PROSPEK EKONOMI
2014
Ekonomi Biru di Pusaran Wacana
BM Lukita Grahadyarini ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
PEREKONOMIAN yang
mengarusutamakan sektor kelautan dan perikanan sebagai nadi pertumbuhan,
serta pengelolaan yang ramah lingkungan, tak henti didentangkan. Konsep
ekonomi biru pun digulirkan pemerintah sebagai sebuah solusi ketahanan pangan
dan perikanan berkelanjutan.
Menteri Kelautan dan Perikanan
Sharif Cicip Sutardjo, dalam penerbitan buku Our Blue Economy: An Odyssey to Prosperity (Ekonomi Biru:
Jalan Menuju Kesejahteraan) di Forum APEC Bali 2013, memaparkan, ekonomi biru
sebagai solusi untuk memaksimalkan pengelolaan potensi kekayaan laut
Indonesia yang mencapai 1,2 triliun dollar AS per tahun. Potensi itu mencakup
sumber daya alam, pelayaran maritim, dan bahan tambang di laut.
Potensi itu tak mengherankan,
mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai sepanjang
104.000 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, melingkupi total 17.499
pulau.
Menurut Sharif, penerapan ekonomi
biru akan memperkuat program industrialisasi perikanan untuk pengelolaan
hulu-hilir perikanan secara berkelanjutan, mulai dari produksi, pengolahan,
distribusi, hingga pemasaran. Pendekatan ekonomi biru melalui inovasi
teknologi juga akan mendorong pengelolaan sumber daya alam secara efisien,
nirlimbah (zero waste), sekaligus menjawab ancaman kerentangan pangan serta
krisis energi.
”Masa depan Indonesia sesungguhnya
di laut. Melalui ekonomi biru, kita dapat membuka lebih banyak lapangan
pekerjaan bagi masyarakat, mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan, dan
mengubah kelangkaan menjadi kelimpahan,” kata Sharif.
Faktanya, dengan potensi kelautan
yang besar, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik
bruto (PDB) hanya sekitar 22 persen. Konsep ekonomi biru belum terlihat
realisasinya secara signifikan. Pemerintah mengklaim usaha perikanan yang
menerapkan ekonomi biru telah berlangsung, antara lain, di Sumatera Utara,
berupa pengolahan ikan yang lebih efisien dengan memanfaatkan seluruh bagian
ikan sehingga nirlimbah.
Direktur Eksekutif Indonesia for
Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengemukakan, pemahaman ekonomi biru yang
sekadar mengolah seluruh bagian ikan agar nirlimbah merupakan pemahaman
dangkal. Praktik pemanfaatan ikan semacam itu sudah berlangsung sejak lama di
kampung-kampung nelayan. Di Teluk Jakarta, istri nelayan mengolah cangkang
kerang menjadi hiasan rumah tangga. Di Indramayu, kulit udang dijadikan pakan
ikan dan udang. Di Demak, cangkang kepiting dibuat menjadi bahan dasar
kosmetik dan obat-obatan.
Riza menambahkan, paradigma
ekonomi biru belum mampu menjawab tantangan terbesar Indonesia untuk
mendorong perikanan rakyat agar lebih berdaya saing dan berdaulat. Ekonomi
biru secara konseptual hanya dimaksudkan merombak pengelolaan perikanan
menjadi lebih efisien dan efektif, tetapi tidak mengoreksi tata penguasaan
pengelolaan perikanan kita.
Faktanya, Indonesia menghadapi
persoalan kemiskinan nelayan dan pembudidaya. Dari 2,7 juta keluarga nelayan,
sekitar 95 persen merupakan nelayan kecil dan tradisional. Kapal-kapal ikan
belum berdaya dari segi teknologi dan permodalan untuk menjangkau laut lepas.
Perairan Indonesia masih dijarah para pencuri, serta zona ekonomi eksklusif
Indonesia dan laut lepas dikuasai kapal-kapal besar milik asing.
Dalam waktu kurang dari dua tahun,
Indonesia akan menghadapi liberalisasi perikanan seiring diberlakukannya
Komunitas Ekonomi ASEAN tahun 2015. Negara-negara produsen ikan di ASEAN,
seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia, telah menyatakan diri untuk fokus
pada pengolahan ikan menghadapi krisis bahan baku. Tanpa penguatan kemampuan
nelayan, pembudidaya, dan usaha perikanan, Indonesia menghadapi ancaman terpuruk
dalam perdagangan perikanan di ASEAN.
Sebagai negara produsen ikan yang
besar di ASEAN, pengolahan ikan Indonesia masih terhambat bahan baku akibat
kendala distribusi. Belum terlaksana sistem logistik yang efektif memecah
hambatan distribusi ikan dari sentra produksi di wilayah timur Indonesia ke
sentra pengolahan di Pulau Jawa. Kendala distribusi juga menghambat konsumsi
ikan dalam negeri.
Di dunia, konsep ekonomi biru yang
mengadopsi ide dan pemikiran ekonom asal Belgia, Gunter Pauli, telah banyak diterapkan
negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Prinsip ekonomi biru mengedepankan
pemanfaatan sumber daya yang kian terbatas agar tetap berkelanjutan, melalui
inovasi teknologi ramah lingkungan dalam proses produksi hingga pengolahan
sehingga pemanfaatan sumber daya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Penerapan ekonomi biru tidak cukup
sekadar mengedepankan pengelolaan perikanan dan kelautan ke arah yang lebih
efisien, tetapi juga menjawab tantangan kedaulatan perikanan dan kelautan
serta memperkuat industri perikanan.
Penerapan ekonomi biru selayaknya
ditunjang pelatihan pengolahan ikan, kemudahan akses permodalan bagi
perikanan tangkap, dan penguatan regulasi ekspor-impor agar pelaku perikanan
benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Prioritas harus diberikan
kepada konsumsi domestik, penguatan sistem logistik nasional agar ongkos
produksi menjadi lebih murah dan daya saing perikanan meningkat.
Sebuah terobosan lebih mendasar
dinantikan, lebih dari sekadar wacana ekonomi biru. Perubahan yang mendukung
keadilan perikanan, kedaulatan pangan, dan kesejahteraan nelayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar