Selasa, 31 Desember 2013

Politik Pangan Global

Politik Pangan Global

Dwi Andreas Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Pertanian IPB,
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)
KOMPAS,  30 Desember 2013



“CONTROL oil and you control nations; control food and you control the people.” Kalimat yang diucapkan Henry Kissinger tersebut sangat relevan saat ini.

Pertarungan ke depan adalah pertarungan dalam mengamankan pasokan pangan suatu negara bagi penduduknya, pertarungan memperebutkan pasar pangan global, hingga pertarungan dalam upaya memperebutkan dan mengakses sumber daya produktif berupa lahan melalui apa yang dikenal dengan land grabbing.

Geopolitik sektor pangan berbeda dengan geopolitik di sektor energi. Produsen energi, dalam hal ini minyak bumi, kurang memiliki peran, sebaliknya justru pengguna energi yang memegang peran besar dalam percaturan ekonomi dan politik global (The End of Oil, Roberts 2005).

Pemakaian energi menentukan hierarki negara-negara di dunia. Semakin besar suatu negara mengonsumsi energi, semakin tinggi hierarki negara tersebut di dunia. Amerika Serikat membakar sekitar 19,2 juta barrel minyak per hari, sedangkan Indonesia hanya sekitar 1,4 juta barrel per hari. Pemakaian minyak bumi di China saat ini sekitar 10,3 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 448 persen hanya dalam kurun waktu dua dekade. India juga muncul sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru di dunia. Negara tersebut mengonsumsi minyak bumi sebesar 3,6 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 300 persen dalam dua dekade terakhir (US Energy Information Administration, 2012, The Richest, 13/5/2013).

Di sektor pangan yang terjadi sebaliknya. Dulu diasumsikan negara-negara yang mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya dan bahkan mengekspornya ke negara lain—yang tahun 1960-an diwakili negara-negara berkembang—justru dipandang kurang maju. Berkaitan dengan asumsi ini, negara berkembang mulai mengalihkan perhatiannya ke industri dan jasa dan melupakan sektor pertanian. Peran ini kemudian diambil alih negara-negara maju yang saat ini menjadi produsen pangan global. Korporasi mereka menguasai semua lini, dari penyediaan sarana produksi, pengembangan benih, pupuk, dan pestisida, hingga perdagangan pangan internasional.

Bersamaan dengan itu, pertumbuhan permintaan pangan dan produk pertanian lainnya mulai meningkat pesat di negara-negara berkembang. Saat ini terjadi peningkatan tajam konsumsi gandum, beras, produk hewani, buah-buahan, dan sayuran akibat meningkatnya pendapatan dan urbanisasi yang pesat. 

Permintaan untuk jagung juga meningkat tajam terutama untuk pakan dan bioenergi, yang menjadi salah satu pemicu krisis pangan di 2008. Negara berkembang akan memainkan peran besar bukan sebagai negara produsen pangan, melainkan justru menjadi pasar global pangan. Diproyeksikan sekitar 86 persen peningkatan konsumsi serealia global antara tahun 1995 hingga 2025 akan datang dari negara berkembang (International Food Policy Research Institute/IFPRI, 2002). Pertumbuhan permintaan serealia terbesar akan datang dari Asia, terutama Asia Tenggara, India, dan China. Angka yang hampir mirip terjadi pada pertumbuhan permintaan daging dan unggas serta produknya.

Tahun 2025 Asia akan mengalami defisit serealia sebesar 135,4 juta metrik ton, China 39,8 juta metrik ton, India 17,9 juta metrik ton, dan Asia Tenggara 5,8 juta metrik ton. Angka defisit tersebut mengalami peningkatan drastis dibandingkan tahun 1995. Pada tahun tersebut, seluruh wilayah Asia mengimpor serealia sebesar 67,8 juta metrik ton, bahkan India pada tahun 1995 masih mendulang surplus sebesar 3,5 juta metrik ton (IFPRI, 2002) dan berlanjut hingga sekarang.

Negara berkembang akan mengalami defisit serealia 239,7 juta metrik ton pada 2025 atau meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan 1995, yaitu 108,4 juta metrik ton. Tidak hanya serealia, Asia dan negara berkembang lain semakin lama akan semakin bergantung pada impor sumber pangan lainnya, seperti daging, kedelai, tepung, dan umbi-umbian. Riset lain menghasilkan ramalan yang lebih mencemaskan. Pada 2025, Asia Selatan akan mengalami defisit pangan 25,1 juta ton serta Asia Timur dan Tenggara 126,9 juta ton. Seluruh dunia juga mengalami krisis pangan dengan defisit 68,8 juta ton.

Geopolitik pangan

Lalu, dari manakah semua permintaan pangan tersebut terpenuhi? Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan terkait pangan dan pertanian di negara-negara berkembang, maka negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia akan semakin besar peranannya dalam geopolitik pangan. Ironis, negara berkembang yang semula eksportir pangan semakin lama akan semakin tergantung dari negara maju untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari penduduknya.

Pada tahun 2025, negara maju akan mengalami surplus produksi serealia 247,5 juta metrik ton, yang meningkat hampir 2,5 kali dari 30 tahun sebelumnya, yaitu 107,6 juta metrik ton. Produksi daging, tepung, dan umbi-umbian di negara maju akan mengalami surplus masing-masing 3,9 juta metrik ton, 3 juta metrik ton, dan 19,8 juta metrik ton. Hanya kedelai yang akan mengalami defisit 7,6 juta metrik ton. Surplus pangan yang sedemikian besar harus disalurkan ke wilayah lain dengan mempertahankan sekuat tenaga politik perdagangan bebas ala WTO. 

Negara-negara eksportir pangan dunia menggunakan berbagai upaya untuk menekan negara importir pangan, terutama negara berkembang, agar terus bergantung pada impor dari negara maju.

Hal tersebut diperlihatkan dengan gamblang melalui pertarungan terbuka di pertemuan WTO di Bali (3-6/12/2013) antara Amerika Serikat, yang didukung negara-negara maju dan eksportir pangan lainnya, melawan India, yang berjuang sendirian. India menginginkan subsidi pertanian lebih dari 10 persen dari total output pertanian dan membayar hasil produksi petani India di atas harga pasar untuk produk yang dibeli oleh pemerintah untuk cadangan pangan. 

Amerika Serikat menjadi oponen vokal terhadap India dan mengecam India karena mengeluarkan usulan yang melawan spirit perdagangan bebas yang secara umum bertujuan untuk mengurangi—bukan meningkatkan—intervensi negara terhadap pasar. Ironis, negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia, yang seharusnya mendukung India, justru pada posisi sebaliknya.

Amerika Serikat dan negara maju lainnya menyubsidi petani kaya mereka dengan nilai yang luar biasa besar, yaitu sekitar 360 miliar dollar AS per tahun (Brown, 2012) setara Rp 4.140 triliun, yang jauh lebih besar dari total subsidi yang diberikan semua negara berkembang untuk petaninya. Dengan subsidi yang sedemikian besar, produksi pertanian mereka meningkat dan terjadi surplus pangan yang kemudian dilepas ke pasar internasional dengan harga rendah artifisial yang menghancurkan pertanian negara berkembang. Dominasi tersebut ingin terus dipertahankan dengan menghambat upaya negara berkembang untuk melindungi petaninya.

Sikap Indonesia

Meskipun ada prasangka bahwa kerasnya India bertahan pada posisinya berkaitan dengan program populis menghadapi pemilu India pada tahun depan, sikap India tersebut sangat tepat karena menunjukkan dengan tegas pembelaan India terhadap petani kecil mereka yang menyusun lebih dari setengah lapangan pekerjaan di India. Pembelaan India terhadap petani kecilnya sudah cukup lama yang mewujud dalam peningkatan produksi pangan di India. India saat ini merupakan eksportir neto pangan. Pada tahun 2011 India mampu mengekspor beras 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai 4,2 juta ton.

Sikap India menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia yang menjadi importir belasan produk pangan dari negara lain. Kita tidak bisa menggantungkan diri pada produksi pangan dunia di masa depan. Akibat penguasaan sektor pertanian dan pangan yang semakin mengerucut ke perusahaan multinasional dan spekulan pangan, harga pangan mulai merangkak naik. Dalam 10 tahun terakhir ini harga semua serealia meningkat di atas 100 persen dan tiga krisis pangan terjadi hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Jika negara-negara maju menaati semua klausul di WTO dengan menurunkan subsidi bagi petani mereka, maka harga pangan di masa depan akan semakin tinggi lagi. Iklim yang semakin sulit diprediksi dan konversi pangan ke energi akan memperparah kondisi tersebut. 

Semoga ini menyadarkan kita dan terutama pemerintah untuk lebih memerhatikan sektor pangan dan pertanian dan melindungi petani kecil kita dari politik pangan global yang tidak adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar