Potret
Hitam Kekerasan Terhadap Anak
Sutrisno ; Mahasiswa S2 UMS
|
HALUAN,
27 Desember 2013
Potret hitam
situasi dan ragam kekerasan serta pelanggaran hak anak-anak di Indonesia
semakin memprihatinkan. Di pengujung tahun 2013 ini, Komisi Nasional Perlindungan
Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan laporan kasus pelanggaran yang melibatkan
anak.
Menurut data Komnas Anak,
ada 1.620 kasus dengan perincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen),
psikis 313 kasus (19 persen), dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus
(51 persen).
Ironisnya, kasus-kasus
kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni
rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.
Sedangkan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi anak
seperti orang tua, paman, guru, orang tua angkat ataupun tiri.
Peristiwa teraktual adalah
di Batam. Rizky, 3 tahun, tewas di tangan orang tuanya sendiri. Di Riau,
Adit, 6 tahun, ditemukan penjual sayur di kebun sawit. Bocah itu mengaku
dibuang ibu dan pamannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka. Alat kelaminnya
juga ada bekas luka yang menurutnya digunting oleh sang ibu.
Fakta tersebut mengungkap
gagalnya negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua melindungi serta
menghormati hak anak di Indonesia. Kita sebagai masyarakat terlalu sibuk
dengan urusan sendiri.
Negara yang seharusnya
melindungi dan memelihara mereka terlalu sibuk mengurusi hal-hal besar,
seperti urusan politik, skandal korupsi, dan ekonomi bangsa. Negara belum
maksimal melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan.
Fakta ini juga
bertentangan dengan program Kabupaten/Kota Layak Anak yang sering
didengungkan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak terbuka dan tidak
merespons secara proporsional kasus-kasus pelanggaran hak anak.
Sebenarnya pemerintah
telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga lain
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.
Perlindungan juga wajib
diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotik, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.
Masa depan anak erat
kaitannya dengan perlindungan anak. Artinya perlindungan anak menjamin anak
berkembang secara optimal sehingga secara otomatis masa depan anak menjadi
terjamin.
Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak anak agar hidup
dan tumbuh berkembang secara optimal, berpartisipasi, serta mendapatkan
perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.
Saat ini terdapat sekitar
84 juta anak-anak Indonesia, dan setiap tahunnya lahir sekitar 4 juta–5 juta
anak. Mengingat jumlahnya yang sangat besar dan merupakan generasi penerus
bangsa, perhatian dan perlindungan terhadap anak Indonesia mutlak harus
dilakukan. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua,
masyarakat, dan negara.
Potret hitam kasus kekerasan
anak tentu mengusik kita semua. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung
jawab orang tua, masyarakat, dan negara. Adapun tanggung jawab pemerintah
dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum dan peme nuhan hak-hak
anak sebagai bagian dari warga negara. Sebagai bentuk tanggung jawab
pemerintah untuk melindungi anak, pemerintah memang sudah membentuk UU No
23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemerintah, dalam hal ini
Departemen (Kementerian) Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak mestinya berada di barisan terdepan dalam
menyelamatkan mereka. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan
Nasional harus dilibatkan.
Pemerintah perlu mengeluarkan
kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala
bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse),
diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembiaran dan
impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan
dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.
Terpenting, hak-hak dasar
anak sebagaimana amanat konstitusi harus dipernuhi negara. Ada empat jenis
hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang secara
optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan perlindungan
dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.
Bentuk tanggung jawab
orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar,
pemberian pendidikan, pengenalan etika dan sopan santun, pemberian bekal
agama yang baik, dan perlindungan jiwa raganya. Tanggung jawab masyarakat
adalah menciptakan lingkungan interaksi sosial yang positif sehingga anak
bisa bersosialisasi dengan baik bersama dengan teman-temannya maupun lingkungan
sekitarnya.
Selanjutnya, mengeluarkan
kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala
bentuk tindak pelanggaran hak anak, seperti bunuh diri, penyiksaan anak berujung
maut, tindak kekerasan (child abuse),
kekerasan seksual, diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya.
Pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi
rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.
Sinergi antara orang tua,
masyarakat, LSM, dan pemerintah harus terus dilakukan dalam melindungi anak.
Pemerintah bersama masyarakat luas harus kerja ekstra dalam upaya penyediaan
dana, kepedulian, masalah keamanan, perbaikan nasib (perekonomian, pendidikan,
kesehatan rakyat) merupakan faktor penting mengatasi persoalan potret hitam
kekerasan anak di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar