Politik
Pangan Global
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian IPB,
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)
|
KOMPAS,
30 Desember 2013
“CONTROL oil and you control
nations; control food and you control the people.” Kalimat
yang diucapkan Henry Kissinger tersebut sangat relevan saat ini.
Pertarungan ke depan adalah
pertarungan dalam mengamankan pasokan pangan suatu negara bagi penduduknya,
pertarungan memperebutkan pasar pangan global, hingga pertarungan dalam upaya
memperebutkan dan mengakses sumber daya produktif berupa lahan melalui apa
yang dikenal dengan land grabbing.
Geopolitik sektor pangan berbeda
dengan geopolitik di sektor energi. Produsen energi, dalam hal ini minyak
bumi, kurang memiliki peran, sebaliknya justru pengguna energi yang memegang
peran besar dalam percaturan ekonomi dan politik global (The End of Oil, Roberts 2005).
Pemakaian energi menentukan
hierarki negara-negara di dunia. Semakin besar suatu negara mengonsumsi
energi, semakin tinggi hierarki negara tersebut di dunia. Amerika Serikat
membakar sekitar 19,2 juta barrel minyak per hari, sedangkan Indonesia hanya
sekitar 1,4 juta barrel per hari. Pemakaian minyak bumi di China saat ini sekitar
10,3 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 448 persen hanya dalam kurun
waktu dua dekade. India juga muncul sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru
di dunia. Negara tersebut mengonsumsi minyak bumi sebesar 3,6 juta barrel per
hari atau meningkat sebesar 300 persen dalam dua dekade terakhir (US Energy Information Administration,
2012, The Richest, 13/5/2013).
Di sektor pangan yang terjadi
sebaliknya. Dulu diasumsikan negara-negara yang mampu memproduksi pangan
untuk rakyatnya dan bahkan mengekspornya ke negara lain—yang tahun 1960-an
diwakili negara-negara berkembang—justru dipandang kurang maju. Berkaitan
dengan asumsi ini, negara berkembang mulai mengalihkan perhatiannya ke
industri dan jasa dan melupakan sektor pertanian. Peran ini kemudian diambil
alih negara-negara maju yang saat ini menjadi produsen pangan global.
Korporasi mereka menguasai semua lini, dari penyediaan sarana produksi,
pengembangan benih, pupuk, dan pestisida, hingga perdagangan pangan
internasional.
Bersamaan dengan itu, pertumbuhan
permintaan pangan dan produk pertanian lainnya mulai meningkat pesat di
negara-negara berkembang. Saat ini terjadi peningkatan tajam konsumsi gandum,
beras, produk hewani, buah-buahan, dan sayuran akibat meningkatnya pendapatan
dan urbanisasi yang pesat.
Permintaan untuk jagung juga meningkat tajam
terutama untuk pakan dan bioenergi, yang menjadi salah satu pemicu krisis
pangan di 2008. Negara berkembang akan memainkan peran besar bukan sebagai
negara produsen pangan, melainkan justru menjadi pasar global pangan.
Diproyeksikan sekitar 86 persen peningkatan konsumsi serealia global antara
tahun 1995 hingga 2025 akan datang dari negara berkembang (International Food
Policy Research Institute/IFPRI, 2002). Pertumbuhan permintaan serealia
terbesar akan datang dari Asia, terutama Asia Tenggara, India, dan China.
Angka yang hampir mirip terjadi pada pertumbuhan permintaan daging dan unggas
serta produknya.
Tahun 2025 Asia akan mengalami
defisit serealia sebesar 135,4 juta metrik ton, China 39,8 juta metrik ton,
India 17,9 juta metrik ton, dan Asia Tenggara 5,8 juta metrik ton. Angka
defisit tersebut mengalami peningkatan drastis dibandingkan tahun 1995. Pada
tahun tersebut, seluruh wilayah Asia mengimpor serealia sebesar 67,8 juta
metrik ton, bahkan India pada tahun 1995 masih mendulang surplus sebesar 3,5
juta metrik ton (IFPRI, 2002) dan
berlanjut hingga sekarang.
Negara berkembang akan mengalami
defisit serealia 239,7 juta metrik ton pada 2025 atau meningkat lebih dari
dua kali lipat dibandingkan 1995, yaitu 108,4 juta metrik ton. Tidak hanya
serealia, Asia dan negara berkembang lain semakin lama akan semakin
bergantung pada impor sumber pangan lainnya, seperti daging, kedelai, tepung,
dan umbi-umbian. Riset lain menghasilkan ramalan yang lebih mencemaskan. Pada
2025, Asia Selatan akan mengalami defisit pangan 25,1 juta ton serta Asia
Timur dan Tenggara 126,9 juta ton. Seluruh dunia juga mengalami krisis pangan
dengan defisit 68,8 juta ton.
Geopolitik pangan
Lalu, dari manakah semua
permintaan pangan tersebut terpenuhi? Jika tidak ada perubahan kebijakan yang
signifikan terkait pangan dan pertanian di negara-negara berkembang, maka
negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia akan semakin besar
peranannya dalam geopolitik pangan. Ironis, negara berkembang yang semula
eksportir pangan semakin lama akan semakin tergantung dari negara maju untuk
memenuhi kebutuhan paling dasar dari penduduknya.
Pada tahun 2025, negara maju akan
mengalami surplus produksi serealia 247,5 juta metrik ton, yang meningkat
hampir 2,5 kali dari 30 tahun sebelumnya, yaitu 107,6 juta metrik ton.
Produksi daging, tepung, dan umbi-umbian di negara maju akan mengalami
surplus masing-masing 3,9 juta metrik ton, 3 juta metrik ton, dan 19,8 juta
metrik ton. Hanya kedelai yang akan mengalami defisit 7,6 juta metrik ton.
Surplus pangan yang sedemikian besar harus disalurkan ke wilayah lain dengan
mempertahankan sekuat tenaga politik perdagangan bebas ala WTO.
Negara-negara
eksportir pangan dunia menggunakan berbagai upaya untuk menekan negara
importir pangan, terutama negara berkembang, agar terus bergantung pada impor
dari negara maju.
Hal tersebut diperlihatkan dengan
gamblang melalui pertarungan terbuka di pertemuan WTO di Bali (3-6/12/2013)
antara Amerika Serikat, yang didukung negara-negara maju dan eksportir pangan
lainnya, melawan India, yang berjuang sendirian. India menginginkan subsidi
pertanian lebih dari 10 persen dari total output pertanian dan
membayar hasil produksi petani India di atas harga pasar untuk produk yang
dibeli oleh pemerintah untuk cadangan pangan.
Amerika Serikat menjadi oponen
vokal terhadap India dan mengecam India karena mengeluarkan usulan yang
melawan spirit perdagangan bebas yang secara umum bertujuan untuk
mengurangi—bukan meningkatkan—intervensi negara terhadap pasar. Ironis,
negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia, yang seharusnya
mendukung India, justru pada posisi sebaliknya.
Amerika Serikat dan negara maju
lainnya menyubsidi petani kaya mereka dengan nilai yang luar biasa besar,
yaitu sekitar 360 miliar dollar AS per tahun (Brown, 2012) setara Rp 4.140 triliun, yang jauh lebih besar dari
total subsidi yang diberikan semua negara berkembang untuk petaninya. Dengan
subsidi yang sedemikian besar, produksi pertanian mereka meningkat dan terjadi
surplus pangan yang kemudian dilepas ke pasar internasional dengan harga
rendah artifisial yang menghancurkan pertanian negara berkembang. Dominasi
tersebut ingin terus dipertahankan dengan menghambat upaya negara berkembang
untuk melindungi petaninya.
Sikap Indonesia
Meskipun ada prasangka bahwa
kerasnya India bertahan pada posisinya berkaitan dengan program populis
menghadapi pemilu India pada tahun depan, sikap India tersebut sangat tepat
karena menunjukkan dengan tegas pembelaan India terhadap petani kecil mereka
yang menyusun lebih dari setengah lapangan pekerjaan di India. Pembelaan
India terhadap petani kecilnya sudah cukup lama yang mewujud dalam
peningkatan produksi pangan di India. India saat ini merupakan eksportir neto
pangan. Pada tahun 2011 India mampu mengekspor beras 4,5 juta ton, jagung 2,2
juta ton, dan tepung kedelai 4,2 juta ton.
Sikap India menjadi pelajaran
berharga bagi Indonesia yang menjadi importir belasan produk pangan dari
negara lain. Kita tidak bisa menggantungkan diri pada produksi pangan dunia
di masa depan. Akibat penguasaan sektor pertanian dan pangan yang semakin
mengerucut ke perusahaan multinasional dan spekulan pangan, harga pangan
mulai merangkak naik. Dalam 10 tahun terakhir ini harga semua serealia
meningkat di atas 100 persen dan tiga krisis pangan terjadi hanya dalam kurun
waktu 5 tahun. Jika negara-negara maju menaati semua klausul di WTO dengan
menurunkan subsidi bagi petani mereka, maka harga pangan di masa depan akan
semakin tinggi lagi. Iklim yang semakin sulit diprediksi dan konversi pangan
ke energi akan memperparah kondisi tersebut.
Semoga ini menyadarkan kita dan terutama pemerintah untuk lebih
memerhatikan sektor pangan dan pertanian dan melindungi petani kecil kita
dari politik pangan global yang tidak adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar