Korupsi
dan Efektivitas Pemerintahan
Bambang Soesatyo ; Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 30 Desember 2013
Banyak
kursi dalam gerbong kepala daerah (KDH) dan wakil kepala daerah (WKDH) sering
berganti penumpang di tengah jalan. Jumlah KDH dan WKDH yang bermasalah
dengan hukum terus bertambah.
Fakta ini mengindikasikan dua kecenderungan yang meresahkan; tak hanya menggambarkan maraknya korupsi di daerah, tetapi juga merefleksikan turunnya efektivitas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Wakil Presiden Boediono. Kurang lebih 10 bulan ke depan sejak Desember 2013 ini, tepatnya Oktober 2014, Kabinet Indonesia Bersatu-II bakal demisioner. Dalam rentang waktu yang relatif pendek itu, tak banyak yang bisa diperbuat SBY-Boediono untuk memperbaiki efektivitas pemerintahan. Soalnya, fokus kedua pemimpin pun terpecah karena terus didera isu mega skandal Bank Century dan kasus korupsi lain yang diduga melibatkan keluarga Presiden. Berita tentang langkah Presiden menunjuk pengacara khusus untuk melindungi keluarganya dari fitnah sudah cukup menggambarkan gejolak batin Presiden saat ini. Kasus suap impor daging sapi, kasus Hambalang, dan kasus suap mantan kepala SKK Migas jelas membuat Presiden tidak nyaman. Bunda Putri dan Sengman Tjahya “menjual” kedekatan mereka dengan Presiden dan keluarga untuk mendapatkan tambahan kuota impor daging sapi. Sedangkan saksi untuk kasus Hambalang dan kasus suap SKK Migas menyebutnyebut nama anak Presiden. Citra ibu negara pun sempat terganggu oleh pemberitaan yang bersumber dari kebocoran dokumen hasil penyadapan intelijen Australia yang diperoleh Wikileaks. Lalu, entah bagaimana SBY menyikapi keterangan pers Wapres Boediono soal gelembung dana talangan Bank Century yang tak jelas pertanggungjawabannya itu. Dengan menunjuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai penanggung jawab gelembung dana talangan, sama artinya Boediono menarik SBY ke dalam pusaran kasus Bank Century karena LPS bertanggung jawab kepada Presiden. Sayang, publik seperti menunggu godot karena Presiden tak kunjung merespons masalah ini. Curiga publik pun menguat sebab luar biasa aneh jika administrasi pemerintahan SBY Boediono tak berani dan tak mampu menyuarakan pertanggungjawaban mereka atas penggunaan dana LPS itu. Karena itu, dalam rentang waktu sisa pengabdian mereka yang 10 bulan itu jelas bahwa kedua pemimpin akan terus diganggu masalah ini. Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk kasus Bank Century akan terus menuntut pertanggungjawaban itu. DPR berpendirian bahwa kasus ini harus dituntaskan agar tidak menjadi preseden. Sekarang dan kemudian hari para pemimpin harus menyadari bahwa kekuasaan tak boleh dilaksanakan semenamena. Setiap pemimpin publik boleh merumuskan dan menetapkan kebijakan sesuai wewenang yang melekat kepadanya, tetapi kebijakan itu tetap harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat dengan parameter yang jelas dan masuk akal serta minus rekayasa. Boediono boleh saja menolak memenuhi panggilan Timwas DPR. Tetapi, bisa dipastikan bahwa proses untuk mempersoalkan kasus ini tidak berhenti pada penolakan Boediono. Saat dana talangan Century dicairkan, dia menjabat gubernur Bank Indonesia dan anggota Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK). Dengan dua jabatan itu, dia otomatis tidak bisa cuci tangan begitu saja dari kasus gelembung dana talangan. Argumentasinya sederhana: LPS melaksanakan mandat KSSK. Sebagai anggota KSSK, Boediono harus ikut bertanggung jawab jika terjadi gelembung dana talangan. Kalau pada level pemerintahan pusat marak dengan berita berbau korupsi dan manipulasi, kecenderungan yang sama juga terjadi di tingkat daerah. September 2013 pejabat pada Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengungkapkan bahwa jumlah pejabat pada level pimpinan daerah yang bermasalah dengan hukum sudah mencapai 304 pejabat. Ini bukan jumlah yang kecil. Kecenderungannya terus bertambah karena pada Mei 2013 baru berjumlah 291 pejabat yang bermasalah. Autopilot Pejabat daerah yang bermasalah dengan hukum meliputi 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota. Dengan penahanan gubernur Banten oleh KPK, berarti sudah 22 gubernur yang bermasalah dengan hukum. Sementara dari Nusa Tenggara Timur diberitakan bahwa wali kota Kupang periode 2007-2012 ditahan oleh kejaksaan setempat karena diduga terlibat korupsi dalam proyek pendidikan. Di Jawa Tengah, Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) setempat mencatat setidaknya empat bupati (aktif), seorang wali kota, dan seorang wakil bupati harus berurusan dengan penegak hukum karena diduga terlibat kasus korupsi. Di provinsi ini lima mantan bupati dan dua mantan wali kota juga bernasib sama. Kalau semua kasus terungkap, korupsi di daerah pun tak kalah maraknya dengan di pusat. Banyak pejabat daerah lebih berani melakukan tindak pidana korupsi karena pejabat pemerintah pusat di Jakarta memberikan contoh perilaku korup itu. Kecenderungan ini marak karena pejabat daerah “harus” memberi upeti kepada pejabat di pusat agar proyek yang dibutuhkan daerahnya bisa lolos dalam pembahasan anggaran di Jakarta. Itu sebabnya, pejabat daerah—atau utusan mereka—harus terbang ke Jakarta untuk melakukan lobi sambil memberi upeti. Praktik wajib memberi upeti kepada oknum di pusat ini menjadi semacam pembelajaran bagi pejabat di daerah. Melihat bahwa pejabat di pusat begitu leluasa melakukan korupsi, pejabat di daerah pun mencari caranya sendiri untuk bisa memanipulasi anggaran daerahnya. Dengan ratusan pimpinan daerah harus meninggalkan ruang kerjanya untuk menjalani proses hukum, apakah pemerintahan bisa berjalan efektif? Omong kosong kalau ada klaim bahwa pemerintahan berjalan normal. Manajemen pemerintahan akan mengalami guncangan hebat jika kepala pemerintahannya berstatus tersangka, apalagi ditahan. Sekalipun ada WKDH, tetap saja butuh waktu tidak sedikit untuk melakukan konsolidasi memulihkan pemerintahan. Kalau terjadi pergantian karena diangkat pejabat KDH yang baru, proses memulihkan pemerintahan tidak selalu berjalan mulus. Pejabat baru pasti ingin bersih-bersih dulu dengan cara menunjuk orang-orang kepercayaan baru. Prinsip otonomi daerah bahkan sering membuat persoalan menjadi bertambah rumit. Pemerintah pusat cenderung lambat bertindak atau merespons masalah dengan alasan otonomi daerah. Kelambanan ini justru sering mengeskalasi persoalan di daerah. Kalau persoalannya tereskalasi, bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan normal? Menyoroti persoalan yang membelenggu pemerintahan di sejumlah daerah tidak berarti pemerintah pusat boleh lepas tangan karena alasan otonomi tadi. Peran pemerintah pusat itu komprehensif sehingga juga harus bertanggung jawab mewujudkan stabilitas dan kualitas pemerintahan daerah. Akhirnya, karena kecenderungan di pusat dan puluhan daerah hampir sama, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa efektivitas pemerintahan SBY-Boediono terus menurun. Ini sudah menjadi persepsi publik sehingga memunculkan guyonan tentang Indonesia sebagai negara autopilot alias negeri tanpa pemimpin. Guyonan ini ingin memberi pesan kepada pemerintah bahwa negara dan rakyat bisa mengatasi persoalannya sendiri tanpa kepemimpinan atau peran pemerintah. Negeri ini telah terkecoh oleh pencitraan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar