Otonomi
Desa Untuk Siapa?
Arif Novianto ; Asisten
Peneliti di Manajemen dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ilmu
Sosial & Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM)
|
HALUAN,
28 Desember 2013
Pada 18 Desember 2013
secara resmi Undang-Undang Desa disahkan oleh DPR RI. Didalam UU Desa ini
mengatur berbagai arahan untuk dijalankannya otonomi desa, yang mencakup
tentang pemberian 10% APBN untuk desa, sistem gaji tetap yang diterima oleh
perangkat desa termasuk BPD (Badan Permusyawarahan Desa), amanat dibentuknya
BUMDes dan jabatan 6 tahun kepada Kepala Desa serta dapat diteruskan selama 2
periode, atau maksimal selama 18 tahun kepemimpinan di Desa.
Latar
Belakang Otonomi Desa
Bila dicermati, proses
terbentuknya otonomi desa ini seperti apa yang terjadi pada peristiwa
reformasi 1998. Sistem sentralistik terpusat yang diterapkan oleh pemerintah
Orba, membuat gerak pusat ke daerah hanya berwujud gerak eksploitatif.
Sedangkan gerak dari daerah ke pusat hanya menjadi gerak membudak. Artinya
daerah-daerah hanya diperas oleh pemerintah pusat, sedangkan hubungan timbal
baliknya sangat timpang atau daerah hanya menerima sisa-sisa kue dari pusat.
Dan proses tersebut juga memunculkan kecenderungan korupsi sistemik yang
terjadi di pemerintah pusat, hingga terbentuknya oligarki politik.
Kenyataan tersebut kemudian
menjadi landasan terbentuknya otonomi daerah, yang mana berusa membalikan
kosmopolitanisme imperial menjadi micro-politic yang berbentuk otonomi daerah. Atau
transfer kekuasaan dari pusat ke daerah. Akan tetapi agenda otonomi daerah
yang sudah berjalan sekitar satu dasawarsa ini tak lebih sebagai transfer
tindakan koruptif dan penyelewengan dari pusat ke daerah. Sehingga, yang
dapat kita lihat sekarang ini adalah bagaimana munculnya raja-raja di
berbagai daerah.
Akibatnya, ‘kue-kue’
pembangunan tidak pernah sampai ke ranah terkecil di dalam pemerintahan yaitu
desa dan hanya berhenti di tataran elit-elit lokal. Sedangkan rakyat
hanya bisa mengigit jari, karena kehidupan mereka tak sedikitpun tersentuh
oleh tangan gaib mekanisme pasar yang diusung oleh pemerintah pusat dan
daerah melalui idiologi neoliberalisme.
Seperti sebuah roda yang
berputar atau terulang, kenyataan ketidakmampuan pemerintah daerah di dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, kemudian memunculkan wacana otonomi desa
yang baru saja disahkan oleh DPR RI sekarang. Dengan otonomi desa ini,
pemerintah desa yang sebelumnya hanya memiliki anggaran yang sangat kecil,
menjadi bergelimang anggaran.
Dari 10% APBN, maka
anggaran di setiap desa diperkirakan mencapai 600-750 juta setiap tahunnya.
Maka tidak mengherankan ketika banyak pihak yang meragukan keberhasilan dari
proses otonomi desa. Bahkan banyak yang menganggap bahwa otonomi desa ini
merupakan pengulangan dialektika otonomi daerah, atau lebih tepatnya merupakan
transfer tindakan koruptif di tingkat terbawah dari pemerintahan. Hingga
akhirnya akan menciptakan raja-raja kecil di tingkat lokal.
Kemana
Kue Otonomi Desa?
Pelaksanakan otonomi desa
memang belum benar-benar dilaksanakan. Akan tetapi kita tak dapat menghindar
dari analisa strukturalis untuk melihat masa depan pelaksanakan otonomi desa
ini secara lebih mendalam. Kerangka basis super-struktur adalah bagian
terpenting dari arah gerak implementasi UU Desa ini nantinya.
Artinya, proses dari
implementasi otonomi desa ini tidak berada di ruang hampa, akan tetapi pasti
dipengaruhi oleh keadaan yang diatasnya, yaitu di level pemerintah pusat dan
rezim global (kekuatan bisnis). Idiologi neoliberalisme yang diemban oleh
pemerintah pusat selama ini dengan piranti pasar bebas yang dibangun melalui
proses privatisasi, deregulasi dan liberalisasi sebagaimana yang diamanatkan
oleh Konsesus Washington, membuat proses kanibalisme pasar menjadi hukum
rimba. Dan rakyat kecil sudah pasti akan menjadi korbannya.
Belajar dari pelaksanaan
otonomi daerah, maka proses otonomi desa ini juga pasti akan terjerat di
dalam kerangkeng neoliberal. Hal tersebut membuat desa, tak lebih sebagai
ruang-ruang baru bagi proses akumulasi kapital yang menjadi rebutan kekuatan
bisnis. Proses evolusi politik dari neoliberal sangat sejalan dengan otonomi
desa ini, dengan mengakrabkan masyarakat di level bawah dengan idiologi
pasar-liberal sebagai mana analisis dari pasca-konsesus Washington.
Pembangunan yang
dijalankan di desa ini pun pasti lebih mengutamakan pembangunan berbentuk
fisik, seperti jembatan, gapura, jalan raya, dan gedung-gedung. Disanalah
nantinya kekuatan bisnis bermain. Sedangkan pembangunan basis sosial-ekonomi
masyarakat diabaikan, yang kemudian hanya menciptakan kelembagaan sosial
yang anti-politik.
Akibatnya terjadi proses
hukum rimba ditataran politik desa, yang kemudian menciptakan oligarki di
tingkat desa atau raja-raja kecil di desa. Sehingga kecenderungannya kue-kue
pembangunan pun sekali lagi berhenti di tataran elit-elit desa. Sedangkan
rakyat kecil hanya menjadi penonton. Maka, hal tersebut memiliki tendensi
terciptanya berbagai konflik komunal di masyarakat.
Melihat otonomi desa di
dalam analisa strukturalis, yang dimana kekuatan neoliberalisme telah menghegemoni
sekarang ini, membuat kue-kue dari otonomi desa ini hanya menjadi bancakan
elit-elit lokal dan kekuatan bisnis di dalamnya. Artinya otonomi desa ini
tak lebih hanya milik segelintir orang saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar