2014,
Nalar Tahun Politik
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM
Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2013
PERALIHAN tahun sebentar lagi
tiba. Tahun 2014 bukan saja penanda kita memasuki tahun baru, meninggalkan
2013 dengan segenap persoalan dan banyak kenangan yang tertambatkan. Tahun
2014 dalam konteks kebangsaan juga dianggap sebagai tahun politik. Tahun di
mana kita akan meyelenggarakan hajat nasional lima tahunan untuk menentukan
wakil rakyat dan presiden negeri kepulauan lima tahun ke depan.
Keliru dalam menjatuhkan pilihan,
bukan saja eksistensi partai yang dipertaruhkan, juga takdir bangsa ke depan
akan semakin tidak jelas wujudnya. Tidak saja nasib kita sebagi bagian dari
bangsa yang diuji, juga keberadaan bangsa itu sendiri yang menjadi meja
perjudiannya.
Maka peralihan tahun bukan hanya
momen menggetarkan untuk melakukan refl eksi secara personal, melainkan harus
juga dijadikan momentum kebangsaan untuk merefl eksikan tentang perjalanan
bangsa yang telah memasuki usia ke 68 tahun. Bangsa yang tempo hari
diproklamasikan Bung Karno dan Mohamad Hatta dalam waktu sesingkatsingkatnya
dan menyisakan banyak hal yang justru harus diselesaikan oleh generasi
selanjutnya.
Peralihan tahun bukan sekadar
beralihnya masa lalu ke masa depan, melainkan secara substansial adalah
peralihan daya kesadaran, peralihan mata pandang dari sesuatu yang negatif ke
arah medan hidup yang positif. Dari sikap pesimistik menuju warna mentalitas
optimistik yang penuh pertimbangan dengan tetap mendahulukan akal sehat dalam
melakukan tindakan, termasuk tindakan politik.
Strategi kebudayaan
Sebuah peralihan tahun yang mengandaikan
kita melakukan renungan kebangsaan secara komprehensif untuk dijadikan
pijakan utama dalam menyusun langkah ke depan dengan tantangan yang semakin
kompleks dan rumit. Mengandaikan istilah C. A van Peursen hadirnya strategi kebudayaan
yang kontekstual dan bisa menjawab persoalan kemanusiaan dan kebangsaan kita.
Terdapat tiga tahapan kebudayaan, tahap
mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pada tahap yang ketiga diperlukan
strategi-strategi agar kebudayaan ke depan bisa berjalan sempurna. Strategi inilah,
kata Van Peursen, perlu diperhatikan untuk mencermati ketegangan antara sikap
terbuka dengan sikap tertutup dalam hubungan antara manusia dan
kekuasaan-kekuasaan di sekitarnya yang saling mempengaruhi.
Strategi kebudayaan seperti itu
menghajatkan hadirnya kesadaran manusia untuk merenungkan hakikat waktu, memikirkan perpindahan tahun. Bahwa manusia dan bangsa
akan maju melampaui tahap mistis dan ontologis manakala punya keinsyafan
memasuki jantung penghayatan terhadap waktu. Jaquetta Hawkes mengatakan, “.... Kera-kera dapat menjelma sebagai
tukang reparasi arloji jika mereka mengembangkan kesadaran tentang waktu.“
Saya ingat tulisan Ernst Cassirer
dalam Essay on Man-nya yang
mencatat bahwa manusia mustahil melepaskan diri dari dimensi waktu dan dalam
bingkai waktulah realitas manusia dapat dipahami dan menjadi ‘ada’ untuk
kemudian meraih makna. Mengembangkan diri mencapai kematangannya.
Senapas dengan itu, Imam Ali
menenggarai, “Rezeki yang tidak
diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari
esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin kembali besok hari.”
Kesadaran terhadap waktu yang
bakal mampu mendefinisikan `apa' dan `siapa' kita ke depan. Merumuskan konsep
diri (dan bangsa) yang lebih jelas dan terarah. Mungkin pertanyaan `apa'
(ontologis) tidak terlampau sulit untuk dijawab sebab hakikatnya kita sama
sebagai manusia, justru yang menantang adalah `siapa' (aksiologis).
Kata Hannah Arendt, pertanyaan
kedua menghajatkan intensitas pergulatan hidup yang dalam praksisnya bukan
sekadar menghindar dari kete rasingan dialektika (Hegel) dan keterasingan
ekonomi yang bersumber dari sentimen kapitalisme (Marx), namun adalah
berkelit dengan cermat dari `keterasingan
eksistensial' berupa abainya kita mewujudkan kaadaban publik. Bermula
dari lenyapnya kita sebagai pribadi politik autentik sesuai dengan khitahnya,
tersekap keberisi kan politik kotor dan berjangka pendek.
Menyelesaikan
pekerjaan rumah
Harus kita akui, bahwa ada banyak
PR (pekerjaan rumah) tahun 2013 yang belum diselesaikan secara tuntas. Sebut
saja hukum yang tidak mewa jahkan rupa keadilan. Politik yang kehilangan elan
vitalnya sehingga hanya menyisakan kegaduhan yang membuat masyara kat pemilih
menjadi semakin apatis dengan para wakilnya. Terbukti, hampir pada setiap
pemilihan kepala daerah yang keluar sebagai pemenang adalah golput,
partisipasi pemilih terus menurun.
Di atas medan politik yang tidak
berprestasi, masih juga terdengar saling lempar perbincangan yang alih-alih
memberikan pencerdasan justru kian jauh dari nalar cerdas. Lebih mengenaskan
lagi partai-partai yang selama ini mengusung citra bersih dan mengagungkan
nilai-nilai Tuhan karena mengarak spirit dakwah di dalamnya ternyata
takdirnya tidak jauh berbeda: sama-sama korup dan mengembangbiakan politik
transaksional. Jualan ‘sapi’, memburu perempuan cantik, dan terus berkhotbah
penuh pencitraan.
Sudut ekonomi tidak mengalirkan
kesejahteraan. Ruang sosial, masih juga dipenuhi tidak saja kekerasan
simbolik, namun juga kekerasan fisik. ‘Dialog’ dan diskursus memadai belum
dijadikan jendela dalam menyelesaikan beragam perbedaan. Pluralisme dan
multikulturalisme masih dianggap sebagai ancaman bahkan negara alih-alih menjadi
wasit justru seringkali melakukan pembiaran bahkan pada titik tertentu
pemihakan kepada sebagian kelompok.
Persoalan kekerasan yang
mengatasnamakan agama masih juga berlangsung sepanjang 2013. Agama yang
semestinya menjadi medan religius yang mendatangkan fajar kedamaian selaras
dengan khitahnya sebagai penebar kasih sayang kepada semesta, malah acap kali
menjadi ajang menista satu dengan lainnya. Lebih tragis lagi negara justru
abai menjadi penengah di antara semua yang bertikai itu.
Sebelum semua pekerjaan itu terurai dengan saksama, tidak
terasa tahun 2014 akan segera tiba. Semuanya terus mengalir. Kita tetap
bermunajat, semoga alirannya membawa faedah. Tahun 2014 menjadi tahun politik
yang berjangkar pada akal waras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar