PROSPEK POLITIK
2014
“Destruktif Kreatif” demi Masa Depan
Ninok Leksono ; Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
Pengantar Redaksi
Harian Kompas menerbitkan edisi khusus bertema
”Tantangan Indonesia serta Prospek Politik dan Ekonomi 2014”. Laporan itu
bisa dibaca di halaman 33 hingga halaman 80. Penulisan laporan dilakukan
dengan pengumpulan informasi di lapangan, wawancara dengan sejumlah
narasumber, kajian dari Litbang Kompas, berbagai referensi lain, termasuk
curah pendapat dengan sejumlah ahli, dan diskusi panel ekonomi.
Curah pendapat dihadiri Menteri Kependudukan dan
Lingkungan Hidup 1983-1993 Emil Salim; ekonom dari Universitas Indonesia
(UI), Faisal Basri; Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta,
Pratikno; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris;
dan Pemimpin Redaksi Prisma Daniel Dhakidae.
Sementara itu panelis Diskusi Panel Ekonomi Kompas adalah
pengajar Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika; ekonom Bank
Danamon, Anton Gunawan; Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit;
Deputi VI Bidang Pengembangan Usaha dan Restrukturisasi Usaha Kementerian
Koperasi dan UKM Choirul Djamhari; pengajar Institut Pertanian Bogor, Dwi
Andreas; pengajar UI, Faisal Basri; perencana senior Bappenas, Hanan Nugroho;
dan pengajar ekonomi UGM, Yogyakarta, Sri Adiningsih. Sebagai moderator
adalah pengajar ekonomi manajemen UI, Rhenald Kasali.
—————————————————————————
”Masa
depan itu tak tertulis, tetapi bagaimana kita membayangkannya bisa
memengaruhi sikap dan perilaku kita saat ini, sebagaimana sejarah perorangan
dan kolektif bisa menentukan siapa kita dan bagaimana kita bertindak....”
(Richard
Watson, dalam Pengantar ”The Future-50 Ideas You Really Need to Know”,
Quercus, 2012)
SATU
dari 50 ide dalam buku ini adalah ”Demokrasi Digital”, yang menyebut tentang
”pemerintahan rakyat oleh rakyat”. Digitalisasi meniscayakan pemerintah perlu
mendengarkan warga lebih saksama lagi di masa depan karena akan ada lebih
banyak lagi pemilih yang bisa menyampaikan aspirasi politik tanpa harus
menjadi anggota partai.
Futuris Alvin Toffler menambahkan,
”Teknologi politik zaman industri bukan lagi teknologi yang pas untuk
peradaban baru yang kini sedang terbentuk di sekeliling kita. Politik kita
sudah ketinggalan zaman....”
Boleh jadi itu ide untuk masa
depan yang masih jauh. Namun, masa depan itu niscaya datang. Apa yang jadi
penggeraknya? Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, dalam
karyanya The Future(Random House, 2013), menyebut ada enam penggerak
perubahan global paling penting. Keenamnya tidak saja
konvergen—memusat—tetapi juga berinteraksi satu sama lain.
Tentu saja kita berkepentingan
merebut kembali kendali nasib kita dan membentuk masa depan. Menurut Al Gore,
yang dituntut adalah kemampuan menghadapi, antara lain, ekonomi global yang
makin saling terhubung dan munculnya jejaring komunikasi elektronik
berlingkup dunia yang menghubungkan pemikiran dan perasaan miliaran orang
(seperti halnya Facebook).
Respons belum memadai
Terhadap pelbagai prospek
perubahan yang ada sejauh ini, pemerintahan demi pemerintahan boleh jadi
telah memperlihatkan upaya untuk merespons.
Terakhir, pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, meluncurkan Komite Inovasi Nasional,
selain Komite Ekonomi Nasional, serta Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, banyak inisiatif baik yang
dalam perjalanannya tak mewujud nyata.
Penyebabnya adalah tersedotnya
sumber daya waktu, tenaga, dan pikiran pemerintah untuk urusan (survival)
politik, satu distraksi yang harus ditebus mahal dengan pupusnya peluang
membuat langkah-langkah besar.
Dengan energi yang banyak tersedot
untuk masalah politik ini, kinerja ekonomi tak bisa lebih optimal daripada
apa yang bisa dicapai sekarang. Selain kesenjangan—seperti diperlihatkan
indeks gini—yang membesar, ternyata fundamental ekonomi Indonesia tidak
sekokoh seperti yang banyak diklaim. Karena amat bergantung pada impor untuk
hampir sebagian besar kebutuhan, defisit perdagangan pun tak terelakkan.
Di tengah masa yang penuh
guncangan ini, fokus bangsa Indonesia setahun ke depan tak ayal lagi adalah
pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Dari luar, terkesan kita telah
cukup dewasa untuk mempraktikkan demokrasi.
Namun, di kalangan concerned
citizen (warga peduli) masih sering muncul argumen, yang kita jalankan
sejauh ini baru sampai pada demokrasi formal prosedural. Demokrasi yang
maslahat, di mana hasil pemilu legislatif ataupun pemilu presiden mampu
membawa bangsa pada lompatan kuantum kemajuan, ibaratnya masih menunggu
Godot.
Bayangan kemenangan golongan putih
(golput), bayangan masih akan terus berlanjutnya sistem politik
transaksional, dan hukum yang masih belum memuaskan penegakannya memang masih
jadi alasan bagi tumbuhnya pesimisme.
Jika di hari kemarin kita sering
mendengar wacana amputasi bagi elemen yang tidak berfungsi baik, kini kita
diingatkan kembali pada konsep creative destruction. Sebagaimana
dicetuskan ekonom Joseph Schumpeter dalam karyanya, Capitalism,
Socialism and Democracy (1942), destruksi kreatif meminta dilakukannya
”perubahan industri dengan terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari
dalam, menghancurkan yang lama, dan secara tanpa henti mencipta yang baru”.
Ada alasannya kalau penghancuran kreatif ini kita lakukan tidak saja untuk
ekonomi, tetapi juga untuk bidang politik dan hukum.
Mimpi dan PR-nya
Prediksi McKinsey (2012,
lihat Grafik) bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia
dalam kurun 1,5 dekade ke depan tentu saja membesarkan hati elite. Sama
seperti ketika media Barat menyebut Indonesia punya golden
chance untuk menjadi negara maju.
Namun, satu hal yang harus kita
sadari ketika kita mendengar kata ”prediksi” atau ”peluang” adalah bahwa di
dalamnya ada persyaratan. Alih-alih menjadi ekonomi nomor 7, gonjang-ganjing
yang ada sekarang ini, di tambah dengan faktor-faktor penggerak—atau bisa
juga disebut ”pengguncang”—seperti disebut dalam The Future-nya Al Gore,
mengandung potensi memelorotkan peringkat Indonesia.
Tentunya kita juga awas terhadap
faktor-faktor yang membuat satu negara lalu disebut sebagai negara gagal.
Pemikiran yang dikandung dalam buku Why Nations Fail karya Daron
Acemoglu dan James A Robinson (Crown Business, 2012) bisa menjadi satu acuan
untuk menjauhkan kita dari faktor-faktor yang menjadikan RI sebuah negara
gagal.
Satu hal yang juga tak disangsikan
lagi adalah bahwa menjadi ”ekonomi nomor 7” adalah mimpi yang harus
diwujudkan dengan kerja keras dan mentalitas baru. Kembali pada buku Why
Nations Fail, ternyata lembaga politik dan ekonomi buatan manusialah yang
jadi penentu penting bagi kesuksesan—atau sebaliknya kegagalan—ekonomi satu
negara.
Meminjam semangat High Level Panel
yang menyiapkan agenda pembangunan pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (MDG)
(2015), karakteristik pembangunan yang dianjurkan adalah ”berkelanjutan,
berkeadilan, dan ramah lingkungan”. Sejauh kita gagal membongkar kebiasaan
lama melalui creative destruction, agenda pasca-2015 pun akan sulit kita
capai, sebagaimana kita masih banyak kedodoran dalam upaya mencapai MDG.
Nyata sekali bahwa pekerjaan rumah
bangsa Indonesia, bukan hanya bagi presiden yang terpilih dalam Pemilu
Presiden 2014, amatlah banyak. Ini bukan musim semi yang indah, tetapi tetap
harus kita sambut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar