Batik
dan Kebijakan Pemerintah
Agus Sardjono ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
27 Desember 2013
Forum Kebudayaan Dunia telah digelar
di Bali pada 24-27 November 2013. Apakah pemerintah sudah mempunyai kebijakan
terkait pengembangan kebudayaan? Sejauh mana kebijakan itu mendorong
pengembangan warisan budaya Indonesia, baik dalam konteks melestarikan maupun
menggunakannya sebagai sumber industri kreatif?
Batik adalah isu penting yang
patut mendapat perhatian terkait forum kebudayaan tersebut. Hal itu bukan saja
karena batik telah diakui dunia sebagai salah satu warisan budaya Indonesia,
melainkan juga karena banyak kelompok masyarakat menggantungkan hidup pada
industri batik.
Salah satu isu yang muncul dalam
beberapa tahun terakhir adalah impor tekstil dan produk tekstil bermotif
batik.
Dalam kunjungan penulis ke
sejumlah sentra industri batik, tampak kekhawatiran para pelaku batik
terhadap membanjirnya produk tekstil bermotif batik (biasa disebut batik printing).
Harga murah batik printing tidak
hanya merusak kearifan lokal berupa seni batik, tetapi juga mengancam
keberlangsungan industri batik.
Ironisnya, para pelaku industri
batik juga mulai membuat dan menjual batik printing, yang ternyata
mendapat dukungan dari beberapa instansi pemerintah dalam bentuk pemesanan
batik printinguntuk seragam pegawai. Padahal, jelas bahwa batik printing bukanlah
batik.
Warisan
dunia
Sebagai warisan dunia, UNESCO
menerapkan persyaratan sebelum memberikan pengakuan terhadap batik.
Pertama, batik harus merupakan
ekspresi kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Artinya, ada bukti
bahwa keahlian membatik para pelaku batik diperoleh secara turun-temurun.
Kedua, batik terkait dengan
hal-hal yang bersifat spiritual atau ritual. Batik sidomukti, misalnya,
secara tradisional dipergunakan dalam upacara perkawinan adat Jawa.
Ketiga, secara teknis batik
terkait dengan keahlian tertentu, mulai dari menggambar dengan malam,
melakukan pewarnaan dingin, membuang malam, dan seterusnya, yang pada intinya
merupakan satu kesatuan proses membatik.
Batik printing jelas
tidak memenuhi kriteria UNESCO. Ketika memesan batik printing untuk
seragam pegawai, sejatinya pemerintah telah ikut mendegradasi nilai luhur
seni batik.
Pelaku industri batik di Solo
berharap, kalaupun menganggap batik tulis terlalu mahal, sebaiknya pemerintah
memesan batik cap, bukan printing.
Industri
bahan baku
Harapan lain adalah tersedianya
bahan baku batik berupa kain mori dan pewarna dengan harga terjangkau, yang
sampai saat ini belum sepenuhnya terpenuhi.
Mereka sangat tergantung pada
bahan baku impor. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, industri batik
terkena dampaknya.
Semestinya pemerintah membuat
kebijakan yang mendukung industri mereka dengan mengembangkan perkebunan
kapas, industri pemintalan, dan pewarna alami.
Namun, belasan tahun pascakrisis
1998, belum tampak keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan industri
bahan baku batik.
Alih-alih mengembangkan perkebunan
kapas dan tanaman pewarna, justru pemerintah berpihak pada perkebunan kelapa
sawit dan industri otomotif dengan gagasan mobil murahnya.
Ketika keunggulan dan keindahan
batik sebagai warisan budaya hanya menjadi jargon dan kurang mendapat
keberpihakan pada industri penyangga, jangan harap industri batik domestik
dapat melawan batik printing impor.
Ide pemerintah memberi label batik
Indonesia secara konseptual dapat menjadi sarana quality control.
Namun, dalam pelaksanaannya, hal
itu justru memberatkan pelaku industri batik tradisional, baik dari sisi
prosedural maupun biaya.
Para pelaku batik justru mengusulkan
agar yang diberi label adalah batik printing berupa kewajiban untuk
menyatakan bahwa tekstil itu bukan batik, melainkan produk tekstil bermotif
batik.
Ini dapat menjadi sarana edukasi
masyarakat bahwa ternyata ada produk tekstil yang bukan batik, tetapi
menggunakan motif batik, dan mereka bebas memilih.
Memberi label batik Indonesia pada
batik tradisional terkesan membatasi ekspresi kebudayaan para pembatik.
Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan prosedur administratif yang menyertai
penggunaan label batik Indonesia. Oleh sebab itu, akan lebih mudah jika
kewajiban pemasangan label itu justru dibebankan pada industri batik printing.
Standar
nasional
Kebijakan pemerintah berkenaan
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) juga dianggap memberatkan industri
batik, khususnya dari sisi biaya.
Akan lebih bijaksana jika masalah
standardisasi batik itu diserahkan kepada komunitas batik karena yang
memahami kualitas batik adalah pelaku batik, baik perajin, produsen, maupun
konsumen.
Dalam sistem persaingan yang
sehat, reputasi produk dan produsen akan ditentukan oleh pasar yang sehat
pula. Apabila komunitas batik berkehendak bersama menjaga reputasi dengan
menentukan standar produk batik mereka, kualitas produk akan lebih terjaga.
Gagasan ini tentu saja tidak bisa
serta-merta dianggap sebagai penolakan terhadap SNI. Tidak ada yang salah
dengan SNI. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara agar masyarakat
pembatik menyadari arti penting standar untuk menjaga kualitas.
Apabila komunitas batik memiliki
gagasan membuat standar, akan lebih baik jika pemerintah mendukung dan
memfasilitasinya.
Kalaupun hendak menerapkan SNI,
hendaknya hal itu tidak diikuti biaya terlalu besar karena kebanyakan pelaku
industri batik bukan golongan industri berskala besar.
Industri batik adalah salah satu
contoh konkret betapa kebijakan pemerintah belum sepenuhnya selaras dengan
kondisi di lapangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar