Sabtu, 28 Desember 2013

2014, Nalar Tahun Politik

2014, Nalar Tahun Politik

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA,  27 Desember 2013

  

PERALIHAN tahun sebentar lagi tiba. Tahun 2014 bukan saja penanda kita memasuki tahun baru, meninggalkan 2013 dengan segenap persoalan dan banyak kenangan yang tertambatkan. Tahun 2014 dalam konteks kebangsaan juga dianggap sebagai tahun politik. Tahun di mana kita akan meyelenggarakan hajat nasional lima tahunan untuk menentukan wakil rakyat dan presiden negeri kepulauan lima tahun ke depan.

Keliru dalam menjatuhkan pilihan, bukan saja eksistensi partai yang dipertaruhkan, juga takdir bangsa ke depan akan semakin tidak jelas wujudnya. Tidak saja nasib kita sebagi bagian dari bangsa yang diuji, juga keberadaan bangsa itu sendiri yang menjadi meja perjudiannya.

Maka peralihan tahun bukan hanya momen menggetarkan untuk melakukan refl eksi secara personal, melainkan harus juga dijadikan momentum kebangsaan untuk merefl eksikan tentang perjalanan bangsa yang telah memasuki usia ke 68 tahun. Bangsa yang tempo hari diproklamasikan Bung Karno dan Mohamad Hatta dalam waktu sesingkatsingkatnya dan menyisakan banyak hal yang justru harus diselesaikan oleh generasi selanjutnya.

Peralihan tahun bukan sekadar beralihnya masa lalu ke masa depan, melainkan secara substansial adalah peralihan daya kesadaran, peralihan mata pandang dari sesuatu yang negatif ke arah medan hidup yang positif. Dari sikap pesimistik menuju warna mentalitas optimistik yang penuh pertimbangan dengan tetap mendahulukan akal sehat dalam melakukan tindakan, termasuk tindakan politik.

Strategi kebudayaan

Sebuah peralihan tahun yang mengandaikan kita melakukan renungan kebangsaan secara komprehensif untuk dijadikan pijakan utama dalam menyusun langkah ke depan dengan tantangan yang semakin kompleks dan rumit. Mengandaikan istilah C. A van Peursen hadirnya strategi kebudayaan yang kontekstual dan bisa menjawab persoalan kemanusiaan dan kebangsaan kita.

Terdapat tiga tahapan kebudayaan, tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pada tahap yang ketiga diperlukan strategi-strategi agar kebudayaan ke depan bisa berjalan sempurna. Strategi inilah, kata Van Peursen, perlu diperhatikan untuk mencermati ketegangan antara sikap terbuka dengan sikap tertutup dalam hubungan antara manusia dan kekuasaan-kekuasaan di sekitarnya yang saling mempengaruhi.

Strategi kebudayaan seperti itu menghajatkan hadirnya kesadaran manusia untuk merenungkan hakikat waktu, memikirkan  perpindahan tahun. Bahwa manusia dan bangsa akan maju melampaui tahap mistis dan ontologis manakala punya keinsyafan memasuki jantung penghayatan terhadap waktu. Jaquetta Hawkes mengatakan, “.... Kera-kera dapat menjelma sebagai tukang reparasi arloji jika mereka mengembangkan kesadaran tentang waktu.“

Saya ingat tulisan Ernst Cassirer dalam Essay on Man-nya yang mencatat bahwa manusia mustahil melepaskan diri dari dimensi waktu dan dalam bingkai waktulah realitas manusia dapat dipahami dan menjadi ‘ada’ untuk kemudian meraih makna. Mengembangkan diri mencapai kematangannya.

Senapas dengan itu, Imam Ali menenggarai, “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin kembali besok hari.”

Kesadaran terhadap waktu yang bakal mampu mendefinisikan `apa' dan `siapa' kita ke depan. Merumuskan konsep diri (dan bangsa) yang lebih jelas dan terarah. Mungkin pertanyaan `apa' (ontologis) tidak terlampau sulit untuk dijawab sebab hakikatnya kita sama sebagai manusia, justru yang menantang adalah `siapa' (aksiologis).

Kata Hannah Arendt, pertanyaan kedua menghajatkan intensitas pergulatan hidup yang dalam praksisnya bukan sekadar menghindar dari kete rasingan dialektika (Hegel) dan keterasingan ekonomi yang bersumber dari sentimen kapitalisme (Marx), namun adalah berkelit dengan cermat dari `keterasingan eksistensial' berupa abainya kita mewujudkan kaadaban publik. Bermula dari lenyapnya kita sebagai pribadi politik autentik sesuai dengan khitahnya, tersekap keberisi kan politik kotor dan berjangka pendek.

Menyelesaikan pekerjaan rumah

Harus kita akui, bahwa ada banyak PR (pekerjaan rumah) tahun 2013 yang belum diselesaikan secara tuntas. Sebut saja hukum yang tidak mewa jahkan rupa keadilan. Politik yang kehilangan elan vitalnya sehingga hanya menyisakan kegaduhan yang membuat masyara kat pemilih menjadi semakin apatis dengan para wakilnya. Terbukti, hampir pada setiap pemilihan kepala daerah yang keluar sebagai pemenang adalah golput, partisipasi pemilih terus menurun.

Di atas medan politik yang tidak berprestasi, masih juga terdengar saling lempar perbincangan yang alih-alih memberikan pencerdasan justru kian jauh dari nalar cerdas. Lebih mengenaskan lagi partai-partai yang selama ini mengusung citra bersih dan mengagungkan nilai-nilai Tuhan karena mengarak spirit dakwah di dalamnya ternyata takdirnya tidak jauh berbeda: sama-sama korup dan mengembangbiakan politik transaksional. Jualan ‘sapi’, memburu perempuan cantik, dan terus berkhotbah penuh pencitraan.

Sudut ekonomi tidak mengalirkan kesejahteraan. Ruang sosial, masih juga dipenuhi tidak saja kekerasan simbolik, namun juga kekerasan fisik. ‘Dialog’ dan diskursus memadai belum dijadikan jendela dalam menyelesaikan beragam perbedaan. Pluralisme dan multikulturalisme masih dianggap sebagai ancaman bahkan negara alih-alih menjadi wasit justru seringkali melakukan pembiaran bahkan pada titik tertentu pemihakan kepada sebagian kelompok.

Persoalan kekerasan yang mengatasnamakan agama masih juga berlangsung sepanjang 2013. Agama yang semestinya menjadi medan religius yang mendatangkan fajar kedamaian selaras dengan khitahnya sebagai penebar kasih sayang kepada semesta, malah acap kali menjadi ajang menista satu dengan lainnya. Lebih tragis lagi negara justru abai menjadi penengah di antara semua yang bertikai itu.

Sebelum semua pekerjaan itu terurai dengan saksama, tidak terasa tahun 2014 akan segera tiba. Semuanya terus mengalir. Kita tetap bermunajat, semoga alirannya membawa faedah. Tahun 2014 menjadi tahun politik yang berjangkar pada akal waras. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar