Selamat
Jalan, Madiba
Iqra Anugrah ; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di Northern Illinois University,
AS
|
INDOPROGRESS,
14 Desember 2013
MARI memulai obituari ini dengan
sebuah cerita yang mungkin terdengar tidak begitu nyambung. Suatu saat, John Sidel, salah satu
pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka, bercerita dalam kuliahnya,
‘
Dalam pemilihan walikota London
kemarin saya begitu terkejut mendengar bahwa semua kandidat, dari berbagai
partai politik yang berbeda aliran, mengidolakan Nelson Mandela, seakan-akan
Mandela hanyalah seorang kakek tua yang bijak dan murah senyum. Mereka semua
lupa bahwa Mandela adalah seorang komunis.’
Sidel benar. Semenjak Nelson
Mandela menang pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan dan menjadi
presiden di tahun 1994 hingga kepulangannya baru-baru ini, citranya lebih
mirip sebagai seorang negosiator daripada pejuang, yang siap berkompromi
daripada melawan. Dengan kata lain, citra Mandela menjadi lebih ‘liberal’ dan
‘jinak.’ Citra inilah yang melekat di banyak bayangan orang, terutama di
Barat, mengenai Mandela. Namun Madiba, panggilan kehormatan dari
sukunya, suku Xhosa, menolak pencitraan itu. Bahkan, berkali-kali ia
menegaskan dirinya sebagai bagian dari politik progresif-revolusioner dan
gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan Dunia Ketiga.
Di tengah-tengah suasana berkabung
atas berpulangnya Mandela, penghormatan yang paling pantas atas kepergiannya
adalah mengupas sisi revolusioner dari seorang pejuang anti-apartheid paling
terkemuka di Afrika Selatan.
Lahirnya seorang revolusioner
Mandela, lahir 18 Juli 1918,
adalah seorang keturunan bangsawan Xhosa. Ia bagian dari segelintir kalangan
kulit hitam Afrika Selatan yang dapat mengenyam pendidikan di sebuah
masyarakat yang tersegregasi secara rasial. Awalnya, ia tidak serta merta
‘tergerak’ untuk meruntuhkan sistem proto-apartheid tersebut.
Generasi
pribumi Afrika terdidik di masanya, yang dikenal dengan sebutan ‘orang-orang
Inggris berkulit hitam’ (black Englishmen),
lebih tertarik untuk mempromosikan status quo yang
lebih ‘inklusif.’ Bahkan, Kongres Nasional Afrika (African
National Congress, ANC), partai nasionalis yang nantinya akan
dipimpin Mandela, berangkat dengan pedoman ‘reformis’ tersebut.
Tentu sudah ada bibit-bibit
‘pemberontak’ dalam diri Mandela muda. Sebagai contoh, alih-alih menyetujui
perjodohan yang diusulkan oleh kepala suku sekaligus ayah angkatnya, ia dan
saudara angkatnya memilih kabur ke
Johannesburg. Tetapi, selain dari aksi minggat tersebut, Mandela lebih mirip
dengan kebanyakan anak muda pribumi terdidik di generasinya. Sebagaimanaia
ungkapkan dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom (1994), ketika ia bercerita mengenai masa mudanya:
‘Aku percaya gelar sarjana bukan
hanya paspor untuk kepemimpinan di masyarakat namun juga kesuksesan
finansial…Sebagai seorang sarjana, akhirnya aku bisa membantu ibuku
meringankan beban keuangannya setelah ayahku meninggal. Aku akan membangun
sebuah rumah yang pantas di Qunu, dengan sebuah taman dan berbagai perabotan
rumah modern.’ (hlm. 43).
Sesederhana itu cita-cita awal
Mandela: menjadi sarjana agar bisa membantu ibu dan membuat rumah untuknya. Hati siapa yang tidak
terenyuh membaca cerita seperti ini?
Tapi kita tahu, gelombang sejarah
menarik Mandela ke arah kehidupan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di Johannesburg, sebuah kota yang kosmopolitan, Mandela menyelesaikan studi
sarjananya, menjadi kolumnis, menjalani gaya hidup dengan nilai-nilai
Victorian dan Edwardian Inggris, dan bekerja sebagai seorang pengacara muda.
Awalnya, dia lebih mengidentifikasi diri sebagai seorang nasionalis ketimbang
seorang Kiri. Bahkan, awalnya ia menentang hal-hal yang berbau Kiri –
Marxisme, Sosialisme dan Komunisme – yang dianggapnya sebagai ‘ideologi
asing’ yang kurang cocok dengan tanah Afrika. Namun, ia selalu kagum dengan
dedikasi para kader gerakan Kiri di Afrika Selatan dengan perjuangan
anti-kapitalisme dan anti-apartheid.
Sebagai seorang kulit hitam,
Madiba menyadari bahwa ‘Menjadi seorang Afrika pribumi di Afrika Selatan
berarti menjadi politis sedari lahir, terlepas dari kita menyadarinya atau
tidak.’ (hlm. 83). Terpengaruh mentor politiknya, Walter Sisulu, Mandela
kemudian bergabung dengan ANC, dan dengan segera menjadi salah satu pengurus utamanya.
Awalnya, ia enggan menyambut orang-orang keturunan Asia Selatan dan kulit
berwarna lainnya dalam ANC dan gerakan anti-apartheid, karena ia takut mereka
akan mengungguli para pribumi kulit hitam.
Namun Mandela di kemudian hari
sadar akan pentingnya sebuah koalisi ‘front bersama’ yang bersifat
multirasial dalam melawan apartheid, terutama dalam aksi-aksi massa yang
terbuka. Di saat yang bersamaan, ia juga sadar bahwa perjuangan pembebasan
orang-orang Afrika di tanah airnya berkaitan erat dengan perjuangan kelasyang lebih universal. Cerita
selanjutnya kita tahu: Mandela dan ANC-nya bersama-sama dengan Kongres
Serikat Buruh Afrika Selatan (Congress of South African
Trade Unions, COSATU) dan Partai Komunis Afrika Selatan (South African Communist Party, SACP) memantapkan
diri sebagai kekuatan politik Kiri terdepan di Afrika Selatan. Mandela
sendiri adalah anggota ANC sekaligus SACP.
Dalam pengakuannya, segera setelah
Mandela sadar akan pentingnya perjuangan kelas multirasial, ia segera
‘…membaca karya-karya Marx dan
Engels, Lenin, Mao Tse-Tung, dan lain-lain dan mendalami filsafat
materialisme dialektis dan historis…Aku segera tertarik dengan ide masyarakat
tanpa kelas, yang dalam pandanganku, mirip dengan kebudayaan tradisional
Afrika yang menekankan kehidupan bersama yang komunal. Aku mengamini prinsip
dasar Marx…”Dari masing-masing sesuai kemampuannya; untuk masing-masing
sesuai kebutuhannya.’’’ (hlm. 105).
Fase perjuangan
Awalnya, ANC dan rekan-rekan
koalisinya berjuang dalam kerangka gerakan non-kekerasan. Wajar saja, Mahatma
Gandhi, pejuang anti-kolonialisme dari India sekaligus salah satu pelopor
gerakan non-kekerasan terkemuka, pernah tinggal lama di Afrika Selatan.
Tetapi, semakin lama rejim apartheid makin represif dan menindas. Tatkala keadaan
mulai berubah, maka taktik dan strategi perjuangan juga harus berubah. Apa
yang cocok di tanah India belum tentu cocok di tanah Afrika Selatan. Mandela
sadar betul akan hal itu. Ia menyadari bahwa,
‘…jika protes damai dibalas dengan
kekerasan, maka kegunannya telah berakhir. Bagiku, non-kekerasan bukanlah
prinsip moral melainkan sebuah strategi; tidak ada kebaikan moral dalam
memakai senjata yang tidak efektif. ‘ (hlm. 137).
Mandela amat mengagumi Gandhi dan
keteguhan moralnya. Namun dia tahu, senjata yang tumpul tidak berguna untuk
melawan musuh yang menyerang dengan membabi-buta. Di tahun 1961, terinspirasi
oleh Fidel Castro dan Revolusi Kuba, Mandela membentuk Umkhonto we Sizwe (MK), sayap bersenjata ANC
yang kira-kira berarti ‘Tombak Bangsa.’ Bagi banyak kalangan di Barat, MK
adalah justifikasi untuk melabeli Mandela dan perjuangan anti-apartheid di
Afrika Selatan sebagai ‘komunis’ dan ‘ekstremis’ – sebuah label yang
mematikan dalam konteks Perang Dingin. ‘Nah, gua bilang juga apa, tuh
Mandela dan pasukannya cuman teroris komunis yang menyerang para sekutu kita,
kapitalis kulit putih di Afrika Selatan!’ Kira-kira
begitulah tanggapan para penguasa di Barat yang terus menjalin kerja sama
dengan rejim apartheid, seperti perdana menteri Margaret Thatcher yang dengan keblingernya mengecap Mandela sebagai ‘teroris’
dan memuji diktator militer Augusto Pinochet karena membangun ‘demokrasi’ di
Chile.
Berlawanan dengan fitnah Barat,
serangan-serangan MK adalah strategi yang terukur dengan tujuan yang jelas. Mandela,
meskipun tidak memiliki latar belakang militer, mempelajari berbagai sejarah
perjuangan dan taktik gerilya dari berbagai gerakan pembebasan nasional di
banyak penjuru dunia secara seksama, sebagaimana diakuinya:
‘Aku membaca laporan Blas Roca,
sekretaris jenderal Partai Komunis Kuba, mengenai masa-masa mereka sebagai
organisasi illegal di bawah rejim Batista…Aku membaca taktik-taktik gerilya
yang tak lazim a la para jenderal Boer di masa
Perang Inggris-Boer. Aku membaca karya-karya oleh dan tentang Che Guevara,
Mao Tse-tung, Fidel Castro.’ (hlm, 237).
Saya jadi teringat kata-kata
Frantz Fanon dan Jean-Paul Sartre dalam bukunya Fanon yang terkenal itu, The Wretched of the Earth. Bagi Fanon dan
Sartre, aksi kekerasan yang dilakukan mereka yang terjajah terhadap sang
penjajah adalah sebuah aksi pembebasan; matinya sang penjajah adalah
kelahiran bagi manusia merdeka yang dulunya terjajah. Mandela sepertinya
memang tidak pernah membaca Fanon secara langsung. Namun menurut Elleke
Boehmer (2008), strategi Mandela adalah ‘jalan tengah’ antara militansi
non-kekerasan Gandhi dan kekerasan revolusioner Fanon. Dinamika India dan
Algeria tentu berbeda dengan Afrika Selatan. Mandela bekerja dengan menyerap
inspirasi dari banyak tempat dan menyesuaikannya dengan kondisi Afrika
Selatan.
Tahun 1962, Mandela ditangkap oleh
rejim apartheid, untuk dijebloskan ke dalam penjara selama kurang lebih 27
tahun, dan baru dibebaskan sekitar tahun 1990. Baik Mandela maupun ANC dan
rekan-rekan koalisinya tidak tinggal diam. Di Penjara, Mandela memupuk
harapan dengan berbagai cara, mulai dari mengikuti perkembangan perjuangan
koalisi ANC, menyelenggarakan program pendidikan bagi para tahanan politik
melalui kuliah bersama dan pementasan drama, merintis proses rekonsiliasi
dengan mendekatkan diri dengan para sipir kulit putih, hingga bercocok tanam.
Di luar sana, ANC dan koalisinya terus bergerak, melalui gabungan antara
aksi-aksi massa, lobi-lobi internasional, serangan bersenjata terhadap rejim
apartheid oleh MK dan pembentukan Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front, UDF). Perlahan-lahan,
hasilnya mulai terlihat. Mandela dibebaskan, ANC berjaya dan di pemilu
presiden multirasial dan demokratis yang pertama di tahun 1994, ANC
memperoleh suara terbanyak dan Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama
di Afrika Selatan hingga 1999.
Ketika berkuasa
Mandela kemudian berkuasa, di
tengah-tengah sebuah masyarakat dengan ‘tradisi’ segregasi berpuluh-puluh
tahun dan ketidakpercayaan di antara berbagai kelompok, terutama antara para
warga kulit putih dan kulit hitam. Karenanya, rekonsiliasi dan persatuan
nasional segera menjadi prioritas utamanya.
Awalnya, tidak mudah bagi ANC dan
dua rekan koalisinya, COSATU dan SACP, untuk segera menjalankan agenda-agenda
progresif pasca-apartheid. Frederik de Klerk, presiden terakhir dari era
apartheid yang juga seorang kulit putih, ditariknya sebagai wakil presiden,
sebagai simbol persatuan nasional dan rekan pemerintahan yang
berpengalaman bagi koalisi ANC. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
sipil dan politik, termasuk hak-hak kaum minoritas seksual, direstorasi.
Kemudian, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi didirikan untuk mengusut berbagai
kejahatan rejim apartheid. Singkat kata, rekonsiliasi nasional dan toleransi
multirasial berhasil dibangun.
Tentu, Mandela bukan nabi dan
Afrika Selatan bukan surga. Para rekan dan pendukungnya mulai mengritik
abainya Mandela terhadap korupsi dan kapitalisme kroni yang dilakukan oleh
para orang terdekatnya. Tak hanya itu, agenda-agenda ekonomi redistribusionis
yang dicanangkan oleh Mandela tak kunjung dilaksanakan. Kawan-kawan Kiri-nya
mulai kecewa dengan Mandela yang seakan-akan ‘menerima’ ekspansi kapitalisme
neoliberal di Afrika Selatan.
Penggantinya, Tabo Mbeki, terkenal sebagai
presiden yang korup. Pertumbuhan ekonomi meningkat, namun begitu juga tingkat
kesenjangan ekonomi, dan hanya segelintir elit Afrika Selatan yang dapat
menikmati ‘pertumbuhan’ tersebut. Generasi muda kulit hitam di Afrika Selatan
mulai kecewa dengan ANC yang dianggap ‘mengkhiatanati’ kepentingan mayoritas
rakyat Afrika Selatan.
Terlepas dari segala
kekurangannya, Madiba telah berbuat banyak. Selepas masa kepresidenannya,
Madiba terus berjuang. Isu-isu kesehatan publik, terutama kesejahteraan anak
dan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi perhatian utamanya setelah masa
jabatannya habis, hingga ia berpulang.
Penutup: Madiba dan
warisannya
Kini, Madiba berpulang. Seluruh
dunia berkabung. Barat dan media arus-utama mencitrakannya sebagai seorang
sesepuh bangsa dengan orientasi humanitarian. Mereka lupa, atau sengaja
melupakannya, bahwa Mandela pertama-tama adalah seorang revolusioner, yang
berpedoman pada aksi massa, pemahaman teoretik dan solidaritas internasional.
Madiba tidak pernah lupa dengan
Nat Bregman, seorang komunis yang selalu berbagi makan siang dengannya. Juga
dengan Fidel Castro dan Olof Palme, yang membantunya dan rakyat Afrika
Selatan sedari awal dalam perjuangan melawan apartheid. Meskipun sulit, ia
selalu membela rakyat pekerja dan memperjuangkan keadilan ekonomi. Tak lupa,
ia juga memperjuangkan solidaritas antara bangsa-bangsa dunia ketiga yang
semakin meredup akhir-akhir ini. Garis politik anti-imperialismenya jelas,
sebagaimana terlihat dalam kritiknya atas invasi Amerika Serikat ke Iraq dan
aksi-aksi jingoisme lainnya.
Tentu, keberhasilan perjuangan anti-apartheid di
Afrika Selatan bukan karya Mandela seorang. Ada gerakan massa yang sadar di
sana. ‘Aku cuman bagian dari massa,’ ujar Mandela. Benar, Mandela selalu
dekat dengan massa. Namun, kita tahu, tanpa kepemimpinan dan jasa Mandela,
tidak ada Afrika Selatan yang seperti sekarang.
Kaum liberal ‘demokrat,’ yang
dukungannya terhadap gerakan rakyat selalu suam-suam kuku dan ini kagak itu kagak, tentu enggan mengupas sisi
revolusioner seorang Mandela. Tetapi, dari refleksi kita atas perjuangan
Mandela dan rakyat Afrika Selatan, maka teranglah bahwa rejim apartheid di
Afrika Selatan tumbang bukan hanya karena keberhasilan ‘negosiasi,’ namun
terutama karena gerakan massa yang konsisten dan berkesinambungan.
Berpulangnya Mandela mengingatkan
saya akan kalimat terkenal dari Joe Hill, aktivis buruh militan dari Amerika
Serikat, yang berkata, ‘jangan berkabung, berhimpunlah!’ Kepergian Mandela
bukan untuk dijadikan ratapan, namun justru menjadi momentum untuk
meningkatkan militansi gerakan rakyat. Ingatlah, penindasan dan kapitalisme
sekedar berganti baju, dari epos kolonialisme dan apartheid menuju epos
neoliberalisme. Oleh karena itu, militansi menjadi jauh lebih penting disaat
sekarang.
Sebagaimana ada banyak jalan menuju Roma, ada juga banyak
jalan menuju pembebasan dan sosialisme. Mandela menunjukkan, inspirasi yang
mengilhami perlawanan bisa datang dari mana saja, dari Shakespeare maupun
Marx, dari Gandhi maupun Mao, dari Barat maupun Timur. Semuanya bermuara pada
tujuan yang sama. Madiba, dengan usahanya, telah menunjukkan jalannya bagi
kita. Adalah kewajiban kita, anak-anaknya, untuk melanjutkan jalannya, jalan
demokrasi popular, pembebasan rakyat dan solidaritas internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar