RI
dalam Sistem Hukum Internasional
Abdul Hakim G Nusantara ; Advokat; Arbiter; Ketua Komnas HAM Periode
2002-2007
|
KOMPAS,
30 Desember 2013
SISTEM
hukum internasional hak asasi manusia sebagai fondasi hubungan antarnegara
disepakati negara-negara pendiri PBB pada 26 Juni 1945 di San Francisco, AS.
Piagam PBB menegaskan tujuan
organisasi internasional antara lain untuk memajukan serta mendorong
penghormatan HAM dan kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan
ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Meletakkan HAM sebagai tujuan
hubungan antarnegara adalah lompatan besar dalam peradaban manusia. Ia
mengubah secara mendasar tujuan, ruang lingkup, dan sifat hubungan internasional
yang selama berabad-abad didasarkan semata pada kepentingan politik, ekonomi,
dan militer.
HAM yang semula isu domestik
negara-negara industri maju, sejak berakhirnya Perang Dunia II, mengalami
internasionalisasi ketika ditempatkan sebagai salah satu tujuan pencapaian
PBB. Pada 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi Umum HAM
(DUHAM). Ini semakin menguatkan posisi HAM sebagai tujuan hubungan
internasional di mana pribadi manusia diakui eksistensinya dan jadi obyek
pemajuan dan perlindungan HAM.
DUHAM PBB memang bukan produk
hukum mengikat. Namun, substansi yang terkandung di dalamnya diakui dan
dijalankan secara konsisten oleh banyak negara sehingga norma-norma DUHAM
setara dengan hukum kebiasaan internasional.
Secara gradual masyarakat
internasional melalui PBB membangun sistem hukum internasional HAM dengan
menuangkan nilai dan norma yang terkandung dalam DUHAM ke dalam sejumlah
kovenan internasional, yang secara hukum mengikat semua negara pihak. Pada
tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan kovenan internasional hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya serta kovenan internasional hak-hak sipil dan
politik. Pada periode selanjutnya, Majelis Umum PBB mengesahkan beberapa
kovenan yang bersifat khusus, seperti kovenan penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial, kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (CEDAW), kovenan hak anak, kovenan menentang penyiksaan dan
perilaku kejam lain atau perlakuan atau hukuman merendahkan, kovenan
perlindungan buruh migran, serta kovenan perlindungan orang-orang dari
penghilangan paksa.
Empat tujuan
Indonesia secara resmi
terintegrasi ke dalam sistem internasional HAM pada 28 September 1950,
saat resmi menjadi anggota ke-60 PBB. Walaupun sudah terintegrasi ke
dalam sistem hukum internasional HAM sejak 1950, Indonesia termasuk negara
yang tersendat untuk menjadi pihak dalam sejumlah kovenan internasional.
Sistem politik otoriter yang
menguasai Indonesia sangat menghambat
keikutsertaan Indonesia sebagai pihak
dalam beberapa kovenan internasional HAM. Rezim Orde Baru lebih mengedepankan
hak-hak ekonomi, sosial dan hak atas pembangunan serta mengesampingkan
hak-hak sipil dan politik.
Dalam semangat hak atas
pembangunan itulah, Indonesia meratifikasi CEDAW dan kovenan hak anak. Untuk
memoles citra HAM-nya yang sangat buruk di dunia internasional, rezim Orde
Baru pada 1985 menandatangani kovenan PBB menentang penyiksaan, tanpa pernah
meratifikasinya sampai 1998. Jatuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi
membuka jalan lebar bagi Indonesia untuk masuk lebih dalam ke sistem
hukum internasional HAM, dengan meratifikasi lebih banyak lagi kovenan HAM
PBB.
Ada sejumlah alasan di balik
peratifikasian sejumlah kovenan HAM itu. Pertama, memenuhi kebutuhan hukum
rakyat dan orang asing yang tinggal di Indonesia atas pemajuan dan
perlindungan HAM. Kedua, memudahkan kerja sama internasional di beragam
bidang, khususnya guna memajukan dan melindungi HAM WNI, termasuk antara lain
TKI yang tinggal di beberapa negara. Ketiga, sebagai dasar dan acuan reformasi
hukum guna memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan internasional.
Keempat, nilai dan norma keadilan sosial ekonomi yang terkandung dalam
kovenan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan perangkat hukum
internasional HAM yang dipandang mampu mengimbangi dan mengendalikan
globalisasi ekonomi yang didominasi paham neoliberalisme.
Apabila empat tujuan itu bisa
dicapai, dengan sendirinya akan memperkuat legitimasi dan citra Indonesia di
publik domestik dan internasional. Saat ini, Indonesia masih jauh dari empat
tujuan ratifikasi kovenan HAM tersebut. Indonesia tampak masih sibuk memoles
citranya sebagai negara yang seolah-olah menghormati sepenuhnya hukum dan
HAM. Padahal, di mana-mana dilaporkan masih banyak pelanggaran HAM yang
fundamental, seperti penindasan dan kekerasan yang dihadapi kalangan
minoritas agama, etnis, dan politik, serta para mahasiswa pengunjuk rasa.
Selain itu, masih begitu banyak
produk legislasi dan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan
hukum internasional HAM, di antaranya KUHP, KUHAP, UU Antipornografi, UU
Keormasan, serta sejumlah peraturan pemerintah dan perda. Pemerintah dan DPR
dengan sengaja mengabaikan lemahnya mekanisme pemantauan kepatuhan HAM.
Empat kebijakan
Guna mencapai empat tujuan
peratifikasian sejumlah kovenan HAM, beberapa kebijakan harus segera
dilakukan. Pertama, pemerintah dan DPR harus segera mereformasi beragam
produk hukum yang tidak sesuai hukum internasional HAM. Kedua, hakim, polisi,
jaksa, dan pejabat pemerintah menjalankan secara taat asas hukum
internasional HAM dalam melayani kepentingan masyarakat.
Ketiga, memperbaiki
mekanisme pemantauan kepatuhan HAM dengan memperkuat kompetensi dan
efektivitas Komnas HAM. Keempat, pendidikan HAM yang terus-menerus di
kalangan pejabat publik dan masyarakat luas.
Empat kebijakan itu merupakan
kewajiban internasional Indonesia sebagai negara pihak dari sejumlah kovenan
internasional yang sudah diratifikasi. Kewajiban internasional tersebut, atas
alasan darurat yang luar biasa, bisa saja tertunda. Namun, penundaan itu
bersifat temporer.
Saat ini pemerintah tidak sedang
menghadapi keadaan darurat. Jadi, Indonesia tidak bisa menunda atau
tidak melaksanakan kewajiban internasional HAM-nya atas alasan hukum
internalnya menghalanginya. Alasan seperti itu jelas ditolak Konvensi Vienna
tentang Hukum Perjanjian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar