Melawan
Malin Kundang
Mohammad Fadlul Rahman ; Pemerhati Masalah Kebijakan Pembangunan
dan Pemerintahan, Peneliti ElKaPM dari Universitas Negeri Malang |
SUARA
KARYA, 28 Desember 2013
"Bangunlah, bangkitlah,
kesaksian harus diberikan, supaya kebenaran terjaga", demikian petikan sajak si Burung
Merak WS Rendra. Sajak ini menunjukkan suatu ajakan kepada segenap komponen
bangsa agar tetap menyalakan api atau semangat perjuangan dimana saja dan
dalam keadaan apapun juga. Perjuangan tidak boleh meredup, temaram, apalagi
sampai padam.
Mengapa demikian? Perjalanan hidup bangsa ini perlu
dikawal, dijaga, dan diselamatkan dari kemungkinan terjerumus dalam kematian
atau kehancurannya. Kepada segenap komponen bangsa inilah, the founding fathers mempercayakan
amanat atau tugas besar itu, yaitu sebuah perubahan yang tidak berada di
tangan satu dua orang, partai politik, dan komunitas elit saja, tetapi di tangan
semua elemen bangsa.
Pilar-pilar bangsa seperti yang ditunjukkan oleh para
pemuda di zaman Sumpah Pemuda dulu merupakan teladan konkrit. Bahwa, kaum
muda mampu memberikan yang terbaik demi bangsa atau masyarakatnya, dan tidak
selalu menuntut diberi yang terbaik dari negaranya. Mereka telah membaiat
dirinya dalam agenda sejarah bangsa sebagai kekuatan strategis, yang mampu
dijadikan kiblat semangat kejuangan atau perubahan. Namun, dalam
perjalanannya ternyata tidak selalu pemuda mau dan mampu menjadikan baiat
historis itu sebagai referensi moral kehidupannya. Tidak sedikit diantaranya
yang menderita penyakit amnesia kesejarahan, terbukti, mereka ini berlawanan
dengan norma keagungan yang diajarkan leluhur.
Salah satu komponen bangsa strategis yang wajib selalu
diingatkan adalah mahasiswa, yang notabene komunitas pemuda. Memang pada
dirinya ada nyanyian kebenaran yang bisa disenandungkan, ada ketajaman pena
yang bisa difungsikan laksana pedang, atau tersimpan kekuatan untuk melakukan
perubahan besar di saat komponen bangsa lain sedang tidak berdaya atau
dihinggapi ketakutan untuk beraksi.
Realitas tak bisa dipungkiri, bahwa mahasiswa memang telah
menunjukkan dan menyejarahkan "birahi" perubahan radikal lewat
berbagai "karya" besar seperti yang terjadi pada Mei 1998 ditandai
bergulirnya era reformasi, meskipun saat ini seolah mengalami stagnasi atau
tak berlanjut. Ada pena yang tumpul, ada vokalitas yang menurun, ada gerakan
yang bercorak setengah hati, dan ada gebyar hura-hura atau euforia kelompok
dan perburuan klas yang lebih superior.
Perubahan radikal, yang disebut oleh Nurchols Majid
sebagai "kemerdekaan kedua" itu telah membuktikan, bahwa di tengah
multikulturalisme bangsa pun, jika mahasiswa (pemuda) bangkit kesadarannya,
sedang menyala idealismenya, membara etos mujahadahnya, dan jiwa
kepejuangannya berkobar, apapun bisa terjadi. Ketika tentara, politisi,
ulama, dan kekuatan di luar mahasiswa gagal merebut kemerdekaan dari hegemoni
rezim otoritarian, mahasiswa bisa membuat keajaiban sejarah, merotasi perjalanan
negeri ke era yang diharapkan lebih terbuka, demokratis, dan memartabatkan
manusia Indonesia.
Setelah kemerdekaan kedua berhasil direbut, ada diantara
mahasiswa yang terjebak dalam euphoria yang diproduknya sendiri. Mereka masuk
dalam jaringan-jaringan yang bercorak eksklusif, yang merangsang dan
menawarkan kemapanan politik-ekonomi. Ada diantaranya yang menyebut atau
menggolongkan mereka dalam jebakan hedonisasi dan mafia struktural, yang
dimungkinkan atau dipastikan akan mematikan daya kritisnya atau
"membunuh" idealismenya. Bahkan di kalangan komunitas reformis
radikal, mereka dijuluki telah melakukan pengkhiatan intelektual atau
kejahatan moral.
Sementara, golongan terakhir ini berdalih bahwa perjuangan
mengenal tipe, model, dan strategi. Seorang pejuang harus berani masuk
kandang "malin kundang" jika berkeinginan mengetahui dan
menjelajahi lautan perjuangan yang sebenarnya, harus berani menyelam di
telaga "abu-abu" jika berkeinginan merubahnya. Perubahan tidak
hanya bisa dilakukan dan digerakkan di luar gelanggang, tetapi harus masuk di
dalam gelanggang dan berani bertarung dengan kekuatan apapun.
Memang lambat laun, suara-suara kritis dan mencemooh
aktivis yang bergerak di jalur politik itu mulai tidak terdengar, di samping
karena faktor beragamnya episode kegiatan dan tantangan yang dihadapi
mahasiswa, juga terjebaknya mahasiswa dalam dunianya yang bercorak komunitas
kultural eksklusif. Ini mengakibatkan mahasiswa sedang jadi
"terdakwa" berat, karena diposisikan sedang mengidap kematian
gerakan moral atau mengidap keloyoan pada ranah gerakan fitri. Bahkan secara
umum mengalangi kematian akibat daya magis hegemoni kultural yang memabukkan
yang mampu menggiringnya jadi obyek yang tak berdaya.
Jebakan perubahan yang menawarkan keragaman dan kenikmatan
kultural, khususnya bangunan gaya hidup yang diproduksi oleh pemilik modal
besar yang berkeinginan meraup keuntungan sebesar-besarnya, di samping
tawaran kemapanan politik, ternyata punya pengaruh luar biasa dalam kehidupan
mahasiswa, yang terlena dan mabuk dalam revolusi kebudayaan yang
menggiringnya menjadi konsumen-konsumen yang pasif.
Bisa disaksikan panorama kehidupan mahasiswa sekarang di
kota-kota besar seperti Surabaya dan Malang, yang mempertontonkan revolusi
gaya hidup berpola serba hedonisme atau menurut Idi Subandy Ibrahim
terperangkap "ekstasi gaya hidup". Ini, semakin menjebaknya lupa
jati diri atau mengamnesiakan komitmen kebangsaan dan kerakyatannya.
Kalau mahasiswa gagal membangkitkan sendiri kesadarannya
untuk menghidupkan gerakan moral, bisa dipastikan negeri ini akan semakin
banyak "penjahat berdasi" atau neo kolonialis yang menjarah dan
menjajah bangsanya. Bahkan, bangsa ini kembali menjadi bangsa terjajah akibat
sumberdaya strategis bangsa dikuasai "Malin Kundang" yang pintar
menggunakan baju reformasi, penegakan hukum, kerjasama dengan asing, dan
bahkan dalih kepentingan pencitraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kalau tidak para pemuda yang membangun dan membumikan militansi dirinya, mau
siapa lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar