PROSPEK POLITIK
2014
Ketika Agenda Pembangunan Dibajak
Sri Hartati Samhadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
DISPARITAS dan ketimpangan
menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia yang selama
ini lebih mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas
pembangunan itu sendiri. Tren ketimpangan kian memburuk, terutama sejak
krisis ekonomi 1998, dengan indeks Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan
meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada
2011. Ketimpangan terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor,
antarkelompok pendapatan.
Fenomena ketimpangan spasial yang
muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan yang kita temui 20-30 tahun lalu
tak berubah wajah, tecermin dalam meningkatnya kesenjangan Jawa-luar Jawa,
pedesaan-perkotaan, kawasan Indonesia barat-kawasan Indonesia timur,
wilayah hinterland-wilayah perbatasan, bahkan di dalam satu wilayah yang
sama.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi
juga tak dibarengi penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan
pengangguran, karena kue nasional terkonsentrasi pada kelompok 20 persen
terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok 20 persen terkaya dalam distribusi
pendapatan nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk termiskin.
Pangsa kelompok 20 persen ter kaya
terus naik dari 41,24 persen (1999) menjadi 46,45 persen (2011) dan 48,94
persen (2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk termiskin turun dari
21,22 persen (1999) menjadi 17,6 persen (2011) dan 16,88 persen (2012). Efek
tetesan ke bawah (trickle down effect) tak terjadi, yang terjadi efek muncrat
ke atas (trickle up effect).
Ketimpangan di era otda
Program desentralisasi fiskal dan
otonomi daerah (otda) secara tak langsung antara lain dimaksudkan untuk
menyebarkan pembangunan. Namun, setelah 12 tahun otda, sasaran untuk
mendekatkan pelayanan ke masyarakat dan memperbaiki akses penduduk miskin
pada kebutuhan dasar secara umum belum tercapai. Ini tecermin dari tren angka
kemiskinan di daerah.
Berbagai kajian yang pernah
dilakukan pasca-diberlakukannya desentralisasi fiskal dan otda menunjukkan,
ketimpangan antarwilayah tak banyak berubah dibandingkan sebelum
desentralisasi, bahkan ada tendensi meningkat. Lebih dari 80 persen produk
domestik bruto (PDB) nasional saat ini masih disumbangkan oleh Jawa dan
Sumatera. Meski hanya menyumbang 7 persen dari total luas wilayah daratan
Indonesia, Jawa menyumbang 57 persen dari PDB nasional.
Empat provinsi
penyumbang PDB nasional terbesar pada kuartal 1-2013 juga terdapat di Jawa,
yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, dengan sumbangan
kumulatif ke PDB nasional lebih dari 50 persen.
Kondisi ini diperkirakan Badan
Pusat Statistik tak akan berubah dalam setidaknya 30 tahun ke depan tanpa
adanya terobosan dalam kebijakan. Disparitas antarwilayah ini terus
berlangsung karena insentif ekonomi lebih banyak diberikan ke Pulau Jawa.
Pembiayaan fiskal, seperti pembangunan infrastruktur, sebagian besar juga
bias Jawa. Demikian pula Jawa juga menjadi pusat konsentrasi investasi swasta
dan asing.
Pada 2012, dari total investasi
22,75 miliar dollar AS, Jabar dan DKI 4,2 miliar dollar dan 4,1 miliar dollar
AS. Ini didukung ketersediaan infrastruktur dan juga sumber daya manusia.
Konsentrasi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) terus terjadi di
Jawa, sementara luar Jawa belum banyak bergeming dari sektor primer.
Disparitas kemiskinan lebih
mencolok lagi di tingkat kabupaten atau kota meskipun bobot desentralisasi
fiskal dan otonomi beberapa tahun terakhir semakin bergeser ke daerah tingkat
dua ini. Sebaliknya, disparitas PDRB kian mengecil antarprovinsi. Selama
kurun 2001-2010 nyaris tak ada perubahan dalam gambaran tingkat kemiskinan di
antara provinsi-provinsi di Indonesia dan hanya ada satu provinsi yang naik
kelas, dari angka kemiskinan sedang menjadi angka kemiskinan rendah.
Jumlah dan persentase penduduk
miskin beberapa tahun terakhir menjadi gambaran akutnya persoalan ketimpangan
di Indonesia. Selama 12 tahun terakhir, persentase penduduk miskin menurut
garis kemiskinan nasional hanya turun dari 19,1 persen pada 2000 menjadi 12,0
persen pada 2012 dan 11,37 persen 2013. Tren angka kemiskinan ini, menurut
OECD (Trends in Poverty and Inequality in Decentralising Indonesia, 2013),
cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, manfaat
pertumbuhan belum dinikmati secara merata oleh masyarakat.
Penurunan angka kemiskinan juga
semakin lambat, kalah cepat dibandingkan dengan negara-negara Asia lain.
Persentase penduduk miskin Indonesia—diukur dari angka pengeluaran per kapita
2 dollar AS per hari—berada di atas rata-rata negara emerging
countries lain, kecuali Kamboja dan India. Sebesar 46,1 persen penduduk
Indonesia hidup dalam kemiskinan pada 2010. Dari 121,2 juta angkatan kerja
Februari 2013, sekitar 60 persen (meningkat dari 54 persen 2010) juga bekerja
di sektor informal. Sisanya, 40 persen, pekerja sektor formal.
Tak sedikit
dari pekerja formal ini pun ada yang dilindungi oleh kontrak.
Meski angka kemiskinan di Jawa
lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain, karena mayoritas penduduk
terbesar ada di Jawa, mayoritas penduduk miskin juga terkonsentrasi di Jawa.
Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur serta Gorontalo
adalah provinsi yang secara persisten memiliki angka kemiskinan tinggi,
sementara angka kemiskinan DKI Jakarta dan Bali secara konsisten di bawah
rata-rata nasional. Papua adalah kasus khusus karena meski kaya SDA dan
memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) tinggi, angka kemiskinan
tinggi.
Konsentrasi aset
Kegagalan Indonesia mengatasi
problem ketimpangan selama ini terjadi karena kebijakan pembangunan telah
dibajak oleh kepentingan politis dan kartel usaha yang membelokkan agenda
pembangunan untuk kepentingan pribadi mereka.
Dalam bukunya, The Price
of Inequality, penerima Nobel Ekonomi Joseph E Stiglitz mengungkapkan, dari
pengamatan di banyak negara, ketimpangan pendapatan lebih sering terjadi
sebagai akibat keputusan politis ketimbang konsekuensi dari bekerjanya
kekuatan pasar atau makroekonomi. Artinya, ketimpangan adalah buah dari
kebijakan pemerintah sendiri.
Neoliberalisme telah melahirkan
klaster-klaster kartel yang sangat berkuasa. Kartel-kartel ini melakukan
segala cara untuk lobi politik dan menggunakan monopoli kekuasaannya untuk
memperbesar keuntungannya. Di Amerika, 1 persen penduduk terkaya bisa
mendikte arah bekerjanya seluruh sistem.
Hasilnya, ketimpangan melonjak,
pendapatan menurun; produktivitas, pertumbuhan serta stabilitas ekonomi itu
sendiri terganggu.
Ini juga terjadi di Indonesia.
Ekonom Ahmad Erani Yustika dalam sebuah diskusi di Kompas melihat
ketimpangan pembangunan berawal dari kesenjangan penguasaan aset (hulu),
seperti modal dan lahan. Berdasarkan data BPN, ketimpangan lahan saat ini
berada di kisaran 0,54 (Gini rasio). Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa
tanah, tambak, kebun dan properti di negara ini hanya dikuasai oleh 0,2
persen penduduk.
Di sisi lain penguasaan lahan oleh
rumah tangga petani yang jumlahnya 26,13 juta rumah tangga menurut Sensus
Pertanian 2013 (turun dari 31,17 juta rumah tangga tahun 2003) atau sekitar
44 persen penduduk Indonesia terus menyusut hingga 0,09 hektar per rumah
tangga petani. Kemiskinan masih merupakan fenomena pedesaan, dengan dominasi
penduduk miskin di sektor pertanian di pedesaan.
Erani melihat pembangunan yang
dijalankan di Indonesia selama ini ”tidak menuju ke arah yang benar dengan
kecepatan yang terukur” karena kebijakan yang diambil tidak fokus dan sarat
kepentingan kelompok. Agenda pembangunan telah dibajak oleh kepentingan
politik sehingga pembangunan terkonsentrasi pada daerah atau golongan
tertentu saja. Ini berakibat pada munculnya kesenjangan kesejahteraan.
Pemerintah juga mudah didikte
pihak luar dalam agenda-agenda pembangunan dan banyak kebijakan yang diambil
kerap kali terlepas dari bingkai besar kebijakan nasional. Contoh terakhir
adalah kebijakan mobil murah.
Ketimpangan sektoral membuat upaya
pengentasan kelompok miskin melalui migrasi dari sektor informal ke sektor
formal juga sulit berjalan. Terutama dengan terus menurunnya pangsa dan
pertumbuhan sektor industri dalam perekonomian nasional sejak 2005.
Kontribusi sektor manufaktur yang pernah mencapai 28 persen terus menyusut
menjadi sekitar 23,5 persen saat ini.
Sementara sektor pertanian yang
masih menampung tenaga kerja terbesar (44 persen dari total angkatan kerja)
hanya tumbuh 3,3-3,4 persen karena terabaikan dan dihancurkan. Perlindungan
dan insentif untuk petani terus dipereteli, sementara pemerintah kabupaten,
pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat juga saling lempar tanggung jawab
terkait infrastruktur pertanian, seperti irigasi yang kini 40 persen rusak.
Pemerintah dinilai telah
kehilangan fokus karena dibajak kepentingan politik. Kita begitu mudah dalam
didikte pihak luar dalam hal agenda-agenda pembangunan. Termasuk di antaranya
dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas internasional yang kita buat,
di mana komitmen menghilangkan fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan di
lapangan sesuai kebutuhan kita di dalam negeri.
Masalah ketimpangan, menurut
Erani, tidak pernah teratasi karena pemerintah lebih banyak bermain di hilir.
Padahal, problem ketimpangan ada di hulunya. Insentif kebijakan yang dibuat
tak tersusun baik sehingga sektor-sektor tertentu, seperti pangan dan
nonminyak bumi, mengalami kehancuran. Partisipasi juga tidak dibuka secara
lebih luas sehingga akses dan keadilan tidak menyentuh semua kelompok. Aspek
kelembagaan juga tidak didesain dengan lengkap dan ditegakkan secara penuh.
Banyak langkah yang sudah ditempuh
pemerintah untuk mengurangi ketimpangan, termasuk lewat program transmigrasi,
percepatan pembangunan daerah tertinggal, pengembangan kawasan ekonomi khusus
yang dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui ekspor
produksi industri khusus dan liberalisasi perdagangan. Selain itu,
pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Lalu kawasan
pengembangan ekonomi terpadu dan kerja sama subekonomi regional. Terakhir
Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Intinya, menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan baru di daerah, meningkatkan integrasi dan interkonektivitas
seluruh wilayah di Indonesia sehingga terjadi pemerataan pembangunan.
Sayangnya, banyak program tersebut mandek di jalan. Banyak kritik juga
ditujukan pada MP3EI. Misalnya, MP3EI dianggap masih mengutamakan ekstraksi
SDA yang sangat membahayakan lingkungan dan keselamatan rakyat. MP3EI juga
tidak disusun untuk mengoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan
kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan. Lebih
jauh, MP3EI dinilai tak mencerminkan visi nasionalisme karena kepentingan
yang diusung dianggap tidak mencerminkan kebutuhan rakyat.
Mengatasi ketimpangan tidak bisa
parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan suatu formula, pendekatan,
inovasi, terobosan baru, mulai dari perubahan paradigma kebijakan
pembangunan, ditopang kelembagaan yang mapan, infrastruktur dan insentif yang
mendukung dan pengawasan ketat dalam implementasi di lapangan.
Selama negara membiarkan agenda
pembangunan dibajak kepentingan sempit politik, kartel usaha dan pihak luar,
maka mengatasi ketimpangan hanya akan menjadi mimpi, konflik akan terus marak
dan ini akan menjadi ancaman bagi masa depan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar