AROMA
Tim sukses mulai mengatur strategi, ahli komunikasi merancang
slogan-slogan. Elite politik pun mulai sibuk menata penampilan, memoles
wajah, menyegarkan tubuh, mendesain pakaian, mengatur cara berbicara,
melatih intonasi, dan mengasah retorika. Siapa sangka, ”penampilan”
(appearance) kini jadi ”jantung” kehidupan politik, dan ”kosmetika”
(cosmetics) adalah cara utama memanipulasi penampilan, agar tampak menarik.
Politik menjelma ”politik kosmetika” ketika ia bekerja melalui cara kerja
penampakan luar dalam menata, memoles, meningkatkan, dan memanipulasi
penampilan, untuk menghasilkan citra diri yang lengkap, sempurna, atau
ideal (ideal self image), sebagai
cara menarik perhatian pemilih.
Ketika ”politik ideologi”—yaitu
politik pertarungan ide, gagasan, keyakinan, dan makna politik—diambil alih
”politik penampakan”, penampilan, gestur, pakaian, bahasa tubuh, cara
berbicara, kepandaian retorika, olah bahasa, dan permainan tanda dijadikan
sebagai bagian ”kekuatan politik” (political power), untuk menutupi
minimalitas kekuatan substansial (kapabilitas, kecakapan, intelektualitas, kepemimpinan,
karisma) yang mungkin tak dimiliki—the
politics of cosmetic.
Seduksi politik
Strategi manipulasi penampakan
luar, penataan pakaian dan properti, setting ruang dan lingkungan
(pasar, sawah, daerah kumuh), penguasaan intonasi, pelatihan artikulasi,
pemantapan efek retorika, penajaman efek teatrikal, penyelarasan gestur dan
bahasa tubuh, pemilihan figuran dan subyek-subyek pemberi testimoni
(petani, pedagang, perajin kecil) adalah bagian dari ”kosmetika politik”
masa kini. Kosmetika adalah ”logika politik” masa kini dalam mencapai
tujuan. Ia bagian dari teknik memanggil, mengajak, merayu, membujuk, dan
seduksi (seduction). ”Politik kosmetika” adalah praktik manipulasi
penampakan luar sebagai strategi mendapatkan kekuasaan, dengan cara
mendistorsi ideologi. ”Kosmetika politik” adalah kondisi ketika paradigma
politik mengikuti esensi kosmetika, yaitu politik yang direduksi menjadi
politik penampilan luar (politics of
appearance).
Seduksi adalah strategi dalam
meyakinkan kita melalui penampakan artifisial, bukan alamiah. Ia adalah
strategi penampakan luar (strategy of appearance), yang bertumpu pada
kekuatan make up dan artifisialitas: permainan tanda, olah
penampilan, eksplorasi bentuk, manipulasi tema dan rekayasa citra. Ia
adalah tanda yang tanpa rujukan, tanda yang tercabut dari realitas, sebuah
penanda kosong (empty signifier),
yang tujuannya adalah ”mengelabui” (Baudrillard, 1990).
”Politik seduksi” adalah cara
kerja politik—kombinasi psikologi politik, komunikasi politik, dan
semiotika politik—yang mengerahkan permainan tanda-tanda permukaan dan
artifisial, untuk meyakinkan, membangun persepsi, mengubah sikap, dan
mengarahkan preferensi politik. Namun, karena ia dibangun oleh sifat
artifisialitas, kebenaran yang disampaikannya tak lain dari ”kebenaran
semu” (pseudo truth), kebenaran yang seakan-akan tampak benar.
Dalam
”politik seduksi”, aneka ingatan kolektif, mitos, legenda, monumen, tokoh
legendaris, simbol nasional, adat, kearifan lokal, tempat bersejarah,
situs, indigenous knowledge, pepatah atau pantun-pantun dikerahkan
membentuk paket-paket tanda, untuk membangun citra diri. Melalui seduksi,
misalnya, elite politik melukiskan dirinya sebagai ”titisan” para pendiri
bangsa (Soekarno, Hatta), pemurni Pancasila, atau dewa penyelamat kearifan
lokal.
”Politik seduksi” antitesis
”politik ideologi”. Politik ideologi adalah politik ”pemanggilan”
(interpellation) individu menjadi ”subyek”, yaitu yang merasa dirinya
bagian dari gagasan, konsep, slogan, atau ideologi politik (Althusser,
1976). ”Politik seduksi”, sebaliknya, ”memanggil” individu atau publik
menjadi bagian dari ”gagasan palsu” (false idea), yang menggiring mereka ke
dalam ”kesadaran palsu”, yang menerima gagasan seakan-akan benar, padahal
palsu.
Ruang politik yang didominasi cara kerja seduksi—didukung kekuatan
para taipan media elektronik—menggiring pada ”pengaburan realitas politik”
(obscuring), yaitu antara realitas dan simulasi, kebenaran dan kepalsuan.
Politik nama
Dalam warna-warni kosmetika,
hutan rimba tanda dan riuh rendah retorika politik, ada sebuah pertanyaan
mendasar: di manakah ”rakyat” (demos)? Kata ”rakyat” sering disebut oleh
hampir semua elite politik di aneka pidato, talk show, atau iklan
politik. Akan tetapi, apakah sebutan dan ”nama” merupakan jaminan terhadap
eksistensi mereka? Bukankah, kini ”rakyat” adalah sebuah nama tanpa
eksistensi, yang hanya disebut, tapi tidak eksis? Politik adalah
pertarungan menciptakan konsep, ide, gagasan, nama, atau label untuk
subyek-subyek dan bagaimana merealisasikannya dalam realitas. Politik
adalah perkara subyek dan ”pembingkaian subyek-subyek” melalui pernyataan
(enunciation), ekspresi dan citra, dan bagaimana merealisasikannya dalam
medan pengalaman nyata. Rakyat adalah satu kategori utama dan paling utama
dalam politik demokratis sehingga motif utama politik adalah ”demi rakyat”.
Ketika politik menjelma ”politik
seduksi”, rakyat justru dijadikan alat legitimasi, teknik alibi, dan media
testimoni bagi citra kekuasaan, prestasi, kapasitas, intelektualitas, dan
kepemimpinan para elite politik. Logika demokrasi sebagai segala bentuk
tindakan ”demi rakyat” kini dibalik menjadi segala bentuk penyebutan,
penamaan, dan pengerahan rakyat ”demi elite politik”. Rakyat kini direduksi
menjadi bahan baku ”kosmetika politik”.
Politik seduksi adalah ”pembingkaian
rakyat” sebagai subyek-subyek, dengan memberi mereka nama, tempat, posisi,
dan kedudukan dalam wacana (iklan, pidato, spanduk, poster, talk
show), tanpa ada realisasinya dalam dunia pengalaman nyata. Dengan kata
lain, dalam politik seduksi, rakyat ”disebut tapi tak ada eksistensinya,
diberi nama tapi tak punya ruang sosial, ditempatkan tapi tak punya bagian,
disuarakan tapi tak punya suara, dihitung tapi tak ada harganya (Ranciere,
1995). Demokrasi yang dibangun di atas cara kerja politik seduksi menempatkan
rakyat pada posisi terbalik. Demokrasi sebagai ”kekuasaan di tangan rakyat”
kini bekerja sebaliknya, ”kekuasaan memanfaatkan rakyat”.
Konsep demos menjelma mythos karena
eksistensi rakyat hanya dalam cerita, narasi, plot, nama, sebutan, atau karakter,
tetapi kekuasaannya (cratio) sungguh telah direduksi atau malah dilucuti,
jadi sekadar ”alat” mendapatkan kekuasaan, bukan pemegang kekuasaan.
Menjelang Pemilu 2014, ada dua
paradigma politik yang bersaing, dalam relasinya dengan eksistensi rakyat.
Pertama, ”politik seduksi” , yang menjadikan rakyat bahan baku kosmetika
politik, sebagai cara menggiring mereka dalam menentukan pilihan politik.
Kedua, ”politik partisipasi”,
yaitu politik ”mendatangi” rakyat ke ruang-ruang terpencil, kumuh, sumpek,
dan bau, untuk mendengarkan keluhan, keinginan, dan aspirasi mereka.
Pertarungan politik ke depan akan membuktikan apakah ”politik
kosmetika”—berupa eksploitasi dan manipulasi penampakan luar, tanda dan
citra—masih efektif untuk menarik pemilih dan partisan, khususnya kaum
muda. Atau, jangan-jangan ”gairah politik” rakyat hanya dapat dibangkitkan
melalui ”politik realitas”, yaitu cara kerja politik yang menyertakan
rakyat sebagai bagian realitas harian, melalui aneka tindakan nyata, untuk
memanifestasikan konsep ”kekuasaan rakyat” secara konkret. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar