2013
: Tahun Prihatin
Heri Priyatmoko ; Sejarawan Kota Solo
|
TEMPO.CO,
27 Desember 2013
Tahun 2013 berikut peristiwa yang terjadi akan segera
meninggalkan kita. Pasti sejumlah peristiwa pada warsa 2013 ada yang kita
ingat. Dalam konteks peristiwa kenegaraan, justru yang saya ingat adalah
setiap kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato ataupun memberi
komentar, sering mengeluarkan kata "prihatin". Kata ini telah
menjadi bahan olok-olokan publik lewat Facebook dan Twitter. Di media sosial,
publik tanpa tedeng aling-aling menilai bahwa Presiden hanya menyodorkan kata
"prihatin" sebagai bentuk tanggapan spontan, kemudian tanpa diikuti
tindakan tegas dalam menyelesaikan persoalan.
Tanpa kita sadari, selama ini ada proses distorsi makna atau penunggalan arti pada kata tersebut. Kita telanjur memaknai kata "prihatin" pada satu arti saja. Yaitu, sedih hati yang mendalam (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan mengingat akan nasibnya) seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia garapan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI keluaran tahun 1988 (poin 1, hlm. 701). Arti kedua dari kata "prihatin", yakni berusaha dengan sungguh-sungguh supaya tercapai maksudnya. "Prihatin" dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa memiliki pengertian sebagai laku, tindakan, bukan sebatas ungkapan rasa terhadap sebuah kejadian yang mengetuk hati iba dan sedih. Baiklah, di sini saya kutipkan penjelasan jurnalis cum pemerhati budaya Jawa, Marbangun Hardjowirogo, dalam Manusia Jawa (1984). Lelaki kelahiran Kota Solo ini membeberkan ciri-ciri wong Jawa, salah satunya suka mbantingraga atau prihatin. Demi meraih sesuatu yang diangankan, orang Jawa bersedia berlaku prihatin, misalnya dengan puasa Senin dan Kamis. Prihatin juga merupakan semacam latihan lahiriah serta batiniah yang diyakini mampu membuat setiap penghayatnya siap menghadapi segala kemungkinan yang menimpa dirinya, baik menyedihkan maupun menggembirakan. Lelaku prihatin bukanlah sesuatu yang sama sekali tak berguna sebagaimana yang sering dicemoohkan di dalam kehidupan modern dan dipandang tak sesuai dengan zaman lagi, lantaran dianggap menyiksa raga dan takhayul. Jangan salah, pengertian prihatin sebagaimana dipahami masyarakat Jawa justru dikenalkan dan hendak diterapkan secara nasional oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI lewat karya bertajuk Ksatrya karangan Ki Tjokro (1956). Pemerintah pusat kala itu sadar betul bahwa esensi dari laku prihatin adalah menahan hawa nafsu, menjadikan manusia penyabar, belajar mengendalikan emosi agar tidak menjadi manusia pemarah serta culas. Hati bersih seputih kapas yang diperoleh dari usaha prihatin adalah modal moral agar orang kelak tidak tega merampok kekayaan negara. Dengan begitu, ketika dia melihat banyaknya kaum fakir miskin yang butuh uluran tangan, hatinya segera terketuk untuk berbagi. Tidak salah apabila pemerintah mencomot salah satu kearifan lokal Jawa ini untuk dikenalkan dan diterapkan kepada manusia Indonesia modern. Sayang, makna hakiki dari kata "prihatin" yang sebenarnya dapat membentengi manusia Indonesia dari tindakan negatif dan merugikan bangsa, malah tenggelam seiring kerap dipakainya kata "prihatin" dengan makna pertama untuk pidato dan komentar pimpinan negara. Dan, juga saat masyarakat berkelakar merespons pidato itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar