Senin, 30 Desember 2013

Ketika Agenda Pembangunan Dibajak



PROSPEK POLITIK 2014

Ketika Agenda Pembangunan Dibajak

Sri Hartati Samhadi  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013


DISPARITAS dan ketimpangan menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia yang selama ini lebih mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan itu sendiri. Tren ketimpangan kian memburuk, terutama sejak krisis ekonomi 1998, dengan indeks Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada 2011. Ketimpangan terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor, antarkelompok pendapatan.

Fenomena ketimpangan spasial yang muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan yang kita temui 20-30 tahun lalu tak berubah wajah, tecermin dalam meningkatnya kesenjangan Jawa-luar Jawa, pedesaan-perkotaan, kawasan Indonesia barat-kawasan Indonesia timur, wilayah hinterland-wilayah perbatasan, bahkan di dalam satu wilayah yang sama.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tak dibarengi penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan pengangguran, karena kue nasional terkonsentrasi pada kelompok 20 persen terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok 20 persen terkaya dalam distribusi pendapatan nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk termiskin.

Pangsa kelompok 20 persen ter kaya terus naik dari 41,24 persen (1999) menjadi 46,45 persen (2011) dan 48,94 persen (2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk termiskin turun dari 21,22 persen (1999) menjadi 17,6 persen (2011) dan 16,88 persen (2012). Efek tetesan ke bawah (trickle down effect) tak terjadi, yang terjadi efek muncrat ke atas (trickle up effect).

Ketimpangan di era otda

Program desentralisasi fiskal dan otonomi daerah (otda) secara tak langsung antara lain dimaksudkan untuk menyebarkan pembangunan. Namun, setelah 12 tahun otda, sasaran untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat dan memperbaiki akses penduduk miskin pada kebutuhan dasar secara umum belum tercapai. Ini tecermin dari tren angka kemiskinan di daerah.

Berbagai kajian yang pernah dilakukan pasca-diberlakukannya desentralisasi fiskal dan otda menunjukkan, ketimpangan antarwilayah tak banyak berubah dibandingkan sebelum desentralisasi, bahkan ada tendensi meningkat. Lebih dari 80 persen produk domestik bruto (PDB) nasional saat ini masih disumbangkan oleh Jawa dan Sumatera. Meski hanya menyumbang 7 persen dari total luas wilayah daratan Indonesia, Jawa menyumbang 57 persen dari PDB nasional. 

Empat provinsi penyumbang PDB nasional terbesar pada kuartal 1-2013 juga terdapat di Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, dengan sumbangan kumulatif ke PDB nasional lebih dari 50 persen.

Kondisi ini diperkirakan Badan Pusat Statistik tak akan berubah dalam setidaknya 30 tahun ke depan tanpa adanya terobosan dalam kebijakan. Disparitas antarwilayah ini terus berlangsung karena insentif ekonomi lebih banyak diberikan ke Pulau Jawa. Pembiayaan fiskal, seperti pembangunan infrastruktur, sebagian besar juga bias Jawa. Demikian pula Jawa juga menjadi pusat konsentrasi investasi swasta dan asing.

Pada 2012, dari total investasi 22,75 miliar dollar AS, Jabar dan DKI 4,2 miliar dollar dan 4,1 miliar dollar AS. Ini didukung ketersediaan infrastruktur dan juga sumber daya manusia. Konsentrasi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) terus terjadi di Jawa, sementara luar Jawa belum banyak bergeming dari sektor primer.

Disparitas kemiskinan lebih mencolok lagi di tingkat kabupaten atau kota meskipun bobot desentralisasi fiskal dan otonomi beberapa tahun terakhir semakin bergeser ke daerah tingkat dua ini. Sebaliknya, disparitas PDRB kian mengecil antarprovinsi. Selama kurun 2001-2010 nyaris tak ada perubahan dalam gambaran tingkat kemiskinan di antara provinsi-provinsi di Indonesia dan hanya ada satu provinsi yang naik kelas, dari angka kemiskinan sedang menjadi angka kemiskinan rendah.

Jumlah dan persentase penduduk miskin beberapa tahun terakhir menjadi gambaran akutnya persoalan ketimpangan di Indonesia. Selama 12 tahun terakhir, persentase penduduk miskin menurut garis kemiskinan nasional hanya turun dari 19,1 persen pada 2000 menjadi 12,0 persen pada 2012 dan 11,37 persen 2013. Tren angka kemiskinan ini, menurut OECD (Trends in Poverty and Inequality in Decentralising Indonesia, 2013), cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, manfaat pertumbuhan belum dinikmati secara merata oleh masyarakat.

Penurunan angka kemiskinan juga semakin lambat, kalah cepat dibandingkan dengan negara-negara Asia lain. Persentase penduduk miskin Indonesia—diukur dari angka pengeluaran per kapita 2 dollar AS per hari—berada di atas rata-rata negara emerging countries lain, kecuali Kamboja dan India. Sebesar 46,1 persen penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan pada 2010. Dari 121,2 juta angkatan kerja Februari 2013, sekitar 60 persen (meningkat dari 54 persen 2010) juga bekerja di sektor informal. Sisanya, 40 persen, pekerja sektor formal. 

Tak sedikit dari pekerja formal ini pun ada yang dilindungi oleh kontrak.
Meski angka kemiskinan di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain, karena mayoritas penduduk terbesar ada di Jawa, mayoritas penduduk miskin juga terkonsentrasi di Jawa. Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur serta Gorontalo adalah provinsi yang secara persisten memiliki angka kemiskinan tinggi, sementara angka kemiskinan DKI Jakarta dan Bali secara konsisten di bawah rata-rata nasional. Papua adalah kasus khusus karena meski kaya SDA dan memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) tinggi, angka kemiskinan tinggi.

Konsentrasi aset

Kegagalan Indonesia mengatasi problem ketimpangan selama ini terjadi karena kebijakan pembangunan telah dibajak oleh kepentingan politis dan kartel usaha yang membelokkan agenda pembangunan untuk kepentingan pribadi mereka. 

Dalam bukunya, The Price of Inequality, penerima Nobel Ekonomi Joseph E Stiglitz mengungkapkan, dari pengamatan di banyak negara, ketimpangan pendapatan lebih sering terjadi sebagai akibat keputusan politis ketimbang konsekuensi dari bekerjanya kekuatan pasar atau makroekonomi. Artinya, ketimpangan adalah buah dari kebijakan pemerintah sendiri.

Neoliberalisme telah melahirkan klaster-klaster kartel yang sangat berkuasa. Kartel-kartel ini melakukan segala cara untuk lobi politik dan menggunakan monopoli kekuasaannya untuk memperbesar keuntungannya. Di Amerika, 1 persen penduduk terkaya bisa mendikte arah bekerjanya seluruh sistem. 
Hasilnya, ketimpangan melonjak, pendapatan menurun; produktivitas, pertumbuhan serta stabilitas ekonomi itu sendiri terganggu.

Ini juga terjadi di Indonesia. Ekonom Ahmad Erani Yustika dalam sebuah diskusi di Kompas melihat ketimpangan pembangunan berawal dari kesenjangan penguasaan aset (hulu), seperti modal dan lahan. Berdasarkan data BPN, ketimpangan lahan saat ini berada di kisaran 0,54 (Gini rasio). Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa tanah, tambak, kebun dan properti di negara ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

Di sisi lain penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang jumlahnya 26,13 juta rumah tangga menurut Sensus Pertanian 2013 (turun dari 31,17 juta rumah tangga tahun 2003) atau sekitar 44 persen penduduk Indonesia terus menyusut hingga 0,09 hektar per rumah tangga petani. Kemiskinan masih merupakan fenomena pedesaan, dengan dominasi penduduk miskin di sektor pertanian di pedesaan.

Erani melihat pembangunan yang dijalankan di Indonesia selama ini ”tidak menuju ke arah yang benar dengan kecepatan yang terukur” karena kebijakan yang diambil tidak fokus dan sarat kepentingan kelompok. Agenda pembangunan telah dibajak oleh kepentingan politik sehingga pembangunan terkonsentrasi pada daerah atau golongan tertentu saja. Ini berakibat pada munculnya kesenjangan kesejahteraan.

Pemerintah juga mudah didikte pihak luar dalam agenda-agenda pembangunan dan banyak kebijakan yang diambil kerap kali terlepas dari bingkai besar kebijakan nasional. Contoh terakhir adalah kebijakan mobil murah.

Ketimpangan sektoral membuat upaya pengentasan kelompok miskin melalui migrasi dari sektor informal ke sektor formal juga sulit berjalan. Terutama dengan terus menurunnya pangsa dan pertumbuhan sektor industri dalam perekonomian nasional sejak 2005. Kontribusi sektor manufaktur yang pernah mencapai 28 persen terus menyusut menjadi sekitar 23,5 persen saat ini.

Sementara sektor pertanian yang masih menampung tenaga kerja terbesar (44 persen dari total angkatan kerja) hanya tumbuh 3,3-3,4 persen karena terabaikan dan dihancurkan. Perlindungan dan insentif untuk petani terus dipereteli, sementara pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat juga saling lempar tanggung jawab terkait infrastruktur pertanian, seperti irigasi yang kini 40 persen rusak.

Pemerintah dinilai telah kehilangan fokus karena dibajak kepentingan politik. Kita begitu mudah dalam didikte pihak luar dalam hal agenda-agenda pembangunan. Termasuk di antaranya dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas internasional yang kita buat, di mana komitmen menghilangkan fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan sesuai kebutuhan kita di dalam negeri.

Masalah ketimpangan, menurut Erani, tidak pernah teratasi karena pemerintah lebih banyak bermain di hilir. Padahal, problem ketimpangan ada di hulunya. Insentif kebijakan yang dibuat tak tersusun baik sehingga sektor-sektor tertentu, seperti pangan dan nonminyak bumi, mengalami kehancuran. Partisipasi juga tidak dibuka secara lebih luas sehingga akses dan keadilan tidak menyentuh semua kelompok. Aspek kelembagaan juga tidak didesain dengan lengkap dan ditegakkan secara penuh.

Banyak langkah yang sudah ditempuh pemerintah untuk mengurangi ketimpangan, termasuk lewat program transmigrasi, percepatan pembangunan daerah tertinggal, pengembangan kawasan ekonomi khusus yang dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui ekspor produksi industri khusus dan liberalisasi perdagangan. Selain itu, pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Lalu kawasan pengembangan ekonomi terpadu dan kerja sama subekonomi regional. Terakhir Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Intinya, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah, meningkatkan integrasi dan interkonektivitas seluruh wilayah di Indonesia sehingga terjadi pemerataan pembangunan. Sayangnya, banyak program tersebut mandek di jalan. Banyak kritik juga ditujukan pada MP3EI. Misalnya, MP3EI dianggap masih mengutamakan ekstraksi SDA yang sangat membahayakan lingkungan dan keselamatan rakyat. MP3EI juga tidak disusun untuk mengoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan. Lebih jauh, MP3EI dinilai tak mencerminkan visi nasionalisme karena kepentingan yang diusung dianggap tidak mencerminkan kebutuhan rakyat.

Mengatasi ketimpangan tidak bisa parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan suatu formula, pendekatan, inovasi, terobosan baru, mulai dari perubahan paradigma kebijakan pembangunan, ditopang kelembagaan yang mapan, infrastruktur dan insentif yang mendukung dan pengawasan ketat dalam implementasi di lapangan.

Selama negara membiarkan agenda pembangunan dibajak kepentingan sempit politik, kartel usaha dan pihak luar, maka mengatasi ketimpangan hanya akan menjadi mimpi, konflik akan terus marak dan ini akan menjadi ancaman bagi masa depan NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar