Senin, 30 Desember 2013

Lebur atau Bersiasat dalam Liberalisasi



PROSPEK POLITIK 2014

Lebur atau Bersiasat dalam Liberalisasi

Gianie dan Ratna Sri Widyastuti  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013

 

PERTEMUAN tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik 2013 di Bali baru usai. Kesepakatan dalam forum 21 pemimpin ekonomi ini semakin mengukuhkan kerja sama ekonomi berbasis neoliberal. Setelah perdagangan dan investasi, kini bertambah lagi liberalisasi sektor jasa.

Dari rangkaian KTT APEC 2013, salah satu rekomendasi Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) kepada pemimpin APEC adalah reformasi peraturan domestik serta kebijakan yang lebih proinvestasi dan liberalisasi sektor jasa.
Rekomendasi tersebut adalah salah satu cara mewujudkan Bogor Goals. Bogor Goals yang dideklarasikan negara-negara anggota APEC pada 15 November 1994 di Bogor, Jawa Barat, berisi kesepakatan menuju perdagangan dan investasi bebas dan terbuka. Kesepakatan ini diharapkan tercapai pada 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara berkembang.

Untuk mencapai tujuan ini, berbagai hambatan perdagangan dan investasi secara bertahap dihilangkan. Aliran barang dan modal pun mengalir ke anggota APEC, termasuk Indonesia.

Dalam kurun hampir 20 tahun, dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, perekonomian Indonesia semakin lebur ke dalam perdagangan bebas. Mencermati data Bank Dunia, kelonggaran bea masuk ke Indonesia semakin nyata. Jika rata-rata bea masuk seluruh barang ke Indonesia pada 1993 masih berkisar 12,5 persen, tahun 2011 tinggal 2,6 persen.

Perlahan, tetapi pasti, kebijakan ekonomi nasional digariskan mengarah pada liberalisasi. Setiap kebijakan ekonomi tidak ditentukan kemauan pemerintah semata, tetapi oleh mobilitas modal yang selalu bergerak dalam konteks kapital global. Hampir semua kegiatan ekonomi yang vital dan strategis, seperti perdagangan, pangan, energi, keuangan, dan investasi, masuk dalam skema liberalisasi.

Meskipun hasil forum APEC yang mempertemukan negara maju dan berkembang ini tidak mengikat, banyak hal mengondisikan Indonesia semakin larut dalam kebijakan liberalisasi.

Hubungan mengikat

Forum internasional yang lebih mengikat mengacu pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menghapus segala bentuk hambatan perdagangan, seperti pajak impor, subsidi, dan peraturan yang melindungi pertanian lokal. Pasar bebas untuk pangan dan nonpangan diresmikan melalui perjanjian WTO pada 1994.

Indonesia terjun ke dalam perekonomian liberal sejak lebih dari 30 tahun lalu. Pada 1980-an, Indonesia terimbas kebijakan Bank Dunia yang berubah total. Paham neoliberal menjadi acuan Bank Dunia yang berlangsung hingga kini.
Negara-negara yang bergantung pada bantuan dan utang lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) harus tunduk pada aturan lembaga tersebut. Saat krisis ekonomi 1997-1998, penyelamatan perekonomian melalui bantuan IMF menggiring Indonesia ke arah liberalisasi.

Pemerintah menerbitkan sejumlah produk hukum dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau keputusan menteri untuk mendukung liberalisasi. Di antaranya, privatisasi, mengurangi subsidi yang dianggap memberatkan anggaran negara, dan liberalisasi perdagangan, termasuk beras. Termasuk pula kesediaan menyusun rancangan undang-undang migas yang di kemudian hari menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Didikte

Sejak saat itu sektor pertanian terpinggirkan karena (untuk Indonesia) produktivitasnya rendah dari sektor non-pertanian. Negara berkembang digiring mengimpor pangan dan berkonsentrasi untuk produksi dan ekspor komoditas yang tidak bernilai tambah, seperti minyak sawit mentah.

Strategi swasembada pangan tidak dianjurkan karena dianggap terlalu mahal, mulai dari penyediaan bibit, penggunaan pupuk, irigasi, dan subsidi. Bisa ditebak apabila kita menjadi pengimpor beras, kecuali pada tahun 2008 dan 2009.

Di bidang energi, pemerintah menyerahkan penggarapan wilayah kuasa ke mitra asing sehingga lebih dari 80 persen blok migas Indonesia dikuasai asing. Perusahaan asing dianggap kuat karena modal besar, teknologi tinggi, dan memiliki manajemen risiko yang baik. Kebijakan pemerintah ini membuat perusahaan swasta nasional sulit berkompetisi. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan sektor tersebut harus dikuasai negara yang dapat dikerjakan melalui BUMN.

Kepemilikan asing juga bertambah di sektor perbankan melalui peraturan pemerintah yang mengizinkan kepemilikan asing di bank domestik hingga 99 persen.

Dalam investasi, proses persetujuan penanaman modal asing terus diupayakan semakin singkat. Nilai investasi tak lagi dibatasi, tergantung pada studi kelayakan proyek. Pada tahun 2012, realisasi investasi asing mencapai 24,6 miliar dollar AS, mayoritas untuk sektor pertambangan. Di lantai bursa, untuk mengakomodasi investor asing leluasa bergerak dengan masa transaksi lebih panjang, jam perdagangan di Bursa Efek Indonesia pun ditambah.

Tidak sendirian

Liberalisasi menjadi keniscayaan ketika suatu negara terikat perjanjian perdagangan bebas (FTA). Indonesia termasuk di dalam perjanjian kerja sama ASEAN FTA (AFTA), kerja sama AFTA-Jepang, AFTA-India, AFTA-China, AFTA-Korea, dan AFTA Australia-Selandia Baru.

Indonesia tidak sendiri dalam mengintegrasikan perekonomiannya pada pasar dunia. Dalam lingkup anggota APEC, penurunan tajam rata-rata bea masuk barang impor juga dialami China, Peru, Filipina, Thailand, dan Vietnam (lihat Tabel).

Namun, liberalisasi yang berjalan sejauh ini lebih banyak menempatkan Indonesia sebagai pasar ketimbang sebaliknya. Liberalisasi tidak diikuti peningkatan kemampuan produksi pangan, energi, dan industri manufaktur dalam negeri menyebabkan banjir barang impor. Kebijakan impor yang mulanya bersifat sesekali ketika dibutuhkan berubah menjadi impor struktural karena ketergantungan yang tinggi. Perlindungan terhadap produsen lokal terabaikan. Tahun depan, persoalan pangan tetap akan diselesaikan secara instan, melalui impor.

Liberalisasi tidak selamanya berdampak negatif. Hanya saja, Indonesia belum bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya. Liberalisasi keuangan dinilai punya dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi internal negara berkembang secara bertahap dan dalam kondisi fundamental baik. Namun, perlu kehati-hatian terhadap dana panas (hot money) yang gampang ditarik investor asing.

Pemerintah harus mampu memanfaatkan liberalisasi untuk kemajuan lebih baik dengan meningkatkan daya saing produsen domestik. Diperlukan kebijakan yang melindungi masyarakat kelas bawah dan meningkatkan kapasitas pelaku ekonomi skala kecil.

Keberanian pemerintah melakukan transformasi dan dukungan kelembagaan untuk memperbaiki infrastruktur, industri, dan pertanian merupakan keharusan. Jika tidak, liberalisasi tidak akan memberi manfaat bagi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar