Transformasi
Sistemik Indonesia 2014
Masyarakat
Sipil sebagai Katup Pengaman
M Hernowo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember 2013
MASYARAKAT sipil. Itulah jawaban
yang muncul jika ditanya siapa pembuat tonggak-tonggak besar bangsa
Indonesia? Pancasila, UUD 1945, dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan
visi dan produk masyarakat sipil.
Masyarakat politik biasanya hanya
pengambil manfaat dari gerakan yang dimulai masyarakat sipil, seperti
terlihat dari gerakan Reformasi 1998 yang awalnya dimulai masyarakat sipil.
Sejarah Indonesia juga melahirkan
banyak tokoh yang menjadi mercusuar masyarakat sipil. Kebesaran Presiden
Abdurrahman Wahid yang bergema sampai sekarang lebih merupakan buah kiprahnya
di masyarakat sipil, bukan masyarakat politik.
Gerakan masyarakat sipil memiliki
dua ciri, yaitu kesukarelaan dan tak punya kepentingan langsung dengan
kekuasaan politik. Indische Partij yang berdiri Desember 1912 sebagai partai
politik pertama di Hindia Belanda, esensi sebenarnya adalah gerakan masyarakat
sipil.
Perserikatan Nasional Indonesia
yang didirikan Soekarno pada 4 Juli 1927, dan kemudian menjadi Partai
Nasional Indonesia, juga lebih pas sebagai gerakan masyarakat sipil.
Kondisi sebaliknya terjadi saat
ini. Sejumlah organisasi massa yang menyatakan diri gerakan masyarakat sipil
sebenarnya lebih menunjukkan ciri gerakan masyarakat politik, bahkan menjadi
bagian dari parpol. Hal ini terjadi karena kuatnya intensitas politik ormas
tersebut.
Dugaan munculnya kekuatan uang
dalam pemilihan pimpinan beberapa ormas menjadi tanda lain matinya aspek
kesukarelaan gerakan masyarakat sipil, digantikan dengan kepentingan.
Jadi, jika pada awal berdirinya
Republik Indonesia banyak parpol yang esensinya masyarakat sipil, sekarang
ada banyak organisasi massa tetapi esensinya gerakan masyarakat politik.
Gagal bertransformasi
Erosi gerakan masyarakat sipil
menjadi masyarakat politik menjadi kerugian dan kejatuhan terbesar masyarakat
sipil setelah era Orde Baru. Gerakan masyarakat sipil, yang awalnya merupakan
lokomotif perubahan politik, pelan-pelan mengalami pembusukan karena pudarnya
aspek kesukarelaan dan kuatnya motif terhadap kekuasaan.
Kapitalisasi dunia pendidikan
menjadi salah satu sebab mundurnya gerakan masyarakat sipil. Cirinya,
perguruan tinggi menerima ribuan mahasiswa dalam satu angkatan. Uang
membanjir masuk ke universitas dengan biaya kuliah tiap semester mencapai
belasan juta rupiah.
Kondisi itu membuat suara kritis
mahasiswa sebagai bagian dari sikap kritis masyarakat makin jarang terdengar.
Kampus cenderung diisi mahasiswa dari kelompok ekonomi menengah atas yang
umumnya tak melihat ada masalah dalam hidupnya.
Keadaan diperparah kedangkalan dan
etos manajerial yang tak memberikan tempat terhadap hal-hal bersifat
filosofis. Akibatnya, proses bukan yang utama. Kurikulum mendorong kompetensi
dengan menghilangkan dimensi integritas. Intinya, mahasiswa hanya didorong
secepat mungkin menyelesaikan kuliah.
Transformasi demokrasi Indonesia
yang mengandung anomali ikut memicu erosi gerakan masyarakat sipil. Biasanya,
liberalisasi ekonomi diiringi menyempitnya peran negara hingga kebebasan
pasar terbuka lebih lebar. Namun, hal itu tak terjadi di Indonesia.
Komisi independen
Pembentukan sejumlah komisi negara
independen era reformasi membuat sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil
masuk di dalamnya dan sekaligus menjadikan beban dan cakupan negara meluas.
Hal-hal yang sebelumnya merupakan lahan masyarakat sipil diambil alih negara.
Fenomena ini antara lain terjadi dalam pengelolaan zakat yang sebelumnya
menjadi urusan masyarakat. Saat ini sedang dibuat undang-undang tentang zakat
dan Kementerian Agama menjadi pengelolanya.
Pemilihan komisioner komisi negara
umumnya juga dilakukan berdasarkan aplikasi. Ini membuat pegiat gerakan
masyarakat sipil yang masuk di dalamnya sejak awal diposisikan di bawah
kekuatan politik. Mereka yang terpilih juga belum tentu calon terbaik.
Idealnya, komisioner komisi negara dipilih berdasarkan nominasi, bukan
aplikasi.
Negara seharusnya memberdayakan
melalui kebijakan negara. Untuk mengembangkan gerakan masyarakat sipil di
Australia, misalnya, perusahaan yang menyumbang gerakan masyarakat sipil
mendapat insentif pengurangan pajak.
Indonesia Corruption Watch menjadi
contoh pemberdayaan gerakan masyarakat sipil yang konsisten. ICW yang awalnya
merupakan kelompok kecil terus diperkuat dan membuktikan prestasinya. Kini,
ICW menjadi mitra sejumlah komisi negara antara lain dalam mendeteksi rekam
jejak calon anggota komisi atau pejabat tertentu.
Pemberdayaan gerakan masyarakat
sipil dibutuhkan karena akan berfungsi sebagai katup pengaman ketika negara
tidak dapat maksimal menjalani perannya. Masalahnya, yang dikerjakan negara
cenderung bukan pemberdayaan. Lalu, siapa yang jadi katup pengaman negara? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar