Sabtu, 28 Desember 2013

Keterbukaan Kita

Keterbukaan Kita

Wahyu Dhyatmika  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  28 Desember 2013
  


Pada akhir Oktober lalu, pemerintah Indonesia mendapat giliran menjadi Ketua "Open Government Partnership" untuk setahun ke depan. Dalam proses serah-terima dari Perdana Menteri Inggris David Cameron di London, Wakil Presiden Boediono menegaskan kesiapan Indonesia memimpin lebih dari 60 negara dalam inisiatif keterbukaan global tersebut. 

Dalam pidatonya ketika itu, secara khusus Boediono menyebut aplikasi Lapor! di www.lapor.ukp.go.id sebagai salah satu contoh terobosan dalam membuka ruang selebar-lebarnya bagi partisipasi dan kontribusi warga negara dalam pemantauan kinerja pemerintah.

Melalui aplikasi yang bisa diunduh di telepon genggam Android ataupun BlackBerry itu, setiap warga Indonesia bisa menyalurkan keluh-kesah, sumpah serapah, dan kekecewaan mengenai buruknya pelayanan publik kepada lembaga negara yang berwenang. Laporan  bisa via SMS atau e-mail, dan wajib direspons dalam sepuluh hari kerja.

Program semacam ini tentu patut diapresiasi. Sayangnya, upaya Indonesia menuju pemerintahan terbuka masih jauh dari memuaskan. Contoh sederhana: program Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) guna menyatukan semua informasi pelayanan publik pemerintah dalam satu situs terpadu di www.satulayanan.net masih tersendat. Banyak kementerian dan lembaga belum sepenuhnya memberikan informasi yang dibutuhkan publik.  

Tak hanya itu. Sejumlah rencana aksi pemerintah di bidang keterbukaan, seperti memberi akses pada publik untuk memantau kemajuan penanganan perkara kriminal di Mabes Polri, membuka informasi soal lika-liku proses perizinan di Badan Pertanahan Nasional, sampai mengumumkan angka-angka di APBN, termasuk detail nilai rupiah proyek-proyek semua kementerian, juga tersendat. 


Implementasi semangat keterbukaan yang setengah hati ini memberi kesan bahwa program "Open Government" di Indonesia masih dipaksakan dari atas. Para pelaksana di tingkat kementerian/lembaga tampaknya belum menyadari apa urgensi dari program buka-bukaan ini.  

Di tingkat pemerintah daerah, situasinya tak lebih baik. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), awal Desember lalu, merilis temuan mereka soal keterbukaan informasi anggaran yang sungguh mengejutkan. "Bagi banyak pemerintah kabupaten, mengumumkan anggaran adalah hal tabu," kata Maulana, koordinator Advokasi Fitra, dalam konferensi pers. 


Ini semua membuktikan rendahnya kesadaran aparatur negeri ini  untuk berbagi informasi dengan warga negara. Mereka tak paham bahwa keterbukaan informasi adalah hak mendasar warga negara. Yang tak kalah penting adalah: ketika data mengenai  prosedur perizinan, aturan, anggaran, aset, kinerja, dan sumber daya pemerintah diumumkan secara berkala kepada khalayak ramai, sudut-sudut gelap dalam tata kelola pemerintah yang selama ini leluasa dimanfaatkan oleh para koruptor menjadi terang benderang. Kalaupun nekat, para pencoleng bisa diendus dengan relatif mudah.

Ketika publik tahu apa yang direncanakan punggawa negara, mereka bisa ikut mengawasi. Ujung-ujungnya, ketika tak ada yang disembunyikan, tak ada alasan untuk mencurigai pemerintah. Kepercayaan sosial (social trust) bisa dibangun. Dengan keterbukaan, semua warga bisa bergotong-royong demi kemajuan bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar