PROSPEK POLITIK
2014
Presidensialisme Masih Tetap Setengah Hati…
Tri Agung Kristanto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
DALAM
sebuah perbincangan dengan ”Kompas”, Kamis (17/10), di Jakarta, mantan Wakil
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat BRAy Moeryati Soedibyo mempertanyakan
keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penentuan Kepala Polri. ”Penentuan
Kepala Polri adalah hak prerogatif Presiden,” katanya.
Moeryati, yang juga pengusaha jamu
dan kosmetik di negeri ini, tak mempersoalkan sosok Komisaris Jenderal
Sutarman yang menjadi calon tunggal Kepala Polri untuk menggantikan Jenderal
(Pol) Timur Pradopo yang segera purnatugas. Namun, ia kembali mempertanyakan
”campur tangan” parlemen yang terlalu jauh dalam kewenangan eksekutif yang
dijalankan presiden. Jabatan Kepala Polri yang tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan jabatan seorang menteri semestinya menjadi kewenangan
presiden secara mutlak.
Sikap parlemen yang mencampuri
pemilihan Kepala Polri, juga Panglima TNI, secara legalistik tidak ada yang
salah. Wakil rakyat itu memiliki dasar hukum, yaitu sesuai Pasal 11
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri), pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dilakukan
Presiden atas persetujuan DPR. Pasal 13 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan, Presiden memberhentikan dan
mengangkat Panglima TNI setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
Padahal, UUD 1945 termasuk
perubahannya tidak mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dan
Panglima TNI. Bahkan, jika direnungkan, kebijakan pemberhentian dan
pengangkatan Kepala Polri dan Panglima TNI itu harus sepertujuan DPR, bukan
hanya menggerogoti makna presidensialisme yang digunakan dalam sistem
pemerintahan di negeri ini, melainkan tidak sejalan dengan konstitusi. Pasal
10 UUD 1945 menyatakan, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pasal 4 Ayat (1) menyatakan,
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan UUD. Presiden
juga bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, dan pertahanan negara, yang
dijalankan TNI dan Polri. Jabatan Panglima TNI dan Kepala Polri selama ini tidak
lebih tinggi dibandingkan menteri atau pemimpin lembaga negara lainnya. Dalam
Pasal 17 UUD 1945 ditegaskan, pengangkatan atau pemberhentian seorang menteri
merupakan hak penuh presiden.
Kerancuan pelaksanaan sistem
presidensial dalam pemerintahan di negeri ini, jika mengacu pada UUD 1945
setelah perubahan pertama hingga keempat, kian nyata dengan memperhatikan
Pasal 13. Konstitusi hasil perubahan itu menyatakan, presiden berhak
mengangkat duta dan konsul. Untuk mengangkat duta, presiden diminta memperhatikan
pertimbangan dari parlemen. Bahkan, untuk menerima penempatan duta dari
negara lain, presiden juga harus memperhatikan pertimbangan Dewan.
Selama ini untuk menetapkan
seseorang menjadi duta, presiden selalu meminta pertimbangan DPR. Nama calon
kepala perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di luar negeri
ini diserahkan kepada parlemen, dan digelar fit and proper
test (uji kelayakan dan kepatutan). Presiden terkesan menerima saja
pertimbangan, bahkan penolakan yang diajukan parlemen.
Sebaliknya, ketika menerima
penempatan duta dari negara sahabat, presiden tak pernah meminta pertimbangan
dari DPR. Parlemen pun selama ini terkesan tak memedulikan hak yang diberikan
konstitusi itu meskipun tidak berjalan semestinya. Kondisi ini berlangsung hingga
saat ini, dan mungkin juga di masa mendatang, karena DPR dan presiden seperti
tidak memedulikan ketentuan dalam Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945, yang perubahan
pada bagian ini disetujui pada tahun 2001.
Padahal, jelas jika mengacu pada
Pasal 20A UUD 1945, hasil perubahan tahun 2002, fungsi DPR menyangkut tiga
hal, yaitu bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Parlemen memiliki pula
hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Setiap anggota Dewan
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta
hak imunitas.
Pertanyaannya, memberikan
pertimbangan saat presiden akan menetapkan Kepala Polri, Panglima TNI, duta,
dan menerima duta dari negara sahabat itu termasuk fungsi DPR yang mana?
Kerancuan presidensialisme ini tampaknya masih akan berlanjut sebab sampai
hari ini tak muncul usulan untuk mengubah konstitusi atau merevisinya. Usulan
yang sering kali didengungkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih mengacu
pada perubahan konstitusi untuk memperkuat keberadaan DPD dan bukan untuk
mengkaji kembali konstitusi hasil perubahan.
Multipartai, presiden terjepit
Pelaksanaan presidensialisme yang
kokoh, bahkan terasa kebablasan, karena presiden menjadi pusat segala
kekuasaan, seperti yang diperlihatkan Orde Baru, kini makin tergerus. Sikap
pembuat UU (Dasar) pun tidak jelas sebab tetap mempertahankan sistem
presidensial, tetapi sekaligus melemahkannya. Presiden yang semestinya lebih
kuat kedudukannya, sebab dipilih langsung oleh rakyat dan bukan lagi
mandataris MPR, kian terbelenggu dalam sistem multipartai yang disepakati
pengelola negara ini.
Hanta Yuda AR dalam
bukunya Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke
Kompromi (Gramedia Pustaka Utama, 2007), menyebutkan, kondisi sistem
pemerintahan di Indonesia saat ini adalah presidensialisme reduktif (setengah
hati). Prinsip sistem presidensial direduksi dalam konstitusi.
Presidensialisme reduktif juga disebutnya sebagai soft
presidentialism atau weak president.
Struktur politik kepartaian tidak
kondusif bagi sistem presidensial multipartai ekstrem dan terfragmentasi.
Dalam sembilan tahun terakhir, presidensialisme yang setengah hati itu kian
menunjukkan wajahnya yang lemah sebab presiden lebih sering memosisikan
dirinya atau diposisikan terjepit dalam pertarungan partai politik di parlemen
ataupun di masyarakat.
Misalnya, dalam menyusun kabinet
pun Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih mayoritas rakyat negeri ini
terlihat tidak mandiri. Parpol menjepitnya dalam pusaran kepentingannya
masing-masing, baik pada periode pertama maupun kedua. Padahal, parpol yang
berkoalisi mendukung pemerintahannya tidak selalu solid.
Kebijakan yang diambil Presiden,
seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, bukan hanya
dikritisi sejumlah partai pendukungnya, tetapi juga secara terbuka ditolak di
DPR. Kegaduhan antarpartai pendukung pemerintah sering kali terjadi dan
membingungkan rakyat. Presiden seperti tak mampu berbuat apa-apa, termasuk
menghukum partai anggota koalisi yang tegas melawan kebijakan yang dibuatnya.
Dalam presidensialisme setengah
hati, presiden memang lemah bukan hanya di parlemen, melainkan juga di
tingkat pertarungan wacana di masyarakat. Kondisi itulah yang
setidak-tidaknya tergambar dalam sembilan tahun terakhir.
Padahal, panggung politik masih
bisa direbut. Sekalipun sudah memerintah dalam sistem presidensial yang
setengah hati, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang berbagi
masa pemerintahan tidaklah mencerminkan lemahnya presidensialisme di negeri
ini. Kritik terhadap sistem pemerintahan yang timpang masih sering
dilontarkan. Pendulum kekuasaan di negeri ini semenjak masa reformasi memang
lebih mengarah ke parlemen sekalipun Indonesia tidak menganut sistem
parlementer.
Rektor Universitas Paramadina,
Jakarta, Anies Baswedan dalam pengantar buku karya Hanta Yuda AR, menuliskan,
sistem berdemokrasi kita belum sempurna. Optimisme untuk membangun dan
memperbaiki kondisi itu tetap harus terus dihidupkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar