PROSPEK POLITIK
2014
Lebur atau Bersiasat dalam Liberalisasi
Gianie dan Ratna Sri
Widyastuti ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
PERTEMUAN
tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik 2013 di Bali baru usai.
Kesepakatan dalam forum 21 pemimpin ekonomi ini semakin mengukuhkan kerja
sama ekonomi berbasis neoliberal. Setelah perdagangan dan investasi, kini
bertambah lagi liberalisasi sektor jasa.
Dari rangkaian KTT APEC 2013, salah
satu rekomendasi Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) kepada pemimpin APEC
adalah reformasi peraturan domestik serta kebijakan yang lebih proinvestasi
dan liberalisasi sektor jasa.
Rekomendasi tersebut adalah salah
satu cara mewujudkan Bogor Goals. Bogor Goals yang dideklarasikan
negara-negara anggota APEC pada 15 November 1994 di Bogor, Jawa Barat, berisi
kesepakatan menuju perdagangan dan investasi bebas dan terbuka. Kesepakatan
ini diharapkan tercapai pada 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara
berkembang.
Untuk mencapai tujuan ini,
berbagai hambatan perdagangan dan investasi secara bertahap dihilangkan.
Aliran barang dan modal pun mengalir ke anggota APEC, termasuk Indonesia.
Dalam kurun hampir 20 tahun,
dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, perekonomian Indonesia
semakin lebur ke dalam perdagangan bebas. Mencermati data Bank Dunia,
kelonggaran bea masuk ke Indonesia semakin nyata. Jika rata-rata bea masuk
seluruh barang ke Indonesia pada 1993 masih berkisar 12,5 persen, tahun 2011 tinggal
2,6 persen.
Perlahan, tetapi pasti, kebijakan
ekonomi nasional digariskan mengarah pada liberalisasi. Setiap kebijakan
ekonomi tidak ditentukan kemauan pemerintah semata, tetapi oleh mobilitas
modal yang selalu bergerak dalam konteks kapital global. Hampir semua
kegiatan ekonomi yang vital dan strategis, seperti perdagangan, pangan,
energi, keuangan, dan investasi, masuk dalam skema liberalisasi.
Meskipun hasil forum APEC yang
mempertemukan negara maju dan berkembang ini tidak mengikat, banyak hal mengondisikan
Indonesia semakin larut dalam kebijakan liberalisasi.
Hubungan mengikat
Forum internasional yang lebih
mengikat mengacu pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang
menghapus segala bentuk hambatan perdagangan, seperti pajak impor, subsidi,
dan peraturan yang melindungi pertanian lokal. Pasar bebas untuk pangan dan
nonpangan diresmikan melalui perjanjian WTO pada 1994.
Indonesia terjun ke dalam
perekonomian liberal sejak lebih dari 30 tahun lalu. Pada 1980-an, Indonesia
terimbas kebijakan Bank Dunia yang berubah total. Paham neoliberal menjadi
acuan Bank Dunia yang berlangsung hingga kini.
Negara-negara yang bergantung pada
bantuan dan utang lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional (IMF) harus tunduk pada aturan lembaga tersebut. Saat krisis
ekonomi 1997-1998, penyelamatan perekonomian melalui bantuan IMF menggiring
Indonesia ke arah liberalisasi.
Pemerintah menerbitkan sejumlah
produk hukum dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau keputusan
menteri untuk mendukung liberalisasi. Di antaranya, privatisasi, mengurangi
subsidi yang dianggap memberatkan anggaran negara, dan liberalisasi
perdagangan, termasuk beras. Termasuk pula kesediaan menyusun rancangan
undang-undang migas yang di kemudian hari menimbulkan kontroversi karena
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Didikte
Sejak saat itu sektor pertanian
terpinggirkan karena (untuk Indonesia) produktivitasnya rendah dari sektor
non-pertanian. Negara berkembang digiring mengimpor pangan dan berkonsentrasi
untuk produksi dan ekspor komoditas yang tidak bernilai tambah, seperti
minyak sawit mentah.
Strategi swasembada pangan tidak
dianjurkan karena dianggap terlalu mahal, mulai dari penyediaan bibit,
penggunaan pupuk, irigasi, dan subsidi. Bisa ditebak apabila kita menjadi
pengimpor beras, kecuali pada tahun 2008 dan 2009.
Di bidang energi, pemerintah
menyerahkan penggarapan wilayah kuasa ke mitra asing sehingga lebih dari 80
persen blok migas Indonesia dikuasai asing. Perusahaan asing dianggap kuat
karena modal besar, teknologi tinggi, dan memiliki manajemen risiko yang
baik. Kebijakan pemerintah ini membuat perusahaan swasta nasional sulit
berkompetisi. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan sektor tersebut harus dikuasai
negara yang dapat dikerjakan melalui BUMN.
Kepemilikan asing juga bertambah
di sektor perbankan melalui peraturan pemerintah yang mengizinkan kepemilikan
asing di bank domestik hingga 99 persen.
Dalam investasi, proses
persetujuan penanaman modal asing terus diupayakan semakin singkat. Nilai
investasi tak lagi dibatasi, tergantung pada studi kelayakan proyek. Pada
tahun 2012, realisasi investasi asing mencapai 24,6 miliar dollar AS,
mayoritas untuk sektor pertambangan. Di lantai bursa, untuk mengakomodasi
investor asing leluasa bergerak dengan masa transaksi lebih panjang, jam
perdagangan di Bursa Efek Indonesia pun ditambah.
Tidak sendirian
Liberalisasi menjadi keniscayaan
ketika suatu negara terikat perjanjian perdagangan bebas (FTA). Indonesia
termasuk di dalam perjanjian kerja sama ASEAN FTA (AFTA), kerja sama
AFTA-Jepang, AFTA-India, AFTA-China, AFTA-Korea, dan AFTA Australia-Selandia
Baru.
Indonesia tidak sendiri dalam
mengintegrasikan perekonomiannya pada pasar dunia. Dalam lingkup anggota
APEC, penurunan tajam rata-rata bea masuk barang impor juga dialami China,
Peru, Filipina, Thailand, dan Vietnam (lihat Tabel).
Namun, liberalisasi yang berjalan
sejauh ini lebih banyak menempatkan Indonesia sebagai pasar ketimbang
sebaliknya. Liberalisasi tidak diikuti peningkatan kemampuan produksi pangan,
energi, dan industri manufaktur dalam negeri menyebabkan banjir barang impor.
Kebijakan impor yang mulanya bersifat sesekali ketika dibutuhkan berubah
menjadi impor struktural karena ketergantungan yang tinggi. Perlindungan terhadap
produsen lokal terabaikan. Tahun depan, persoalan pangan tetap akan
diselesaikan secara instan, melalui impor.
Liberalisasi tidak selamanya
berdampak negatif. Hanya saja, Indonesia belum bisa mengambil manfaat
sebesar-besarnya. Liberalisasi keuangan dinilai punya dampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi internal negara berkembang secara bertahap dan dalam
kondisi fundamental baik. Namun, perlu kehati-hatian terhadap dana panas (hot
money) yang gampang ditarik investor asing.
Pemerintah harus mampu memanfaatkan
liberalisasi untuk kemajuan lebih baik dengan meningkatkan daya saing
produsen domestik. Diperlukan kebijakan yang melindungi masyarakat kelas
bawah dan meningkatkan kapasitas pelaku ekonomi skala kecil.
Keberanian pemerintah melakukan
transformasi dan dukungan kelembagaan untuk memperbaiki infrastruktur,
industri, dan pertanian merupakan keharusan. Jika tidak, liberalisasi tidak
akan memberi manfaat bagi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar