Ketegasan
(tidak) Melantik Tersangka Korupsi
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum di FH UGM
Yogyakarta,
Ketua Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2013
“Pasal 29 hingga Pasal 35 dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang sering dirujuk sesungguhnya bukanlah aturan yang
dapat dinisbahkan untuk menjadi alasan hukum guna melantik Hambit.”
KITA semua paham bahwa Hambit
Bintih ialah pemenang dalam kontestasi kepala daerah di daerah yang
diikutinya. Ia dikukuhkan sebagai Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bukan
hanya oleh komisi khusus untuk mengawal proses pemilihan umum, melainkan juga
melalui proses peradilan sengketa hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK)
telah mengukuhkannya sebagai pemenang meski Ketua MK kala itu, Akil Mochtar,
harus menjalani proses pidana karena menerima suap dari Hambit.
Proses di MK tentu saja tidaklah
sama dengan proses di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK berbicara
perihal jumlah suara, sedangkan KPK berbicara soal suap yang ia lakukan dalam
rangka menjaga kemenangan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada)-nya di
MK. Meski jumlah suaranya cukup untuk memenangi pemilu kada, bukan berarti
suap yang ia lakukan tidak memiliki makna dalam hal kualitas kepemimpinan
daerah.
Bayangkan, ia akan menjadi kepala
daerah yang dapat dikatakan`menghalalkan'
segala cara untuk memegang jabatan
tersebut. Ia akan mengucapkan sumpah dan janji sebagai kepala daerah dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta menjalankan segala hukum dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan, bangsa. Hal yang
anakronistis karena ia bertanding memperoleh jabatan tersebut dengan cara
yang melanggar hukum lewat suap, tindakan koruptif yang merupakan musuh
masyarakat, nusa, dan bangsa.
Akan tetapi, pada saat yang sama,
ada prosesi mekanisme pemerintahan daerah yang juga harus dijaga. Pemenang
kontestasi pemilihan umum kepala daerah juga sebaiknya dilantik demi mendapatkan
kepemimpinan baru yang dipilih publik, menjadi salah satu ciri utama dari
model demokrasi langsung. Haruskah dilantik? Haruskah membiarkan sebuah
daerah dipegang kepemimpinan yang koruptif? Berbagai pertanyaan lain akan
hadir dari kondisi yang dihadapi Hambit.
Haruskah
dilantik?
Pertanyaan yang menarik ialah,
salahkah KPK dengan tidak memberikan kesempatan bagi Hambit untuk dilantik di
penjara ataupun dibawa keluar sementara untuk pelantikan? Sulit untuk
dikatakan demikian. Setidaknya dengan dua alasan. Pertama, sesungguhnya tidak
ada aturan mendetail dan jelas perihal kewajiban untuk melantik kepala daerah
yang sudah terpilih, tetapi dia tengah mengalami proses hukum.
Pasal 29 hingga Pasal 35 dalam UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sering dirujuk sesungguhnya
bukanlah aturan yang dapat dinisbahkan untuk menjadi alasan hukum guna
melantik Hambit. Sila dibaca dengan detail, pasal-pasal tersebut sesungguhnya
terkena pada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dilantik menjadi
pasangan kepala dan wakil kepala daerah, bukan untuk Hambit yang berposisi
sebagai pemenang pemilu kada dan berarti belumlah dapat dipandang sebagai
kepala daerah. Artinya, pasal-pasal itu dapat digunakan ketika Hambit sudah
dilantik, bukan ketika masih menjadi pemenang pemilu kada. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk menggunakan pasal tersebut sebagai rujukan kewajiban
melantik Hambit.
Kedua, tindakan KPK sesungguhnya
dapat dianggap sebagai penjagaan atas moral publik secara kolektif. Etika
kolektif yang dalam teori apa pun memberikan makna dan pesan yang sederhana
perihal pentingnya kepemimpinan itu punya integritas. Suap ialah tindakan
yang menjadi bagian negasi dari integritas tersebut. Karena itu, tindakan KPK
tentu saja menjadi penting untuk dikedepankan. Dapat dibayangkan, jika kepala
daerah dilantik dan dibiarkan memimpin daerah hanya karena aturan secara
tidak lengkap mengatur kondisi tersebut. Padahal, kepala daerah tersebut
ialah pemimpin yang tidak tepat karena melanggar etika dasar kepemimpinan
perihal integritas.
Belum lagi perihal negara akan
melakukan pengeluaran-pengeluaran oleh karena status jabatan publik yang ia
miliki. Padahal, jamak diketahui bahwa ia telah melakukan tindakan koruptif.
Tentu saja, dana publik akan kembali digunakan kepada orang yang telah
menghina kesadaran publik dengan tindakan koruptif.
Satu-satunya alasan yang bisa
dibenarkan untuk melantik Hambit ialah agar tidak tercipta hambatan dan
gangguan bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Rasanya, dalam konteks tersebut,
tidak ada kewajiban untuk melantiknya. Model-model pelaksana tugas sementara
dapat menjadi tindakan yang sangat mungkin diambil jika dibandingkan dengan
melantiknya, tetapi ia tetap saja tidak mampu memimpin secara langsung karena
sedang terpenjara dalam proses pidana.
Kemungkinan
solutif
Tentu saja, sulit untuk memetakan
solusi hukum yang dimungkinkan ketika model antinomi hukum telah dihadapi. Antinomi
ialah pertentangan yang mendera hukum oleh karena adanya dua hal yang
bertentangan, tetapi harus dijaga hukum secara bersamaan. Moral publik yang
dalam konsepsi hukum Grotius dikatakan sebagai sesuatu yang harus dijaga,
sedangkan pada saat yang sama kepastian hukum pelantikan untuk menjalankan
pemerintahan daerah sebagai pemenang kontestasi juga harus dilaksanakan.
Posisi itu tentu tidak sederhana.
Wolfgang Friedmann mengatakan pertentangan-pertentangan antinomi dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi
alamiah hukum itu sendiri, yang berdiri di antara nalar filosofis dan
kebutuhan praktis politik yang penat kepentingan.
Secara sederhana,
kategori-kategori intelektual hukum dibangun dari pena laran filsafat yang
panjang dan holistis, sedangkan cita-cita keadilan di dalam hukum
dikonstruksikan melalui sebuah mekanisme politik yang cenderung transaksional.
Akibatnya, menurut Friedmann,
hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan
resultan dari beraneka ragam proses internal isasi, intrusi, dan negosiasi
berbagai kepentingan di antara l 29 faksi-faksi dan aktor-aktor dalam
masyarakat. Moral menghendaki keidealan, sedangkan hukum dengan berbagai
kepentingan dalam prosesi pembuatannya seringkali gagal menghadirkan hal
tersebut.
Karena itu, makna pasti yang
dibutuh kan dalam kondisi tarik menarik di antara dua atau lebih kepentingan
hukum memaksa pengambil kebijakan untuk melakukan langkah berani berupa
terobosan. Terobosan yang harus didorong untuk menjaga moral publik agar tidak
terganggu, sedangkan pada saat yang sama menciptakan kepastian yang tidak
mengganggu berjalannya pemerintahan di daerah.
Pemerintah harus mampu dan mau
untuk mengambil salah satu di antara sekian banyak kemungkinan terobosan. Pertama,
pemerintah dapat menunjuk saja model pelaksana tugas atas kepala daerah di
Kabupaten Gunung Mas, tanpa harus melantik siapa pun. Sampai ketika jatuhnya
hukuman atas Hambit yang kemudian dapat dipakai pemerintah untuk melantik
berdasarkan perluasan, tafsir atas Pasal 108 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah
membolehkan pelantikan wakil kepala daerah oleh karena kepala daerah
berhalangan tetap. Berhalangan tetap dapat diterjemahkan bukan saja karena
meninggal atau sakit permanen, melainkan juga keadaan ketika ia sudah tidak
mungkin dapat memimpin daerah.
Kedua, pemerintah dapat mengisi
kekosongan aturan hukum pelantikan kandidat pejabat yang bermasalah oleh
karena proses korupsi serupa Hambit. Aturan hukum cepat itu tentu saja bisa
dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Syarat
kondisional perppu yang tentunya harus dipenuhi ialah adanya hal ihwal
kepentingan yang memaksa dan mendesak untuk diambil agar tidak menyebabkan
kekosongan dan ketidakjelasan pemerintahan daerah di Kabupaten Gunung Mas. Lagi
pula, itu menjadi penting agar dapat mencegah kejadian serupa terjadi lagi.
Yang paling ideal tentu dengan
melakukan perubahan terbatas atas UU Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, itu
tentu masih akan memakan waktu panjang mengingat UU Pemerintahan Daerah dan
UU Pemilu Kada masih tengah digodok. Pun ketika itu hadir, masih akan ada
perdebatan soal pemberlakuan surut ke kasus Hambit. Pilihan dengan bentuk
perppu tentu menjadi paling rasional.
Ketiga, tentu saja kembali ke
kondisi yang ada sekarang, melantik Hambit dan pasangannya meski tidak harus
dihadiri Hambit. Ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah hanya
mewajibkan pengucapan sumpah dan janji yang dipandu pejabat yang melantik.
Artinya, dalam konteks dipandu, kehadiran fisik tidak menjadi hal yang wajib.
Bisa saja ia mengucapkan sumpahnya dengan dipandu dari jarak jauh. Hal-hal
yang masih dimungkinkan tanpa membutuhkan kehadiran. Begitu ia dilantik,
jabatan diserahkan kepada wakil untuk menjadi pelaksana tugas.
Ketiga pilihan itu punya
konsekuensi dan pertanyaan teknis masing-masing yang tentu saja masih dapat
diperdebatkan. Namun yang terpenting ialah keberanian untuk mengambil sikap.
Tidak untuk membiarkan, mengambangkan, atau malah memaksa KPK agar
menyerahkan Hambit untuk dilantik. Lagi-lagi, ada kepentingan lain yang
dijaga bahwa publik punya hak untuk melihat pemimpin dan kepemimpinan yang
bersih dan berintegritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar