Antara
Malu dan Gengsi
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2013
Setelah Kaisar Jepang (Tenno
Heika) Hirohito pada 15 Agustus 1945 menyatakan menyerah dalam Perang Dunia
II pascapengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, pada 16 Agustus 1945 pagi
Laksamana Takijiro Ohnishi melakukan harakiri
(bunuh diri dengan menusuk perut sendiri memakai belati).
Laksamana yang satu ini adalah penggagas satuan pesawat tempur Kamikaze yang penerbangnya berani menerjunkan pesawatnya ke kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) dan berhasil menenggelamkan puluhan kapal AS serta membunuh ribuan serdadu dan pelaut AS. Dia pula yang merancang penyerangan Pearl Harbour, Hawaii, pada 1942 dan membunuh ribuan tentara Negeri Paman Sam tersebut, termasuk para jenderalnya yang sedang tidur nyenyak. Buat Ohnishi, Jepang harus dan bisa memenangi perang. Tidak ada kalah dalam kamusnya. Karena itu ia memilih berharakiri ketika ternyata Kaisar menyerah kalah seraya sebelum mati ia menulis pesan minta maaf kepada para Kamikaze yang telah rela mengorbankan nyawanya dan keluarga mereka yang berduka demi bangsa. Tapi bukan hanya Laksamana Ohnishi yang berharakiri. Bersamaan dengan harakiri Ohnishi, puluhan orang, sipil dan militer, mendatangi halaman istana Tenno Heika, bukan untuk berdemo menuntut kenaikan UMP, melainkan untuk berharakiri massal sebagai pernyataan malu dan menolak menyerah kepada Sekutu. Tradisi seppuku (bunuh diri demi menjunjung kehormatan) berakar dari tradisi bushido dari para samurai (pendekar Jepang pembela setia para shogun/rajaraja kecil). Dalam semangat bushido, kerja keras dan berjuang sampai titik darah terakhir demi shogun adalah mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Samurai yang kalah lebih baik bunuh diri daripada menyerah. Karena samurai bersenjata pedang (pedangnya disebut samurai juga) dan belati, metode seppuku-nya adalah harakiri. Tapi para penerbang melakukan kamikaze, sedangkan serdadu-serdadu yang sudah terpojok oleh tentara musuh terjun ke jurang. Semuanya untuk melakukan seppuku. Di zaman sekarang, walaupun sudah makin jarang, seppuku masih dilakukan beberapa orang, seperti business man yang hampir bangkrut atau siswa yang gagal masuk perguruan tinggi favorit (untuk memenuhi keinginan ibunya). Metodenya bisa macammacam, termasuk meloncat dari apartemen atau menabrakkan diri ke kereta api. Di Indonesia, ada juga korban ketabrak keretaapi atau meloncat dari apartemen atau minum racun serangga yang niatnya bunuh diri, tetapi motivasinya bukan karena malu, melainkan karena gengsi atau frustrasi. Seorang pelajar SD kelas VI bunuh diri karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya, padahal semua teman-temannya punya motor. Caleg DPR bunuh diri karena tidak terpilih, sementara duitnya yang keluar sudah miliaran rupiah. Ada lagi yang bunuh diri karena pacarnya kawin sama orang lain. Semuanya karena gengsi nggak punya motor, gengsi dan frustrasi nggak jadi anggota DPR, atau frustrasi karena gagal cinta. Pokoknya tidak ada bunuh diri karena tidak mau menanggung malu karena gagal berprestasi. Karena itu bunuh-bunuh diri di Indonesia, yang makin sering terjadi, tidak sama dengan seppuku orang Jepang. Berbeda dari orang Jepang yang malu kalau tidak berprestasi, banyak orang Indonesia yang lebih mengutamakan gengsi daripada prestasi. Dulu orang ingin sekali mempunyai gelar kebangsawanan sehingga pada tahun 1980-an masih ada pengusaha kaya, kebetulan bukan orang Jawa, tetapi sudah jelas sukses dan berprestasi yang masih ikhlas menyumbang dana besar untuk memperoleh gelar kebangsawanan tingkat tinggi dari salah satu “kerajaan” Jawa yang masih eksis sampai sekarang. Tapi sekarang, ketika gelar kebangsawanan mulai redup gengsinya, orang beralih pada gelar akademis. Para pejabat di daerah maupun di pusat, yang legislatif maupun yang eksekutif, berlomba-lomba mencari gelar S-2 atau S-3, bahkan ada juga yang baru mulai dengan S-1- nya. Maka ada jenderal yang gelar akademisnya berderet-deret: doktor, Ir, SE, SH, MBA, MM. Padahal, pangkat jenderal itu sendiri sudah merupakan prestasi, tetapi kurang gengsi kalau belum memakai gelar akademis. Sebenarnya tidak masalah sepanjang gelar-gelar itu dicapai melalui proses yang wajar. Tapi bagaimana mungkin mencapai 5–6 gelar sekaligus? Setiap gelar S-1 yang dicapai secara normal makan waktu 4 tahunan, S-2 minimal 2 tahun, dan doktor minimal 4 tahun. Berapa waktu yang diperlukan untuk mencapai beberapa gelar? Itu pun sambil tetap menjalani kariernya sampai jadi jenderal. Rasanya tidak mungkin, kecuali kalau gelar-gelar itu diperoleh dari “membeli”. Sebaliknya yang sudah profesor, ketika menduduki jabatan tertentu, masih merasa perlu korupsi untuk membeli mobilmobil mewah, demi gengsi. Ujung-ujungnya profesor ini harus berurusan dengan KPK. Memang, masalah gengsi di Indonesia luar biasa. Misalnya, jangan coba-coba mengusik gengsi keluarga di kalangan etnik tertentu di Indonesia, akibatnya bisa fatal. Si penghina martabat keluarga bisa dibunuh, sesuai dengan aturan adat yang berlaku di etnik itu. Kerusuhan pascapilkada disebabkan pihak calon yang kalah tidak terima calonnya kalah. Gengsi lagi! Di lingkungan selebritas juga sama. Ketika seorang artis membelikan mobil supermewah untuk ibunya, tidak lama kemudian artis lain membelikan mobil superduper mewah untuk pacarnya. Maka menjelang Tahun Baru 2014, marilah kita ubah mindset bangsa kita: prestasi nomor satu, bukan gengsi! Gengsi akan datang dengan sendirinya kalau seseorang sudah menunjukkan prestasinya. Demikian juga halnya dengan bangsa: kalau bangsa kita sudah berprestasi, otomatis gengsinya akannaik. Kita contohlah bangsa Jepang yang ngomong bahasa Inggris pun nggak becus, tetapi sekarang jadi salah satu bangsa yang paling bergengsi! Selamat Tahun Baru 2014. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar