Senin, 30 Desember 2013

Ekonomi Biru di Pusaran Wacana



PROSPEK EKONOMI 2014

Ekonomi Biru di Pusaran Wacana

BM Lukita Grahadyarini   ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


PEREKONOMIAN yang mengarusutamakan sektor kelautan dan perikanan sebagai nadi pertumbuhan, serta pengelolaan yang ramah lingkungan, tak henti didentangkan. Konsep ekonomi biru pun digulirkan pemerintah sebagai sebuah solusi ketahanan pangan dan perikanan berkelanjutan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, dalam penerbitan buku Our Blue Economy: An Odyssey to Prosperity (Ekonomi Biru: Jalan Menuju Kesejahteraan) di Forum APEC Bali 2013, memaparkan, ekonomi biru sebagai solusi untuk memaksimalkan pengelolaan potensi kekayaan laut Indonesia yang mencapai 1,2 triliun dollar AS per tahun. Potensi itu mencakup sumber daya alam, pelayaran maritim, dan bahan tambang di laut.

Potensi itu tak mengherankan, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai sepanjang 104.000 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, melingkupi total 17.499 pulau.

Menurut Sharif, penerapan ekonomi biru akan memperkuat program industrialisasi perikanan untuk pengelolaan hulu-hilir perikanan secara berkelanjutan, mulai dari produksi, pengolahan, distribusi, hingga pemasaran. Pendekatan ekonomi biru melalui inovasi teknologi juga akan mendorong pengelolaan sumber daya alam secara efisien, nirlimbah (zero waste), sekaligus menjawab ancaman kerentangan pangan serta krisis energi.

”Masa depan Indonesia sesungguhnya di laut. Melalui ekonomi biru, kita dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan, dan mengubah kelangkaan menjadi kelimpahan,” kata Sharif.

Faktanya, dengan potensi kelautan yang besar, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 22 persen. Konsep ekonomi biru belum terlihat realisasinya secara signifikan. Pemerintah mengklaim usaha perikanan yang menerapkan ekonomi biru telah berlangsung, antara lain, di Sumatera Utara, berupa pengolahan ikan yang lebih efisien dengan memanfaatkan seluruh bagian ikan sehingga nirlimbah.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengemukakan, pemahaman ekonomi biru yang sekadar mengolah seluruh bagian ikan agar nirlimbah merupakan pemahaman dangkal. Praktik pemanfaatan ikan semacam itu sudah berlangsung sejak lama di kampung-kampung nelayan. Di Teluk Jakarta, istri nelayan mengolah cangkang kerang menjadi hiasan rumah tangga. Di Indramayu, kulit udang dijadikan pakan ikan dan udang. Di Demak, cangkang kepiting dibuat menjadi bahan dasar kosmetik dan obat-obatan.

Riza menambahkan, paradigma ekonomi biru belum mampu menjawab tantangan terbesar Indonesia untuk mendorong perikanan rakyat agar lebih berdaya saing dan berdaulat. Ekonomi biru secara konseptual hanya dimaksudkan merombak pengelolaan perikanan menjadi lebih efisien dan efektif, tetapi tidak mengoreksi tata penguasaan pengelolaan perikanan kita.

Faktanya, Indonesia menghadapi persoalan kemiskinan nelayan dan pembudidaya. Dari 2,7 juta keluarga nelayan, sekitar 95 persen merupakan nelayan kecil dan tradisional. Kapal-kapal ikan belum berdaya dari segi teknologi dan permodalan untuk menjangkau laut lepas. Perairan Indonesia masih dijarah para pencuri, serta zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas dikuasai kapal-kapal besar milik asing.

Dalam waktu kurang dari dua tahun, Indonesia akan menghadapi liberalisasi perikanan seiring diberlakukannya Komunitas Ekonomi ASEAN tahun 2015. Negara-negara produsen ikan di ASEAN, seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia, telah menyatakan diri untuk fokus pada pengolahan ikan menghadapi krisis bahan baku. Tanpa penguatan kemampuan nelayan, pembudidaya, dan usaha perikanan, Indonesia menghadapi ancaman terpuruk dalam perdagangan perikanan di ASEAN.

Sebagai negara produsen ikan yang besar di ASEAN, pengolahan ikan Indonesia masih terhambat bahan baku akibat kendala distribusi. Belum terlaksana sistem logistik yang efektif memecah hambatan distribusi ikan dari sentra produksi di wilayah timur Indonesia ke sentra pengolahan di Pulau Jawa. Kendala distribusi juga menghambat konsumsi ikan dalam negeri.

Di dunia, konsep ekonomi biru yang mengadopsi ide dan pemikiran ekonom asal Belgia, Gunter Pauli, telah banyak diterapkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Prinsip ekonomi biru mengedepankan pemanfaatan sumber daya yang kian terbatas agar tetap berkelanjutan, melalui inovasi teknologi ramah lingkungan dalam proses produksi hingga pengolahan sehingga pemanfaatan sumber daya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Penerapan ekonomi biru tidak cukup sekadar mengedepankan pengelolaan perikanan dan kelautan ke arah yang lebih efisien, tetapi juga menjawab tantangan kedaulatan perikanan dan kelautan serta memperkuat industri perikanan.

Penerapan ekonomi biru selayaknya ditunjang pelatihan pengolahan ikan, kemudahan akses permodalan bagi perikanan tangkap, dan penguatan regulasi ekspor-impor agar pelaku perikanan benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Prioritas harus diberikan kepada konsumsi domestik, penguatan sistem logistik nasional agar ongkos produksi menjadi lebih murah dan daya saing perikanan meningkat.

Sebuah terobosan lebih mendasar dinantikan, lebih dari sekadar wacana ekonomi biru. Perubahan yang mendukung keadilan perikanan, kedaulatan pangan, dan kesejahteraan nelayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar