Era
Bupati
Garin Nugroho ; Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
29 Desember 2013
Menyusuri hutan primer di
Murung Raya, Kalimantan Tengah, bersama Stig Traavig—Duta Besar Norwegia—dan
Perdie M Yospeh—Bupati Murung Raya—sungguh mengasyikkan. Perjalanan itu
mengingatkan pada tulisan novelis Joseph Conrad yang mulai memperkenalkan
kata Borneo kepada pembaca dunia seputar tahun 1895. Yang menakjubkan dari
hutan Kalimantan yang terkenal sebagi paru-paru dunia tidak saja kekayaan
spesiesnya, tetapi juga tingkat endemisnya, yakni 34 persen dari kekayaan itu
hanya hidup di pulau ini.
Selepas menyusuri hutan, saya mencoba
kembali melihat catatan harian perjalanan saya pascareformasi di berbagai
wilayah Indonesia, dari Papua, Sumatera, Morotai, hingga Sumba dan berbagai
belahan pulau lainnya. Catatan perjalanan menunjukkan bahwa pada puncak
ingar-bingar politik 1998-2000 justru Indonesia mengalami laju puncak
tertinggi kerusakan hutan, yaitu 3,8 juta hektar per tahun. Bandingkan dengan
rata-rata kerusakan hutan tahun 1985 hingga 1997 yang mencapai 2 juta hektar
per tahun. Bupati Perdie dalam dialog dengan Duta Besar Norwegia
mengungkapkan, laju kerusakan hutan tahun 2000-2009 mencapai rata-rata 1,17
juta hektar per tahun. Oleh karena itu, permasalahan penyelamatan hutan,
iklim global, dan kesejahteraan masyarakat lokal menjadi tantangan
tersendiri.
”Kita memerlukan pemimpin daerah yang
antusias mengingat bahwa wilayah lokal dipenuhi masalah global.” Inilah
cuplikan pendek sambutan Duta Besar melihat antusias masyarakat berkait upaya
perlindungan hutan dan iklim global lewat kerja di Murung Raya. Cuplikan
pendek ini mengisyaratkan bahwa desentralisasi membawa tuntutan kapasitas
kerja bupati-bupati dalam dialog lokal, nasional, dan global dalam beragam
kepentingannya.
Catatan di atas juga mengajarkan bahwa era
1998-2000 yang dipenuhi percepatan politik di berbagai bidang justru menjadi
puncak deforestasi hutan. Artinya, euforia politik menjadikan politik hanya
untuk politik itu sendiri, maka ketika politikus bersibuk diri dalam euforia
demokrasi penuh impian kebebasan, kita justru menutup mata pada perilaku
penjarahan dan pembalakan serta perambahan kawasan hutan tanpa izin ataupun
penyalahgunaan fungsi hutan.
Catatan harian saya mencatat, suatu langkah
fenomena sejarah yang penting, tanggal 1 April 2005 pilkada langsung mulai
digelar di sejumlah wilayah Indonesia yang memiliki 34 provinsi serta lebih
dari 500 kabupaten dan kota. Komisi Pemilihan Umum dipaksa menggelar lebih
dari 100 pemilihan setiap tahun, bahkan tahun 2013 terdapat 146 pilkada. Bisa
diduga, penduduk Indonesia di berbagai wilayah nyaris lima kali setahun
terlibat pemilihan pemimpin politik, baik presiden, gubernur, legislatif,
hingga bupati dan walikota.
Namun, di sisi lain, catatan harian saya
mencatat, tidak lebih lima tahun kemudian berbagai survei menunjukkan
pasca-2010 kepopuleran partai hingga DPR mengalami kemerosotan yang tajam.
Sebuah situasi jenuh politik muncul, bahkan bisa disebut kepenatan berpolitik
akibat politik ingar-bingar yang abai pada pelayanan rakyat serta dipenuhi
beragam konflik serta skandal. Yang lahir kemudian adalah sebuah diaspora
kerinduan ketokohan lokal yang memecahkan masalah rakyat, suka atau tidak
suka, bisa kita sebut sebagai diaspora Jokowi.
Sambil bersibuk makan ikan patin di warung
sudut Murung Raya, saya membuka kembali beberapa tulisan saya di kolom ini
berkait sumber daya alam negeri, melahirkan kesimpulan sekaligus pertanyaan:
Bukankah kemenangan sejarah diplomasi politik global negeri ini lebih pada
kekuatan sumber daya alam? Bukankah keselamatan ekonomi kita lebih pada
sumber daya alam kita yang terletak di kabupaten-kabupaten?
Saatnya diaspora Jokowi melahirkan
bupati-bupati antusias dan terampil memecahkan masalah lokal yang kini
senantiasa berdimensi global. Era 2014 agaknya menjadi era bupati, sebuah
moto baru perlu kita sodorkan: ”kabupaten-kabupaten yang sejahtera, Indonesia
yang sejahtera”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar