) menemukan hal menarik
bagaimana kita dapat menuntut anak meraih kesuksesan secara seimbang, baik
kebutuhan jasmani maupun rohani. Caranya, biarkan anak belajar sambil
mendengarkan musik atau jadikan aktivitas menyanyi menjadi bagian tak terpisahkan
dari proses belajar-mengajar yang terjadi setiap hari, baik di ruang kelas,
sekolah, rumah, atau di mana saja ketika anak ingin belajar. Kombinasi pikir dan
rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar