Menata
Sistem Perdagangan Kembali ke Jati Diri
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
30 Desember 2013
DEKLARASI
Djuanda, 13 Desember 1957, menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan
garis pantai 95.181 kilometer, terpanjang keempat di dunia, gugusan 17.500
pulau membentuk zamrud khatulistiwa. Dengan laut hampir dua pertiga
keseluruhan wilayah Indonesia seluas 5,2 juta kilometer persegi, sungguh
lautlah yang merajut pulau-pulau itu menjadi negara kesatuan maritim
Indonesia. Laut bukan penghambat sehingga harus dibangun jembatan untuk
menghubungkan dua pulau besar.
Rencana
pembangunan Jembatan Selat Sunda bukti nyata bahwa pemerintah melawan kodrat.
Jembatan Selat Sunda bakal memperkokoh dominasi transportasi darat yang
membuat ongkos logistik di Indonesia tergolong paling mahal di dunia.
Berdasarkan kajian Bank Dunia (2013), ongkos logistik di Indonesia 27 persen
produk domestik bruto (PDB), jauh lebih tinggi ketimbang Singapura sebesar 8
persen, Malaysia 13 persen, Thailand 20 persen, dan bahkan lebih tinggi
ketimbang Vietnam yang 25 persen PDB. Hampir separuh ongkos logistik di
Indonesia disedot ongkos transportasi.
Buruknya
sarana pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya tecermin dari kemerosotan
tajam unsur infrastruktur dalam logistics performance index (LPI) Indonesia dari urutan
ke-69 tahun 2010 menjadi ke-84 tahun 2012. Padahal, untuk kurun waktu yang
sama, unsur lainnya, kecuali customs,
telah menunjukkan perbaikan berarti. Misalnya, timeliness dari ke-69 menjadi ke-41, logistics
quality and competence dari
ke-92 menjadi ke-61, tracking and tracing dari ke-80 menjadi ke-51, dan international shipments dari ke-80 menjadi ke-57. Kondisi
infrastruktur yang kedodoran inilah yang membuat LPI keseluruhan Indonesia
tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga di luar Kamboja, Laos, dan
Myanmar. Indonesia juga kalah jauh dibandingkan dengan negara Brasil, Rusia,
India, dan China (BRIC).
Sepanjang
kebijakan pemerintah tidak mengacu pada jati diri bangsa dan persoalan
logistik yang di hulu tidak serius ditangani, pembenahan di hilir akan sangat
bersifat tambal sulam dan ad
hoc. Contoh paling mutakhir adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang ditetapkan 12 Desember
2013. Peraturan ini merupakan pengganti dari peraturan serupa yang ditetapkan
tahun 2008. Persoalan yang sangat strategis untuk menciptakan perekonomian yang
efisien, yaitu menjadikan produk dalam negeri menjadi tuan di negerinya
sendiri dan berdaya saing, menciptakan iklim persaingan yang sehat dan
berkeadilan (level the playing field),
serta melindungi kedaulatan konsumen, sangat tidak memadai kalau diatur
sekadar dengan ketetapan menteri. Itulah akibat dari belum hadirnya
undang-undang perdagangan yang sudah sekitar satu dasawarsa dipersiapkan.
Tidak
heran kalau isi Peraturan Menteri Perdagangan yang baru ditetapkan itu lebih
banyak bersifat normatif dan mengambang. Terkait jumlah gerai toko modern
yang boleh dimiliki sendiri oleh pelaku usaha, Pasal 16 Ayat 1 menyatakan
paling banyak 150 gerai, sedangkan Pasal 3 Ayat 1 menyatakan jumlah segala
bentuk perdagangan eceran dan pengaturan lokasinya ditetapkan pemerintah
daerah setempat. Banyak lagi isi peraturan yang sebenarnya sudah nyata-nyata
merupakan domain pemerintah daerah sehingga tak perlu lagi diurusi
Kementerian Perdagangan.
Terkandung
maksud pula dalam peraturan itu membatasi barang impor, dengan mewajibkan
pusat perbelanjaan dan toko modern menyediakan barang dagangan produksi dalam
negeri paling sedikit 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang
diperdagangkan (Pasal 22 Ayat 1) dan harus mengutamakan yang dihasilkan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) (Pasal 17 Ayat 1). Namun, tekad itu
tampaknya setengah hati karena ada embel-embel ”sepanjang memenuhi
persyaratan yang ditetapkan toko modern”. Kewajiban 80 persen produksi dalam
negeri juga bisa ditawar setelah mempertimbangkan rekomendasi dari forum
pemangku kepentingan yang akan dibentuk.
Peraturan
Menteri Perdagangan ini yang hampir pasti menambah panjang persyaratan yang
tak perlu dan justru menambah ketidakpastian berusaha, seraya diragukan
keefektifannya memberdayakan UMKM serta menjadikan produksi dalam negeri
menjadi tuan di negerinya sendiri. Bagaimana mungkin barang dalam negeri yang
dihasilkan UMKM bisa berjaya di pasar domestik kalau per Desember 2012 hanya
7.561 produk yang mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan berstatus
SNI aktif. Paling banter barang lokal yang merajai pasar eceran adalah yang
diproduksi perusahaan nasional besar dan korporasi transnasional. Kebanyakan
mereka memiliki sistem logistik modern sehingga mampu menyiasati buruknya
sistem logistik nasional. Mayoritas UMKM harus berjibaku menekan ongkos
logistik dan ongkos produksi karena tidak memiliki keekonomian skala (economies of scale).
Syukurlah
terselip dalam Peraturan Menteri Perdagangan terbaru ini pengaturan yang
melindungi pemasok, khususnya pelaku UMKM. Persoalan yang selama ini kerap
dikeluhkan pemasok kecil antara lain adalah persyaratan perdagangan (trading terms), seperti mekanisme
pembayaran, biaya promosi, rabat, dan pembebasan listing
fee khusus untuk UMKM.
Pengaturan itu sepatutnya terpatri dalam undang-undang perdagangan sehingga
memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Yang paling penting, undang-undang
perdagangan nanti mampu mengintegrasikan perekonomian domestik dengan
mengedepankan visi maritim sehingga seluruh sumber daya yang kita miliki
betul-betul bersinergi menghasilkan struktur pengusaha yang kokoh dan
konsumen yang berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar