PROSPEK POLITIK
2014
Momen Penting Menuju Negara Matang Berdemokrasi
Sutta Dharmasaputra ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
SUATU
pagi, seorang rekan bercerita. Teman bosnya yang sama-sama warga Perancis
baru saja memutuskan untuk menjual rumahnya di Jakarta dan Bali. Padahal, dia
sudah tinggal di Indonesia sekitar 20 tahun. Dia tidak yakin situasi tahun
2014 kondusif karena Indonesia akan menggelar pemilihan umum. Dia memilih
pindah ke Madagaskar.
Perasaan khawatir memang pasti
muncul di banyak orang. Tahun 2014 merupakan tahun politik. Pemilu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) digelar 9 April 2014.
Pada tahun yang sama, pemilu
presiden juga digelar. Pemilu presiden putaran I dijadwalkan 9 Juli 2014 dan
putaran II kemungkinan 9 September 2014. Dengan demikian, praktis, sembilan
dari 12 bulan di tahun 2014 akan diwarnai pertarungan politik.
Pertarungan politik akan ”panas”
karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menjabat pemerintahan selama
dua periode. Undang-Undang Dasar 1945 hanya membatasi kekuasaan presiden
hanya dua periode.
Politikus yang akan bertarung juga
jauh lebih besar jumlahnya. Berdasarkan daftar calon tetap di Komisi
Pemilihan Umum, tercatat ada 6.607 politikus yang akan memperebutkan 560
kursi DPR. Sebanyak 945 orang akan memperebutkan kursi DPD. Belum lagi
ratusan ribu politikus yang memperebutkan kursi DPRD provinsi ataupun DPRD
kabupaten/kota.
Jumlah kursi yang diperebutkan
dalam Pemilu 2014 jauh lebih banyak daripada Pemilu 2009. Kursi DPRD Provinsi
yang diperebutkan tahun 2014 adalah 2.137, sementara tahun 2009 berjumlah
2.008 kursi. Kursi DPRD kabupaten/kota juga bertambah dari 16.345 tahun 2009
menjadi 17.560 tahun 2014. Pertambahan kursi di tingkat provinsi, yang
signifikan, misalnya, terjadi di DKI Jakarta, yang mencapai 25 persen.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota dari total 497 kabupaten/kota,
penambahan kursi terjadi di 179 kabupaten/kota.
Penambahan kursi DPRD yang
mencapai belasan ribu di seluruh Indonesia ini praktis membuat pertarungan
politik menjadi hiruk-pikuk di daerah dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Area pertarungan juga meluas dan
merata di seluruh wilayah. Pertarungan perebutan DPR tersebar di 77 daerah
pemilihan (dapil), pertarungan perebutan kursi DPRD provinsi tersebar di 259
dapil, sedangkan perebutan kursi DPRD kabupaten/kota tersebar di 2.117 dapil.
Ditambah lagi pertarungan calon anggota DPD yang tersebar di 33 provinsi.
Uang yang akan digelontorkan untuk
pelaksanaan pemilu pun luar biasa besar. Pemerintah pusat sudah
mengalokasikan Rp 16 triliun untuk pelaksanaan Pemilu 2014. Belum lagi
anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah. Para kandidat yang akan
bertarung pun tidak akan segan mengeluarkan uang demi meraih kemenangan.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung
dalam disertasinya menyebutkan, biaya kampanye yang dikeluarkan seorang calon
anggota DPR rata-rata Rp 1,2 miliar-Rp 2 miliar per orang. Pada Pemilu 2014,
biaya ini dipastikan nilainya akan jauh lebih besar lagi. Berarti, jika
nilainya masih sama besar dengan Pemilu 2009, jumlah uang yang akan
digelontorkan 6.607 caleg yang akan memperebutkan kursi DPR mencapai Rp 7,9
triliun hingga Rp 13,2 triliun.
Jumlah ini belum termasuk uang yang
digelontorkan calon anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang
jumlahnya ratusan ribu, yang masing-masing mengeluarkan uang Rp 100 juta
hingga Rp 300 juta per orang.
Perebutan kursi istana
Mereka yang berambisi merebut
kursi RI-1 dan RI-2 sudah pasti lebih banyak lagi menggelontorkan uang.
Pengusaha Sofjan Wanandi memprediksi, uang yang dikeluarkan salah satu
pasangan Pilpres 2009 ada yang menghabiskan sedikitnya Rp 3 triliun.
Pasangan calon presiden-wapres di
Pemilu 2014, secara kuantitas, jumlahnya memang tidak akan jauh berbeda
dengan Pilpres 2009. Mengingat, persyaratan bagi parpol untuk mengajukan
pasangan calon masih sama dengan Pilpres 2009, yaitu memperoleh 20 persen
kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Dengan persyaratan itu,
diprediksi hanya ada tiga pasang capres/cawapres, maksimal hanya akan ada
empat pasang calon.
Kondisi ini serupa dengan yang
terjadi pada Pilpres 2009. Saat itu, ada tiga pasang capres, yaitu Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan
Jusuf Kala-Wiranto. Pada Pemilu 2014 nanti, diduga juga hanya akan muncul
tiga pasang calon.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, misalnya, memprediksi tiga pasang yang
akan muncul adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla, Prabowo-Hatta Rajasa, dan
Aburizal Bakrie-Pramono Edhie Wibowo. Sejumlah politisi pun membenarkan
besarnya peluang pasangan-pasangan itu.
Namun, ada juga yang memasangkan
Jokowi dengan Mahfud MD atau Jokowi dengan Gita Wirjawan. Pasangan-pasangan
ini dianggap masih sangat cair karena menunggu hasil Pemilu Legislatif 9
April 2014. Partai yang perolehan suaranya terbesar di pemilu legislatif
pasti akan menempatkan calonnya di posisi nomor 1, sedangkan mitranya harus
rela di posisi nomor 2.
Sebelum 9 April, semua calon pasti
akan call tinggi untuk meraih posisi nomor 1. Paling tidak, hingga
kini pun, sudah ada 17 nama yang berambisi meraih posisi RI-1. Mereka adalah
Aburizal Bakrie, Ali Maskyur Musa, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, Endriartono
Sutarto, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Irman Gusman, Joko Widodo, Jusuf Kalla,
Mahfud MD, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Pramono Edhie Wibowo,
Rhoma Irama, Suryadharma Ali, dan Wiranto.
Hingga 9 April, mereka pasti akan
berjuang mati-matian mendongkrak partai masing-masing agar bisa mendapat
tiket untuk bertarung di Pilpres 2014.
Hadirnya empat tokoh militer juga
pasti akan memberi warna tersendiri pada pilpres kali ini. Dari sisi
kuantitas, jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pilpres
sebelumnya. Pada Pilpres 2009, hanya ada tiga orang dari kalangan militer,
yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo.
Sementara itu, di
Pilpres 2014, setidaknya, hingga April 2014 nanti, ada empat tokoh militer
yang akan bertarung habis-habisan. Mereka adalah Prabowo, Wiranto, Pramono
Edhie, dan Endriartono.
Endriartono dan Wiranto, keduanya
mantan Panglima TNI. Sementara itu, Prabowo Subianto dan Pramono Edhie adalah
mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), dan keduanya mempunyai hubungan dekat
dengan keluarga Istana. Prabowo adalah menantu dari presiden ke-2 RI,
Soeharto. Adapun Pramono Edhie adalah adik ipar dari presiden ke-6 RI, Susilo
Bambang Yudhoyono. Prabowo dan Wiranto juga sudah berupaya merebut kursi
presiden sejak Pemilu 2004. Dengan demikian, keduanya pasti tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan di Pemilu 2014.
Pemilu yang krusial
Kondisi itu semua yang membuat
tahun 2014 akan menjadi sangat kuat diwarnai tarik-menarik kepentingan
politik. Kondisi politik dalam negeri dipastikan akan menjadi dominan
memengaruhi berbagai sendi kehidupan di negeri ini dibandingkan dengan aspek
lain. Politik akan menjadi ”panglima”.
”Suhu politik, sudah barang tentu,
makin bereskalasi,” istilah Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang dalam
perbincangan dengan Kompas, pekan lalu.
Semua pihak yang berkepentingan
akan berusaha ”tebar pesona” untuk mencari dukungan. Sebaliknya juga akan
berupaya keras menjatuhkan lawan politik untuk memecah dukungan. Karena itu
pula, setiap kepala pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, harus
berupaya lebih keras memastikan agar program-programnya berjalan lancar
terutama yang terkait anggaran 2014. ”Bersyukur, komitmen legislatif dan
eksekutif di Kalteng cukup baik, dan hal ini sangat membanggakan karena
legislatif tak terpengaruh dengan pemilu legislatif,” kata Teras.
Kunci utamanya, lanjut Teras,
adalah adanya komunikasi yang baik dan berupaya agar setiap program bisa
ditujukan dan dirasakan langsung seluruh rakyat. Harmonisasi legislatif dan
eksekutif harus terus terjaga, dan di sinilah diperlukan kepemimpinan yang
melayani.
Sofjan bahkan menilai, Pemilu 2014
merupakan pemilu yang sangat penting. ”Pemilu 2014 itu the most crucial
election,” ujarnya, beberapa waktu lalu. Menurut dia apabila pemilu kali ini
berjalan lancar dan bisa melahirkan pemimpin yang tepat akan membawa bangsa
ini menjadi bangsa yang besar.
Jack Snyder dalam
bukunya From Voting to Violence menyebutkan bahwa salah satu ciri
sebuah negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing states) bertransisi
menjadi negara yang demokrasinya matang (mature democracies) biasanya terjadi
setelah dua kali pergantian kekuasaan.
Indonesia yang sejak 1998
menjalankan pemerintahan yang lebih demokratis, setelah hampir 30 tahun di
bawah rezim otoriter, berarti seharusnya juga saatnya untuk bertransformasi
dari negara yang sedang menuju demokrasi menjadi negara yang matang
berdemokrasi.
Meski demikian, Snyder yang sudah
meneliti demokrasi di banyak negara itu juga mengingatkan bahwa tidak gampang
menegakkan negara demokrasi yang stabil dan cinta damai. Diperlukan sejumlah
prasyarat untuk mencapai itu, seperti partisipasi yang luas, pembatasan
kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan
sipil, termasuk hak-hak minoritas.
Mencermati pelaksanaan Pilkada DKI
Jakarta yang terjadi setahun lalu dan berjalan sukses, tanda-tanda adanya
kedewasaan warga untuk berdemokrasi secara damai sudah tampak. Partisipasi
dan antusiasme warga saat itu sangat besar kendati kebebasan berbicara sempat
mengarah tanpa kendali dan menyulut isu SARA (suku, agama, ras, dan
antar-golongan). Ternyata, warga juga semakin banyak yang sadar dan tidak
terpancing. Begitu KPU DKI Jakarta menentukan hasil pilkada, pemenang
langsung mendatangi yang kalah, sebaliknya yang kalah langsung memberikan
ucapan selamat kepada pemenang.
Apabila Jakarta yang merupakan ibu
kota negara ini dijadikan barometer politik nasional, boleh jadi ini pertanda
baik yang harus terus dijaga dan dikembangkan hingga Pemilu 2014 nanti.
Terlebih, meski ada 12 partai politik yang akan bertarung, semuanya pun
berasaskan sama, yaitu Pancasila. Kesamaan asas ini, bila bukan lips
service, tentunya bisa mempersatukan semua pihak yang akan bertarung di 2014.
Oleh karena itu, tahun 2014,
meskipun tahun pertarungan politik, semoga bukanlah tahun yang penuh
pertarungan untuk saling menghancurkan, tetapi hanya kompetisi untuk
melakukan yang terbaik dan bisa mempersatukan bangsa ini. Pemilu 2014 adalah
momentum bagi negeri ini untuk menjadi negara yang matang berdemokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar