Minggu, 15 Desember 2013

Tantangan Caleg Perempuan

Tantangan Caleg Perempuan
Santi Rosita Devi  ;   Peneliti Junior Bidang Sosial,
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
SINAR HARAPAN,  14 Desember 2013

  

“Caleg tidak hanya bersaing di ranah antarpartai, tetapi juga intrapartai.”

Pada 2014 Indonesia akan mengadakan hajatan besar, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Salah satu isu yang menarik untuk dibahas adalah persoalan kuota calon legislatif (caleg) perempuan sebanyak 30 persen. Kuota ini ditujukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah politik.

Indonesia telah menerapkan kuota caleg perempuan minimal 30 persen dalam dua pileg sebelumnya, yaitu Pileg 2004 dan 2009. Pada Pileg 2004, ada 65 caleg perempuan yang terpilih duduk di DPR.

Pada Pileg 2009, terpilih 103 caleg perempuan. Namun, kedua jumlah tersebut masih jauh dari dua kuota 30 persen perempuan yang sudah ditetapkan. Hal ini karena persentasenya baru 11 dan 18 persen dari total anggota DPR per periode.

Menjelang Pileg 2014, terdapat pula peraturan perundang-undangan mengenai kuota caleg perempuan 30 persen, yakni UU No 8 Tahun 2012. Sebagai pelengkapnya, KPU juga membuat beberapa Peraturan KPU (PKPU). Dalam PKPU terdapat beberapa pasal yang mendukung upaya untuk meningkatkan representasi perempuan di ranah politik.

Pertama, PKPU No 7 Tahun 2013 tentang Aturan Pencalonan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan ini menegaskan keharusan kuota perempuan sebanyak 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil). PKPU ini juga mengatur nomor urut, di mana dalam setiap tiga bakal calon, harus ada satu nama calon perempuan.

Kedua, PKPU No 15 Tahun 2013 yang mengatur tentang Pedoman Kampanye. Menurut PKPU ini, baliho dan/atau spanduk tidak boleh memasang foto caleg, tetapi hanya gambar partainya. Selain itu, peraturan ini membatasi penggunaan alat peraga kampanye. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan mampu “melindungi” caleg perempuan karena ketidakmampuan mereka untuk melakukan publikasi besar-besaran.

Ketiga, PKPU No 17 Tahun 2013, mengenai Pelaporan Dana Kampanye. Dengan berubahnya sistem pemilihan berdasarkan nomor urut, kontestasi politik di Indonesia semakin liar. Caleg tidak hanya bersaing di ranah antarpartai, tetapi juga intrapartai. Peraturan ini diharapkan mampu membatasi dana kampanye. Caleg yang punya dana terbatas, diharapkan tidak kalah dengan para caleg kaya.

Persoalan Caleg Perempuan

Ada banyak persoalan yang menjadi tantangan caleg perempuan berlaga pada pemilu, terutama terkait keterbatasan modal politik, modal sosial, dan modal ekonomi.

Modal politik ini mengacu pada adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi rakyat. Menjelang Pileg 2014, modal politik caleg perempuan masih rendah. Hal ini terbukti dari masih sedikitnya caleg perempuan yang ikut dalam kepengurusan partai, yakni 747 orang atau hanya 30,3 persen dari total caleg (Formappi, 2013).

Kedua, modal sosial. Modal sosial terkait relasi sosial antara caleg dengan konstituen di daerah pemilihannya (dapil). Modal sosial yang dimiliki caleg perempuan pada Pileg 2014 juga masih rendah. Hal ini (juga) terkait modal politik, yakni mengenai rekrutmen partai politik (parpol).

Pola rekrutmen parpol di Indonesia masih buruk. Ini terlihat dari perekrutan yang masih Jakartasentris dan pertimbangan latar belakang yang dianggap unggul.

Data Formappi menunjukkan, sebesar 58,7 persen caleg perempuan masih berdomisili di luar dapilnya. Oleh karena itu, tidak ada kedekatan psikologis antara caleg dengan konstituennya. Lain halnya apabila ia merupakan calon petahana, yang memiliki kesempatan lebih besar untuk membangun jaringan sosial di dapilnya. Atas dasar inilah, parpol menggunakan jalan pintas dengan merekrut mereka yang berlatar belakang artis dan/atau pengusaha.

Kemudian modal ekonomi. Secara jelas, modal ekonomi mengacu pada dana yang dimiliki dan/ atau dikeluarkan seorang caleg untuk biaya kampanye.
Terkait masalah biaya politik yang semakin mahal di Indonesia, untuk menjadi seorang anggota DPR, setidaknya caleg harus mengeluarkan dana sebesar Rp 1-6 miliar. Di sisi lain, persoalan dana kampanye bagi caleg perempuan merupakan persoalan yang rumit dibandingkan caleg laki-laki.

Tidak seperti caleg laki-laki, caleg perempuan tidak berani habis-habisan dalam kampanye. Caleg perempuan tidak bisa mengandalkan sponsor karena masih kurangnya kepercayaan pemberi sponsor terhadap kualitas serta peluang terpilih caleg perempuan. Caleg laki-laki lebih dipercaya karena dianggap lebih berpengalaman dalam bidang politik.

Selain itu, caleg perempuan tidak berani mencalonkan diri kembali akibat trauma karena kehilangan banyak uang, pascapencalonannya pada Pileg 2009.

Meskipun tidak sebesar dampak yang diakibatkan permasalahan-permasalahan di atas, persoalan budaya juga masih membayangi para caleg perempuan. Budaya yang dimaksud adalah pola patriarki, yang masih kaku dan tradisional. 
Pola ini melipatgandakan halangan bagi perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik terkait proses kebijakan. Budaya ini berdampak pada ketidakpercayaan diri perempuan untuk terjun dalam dunia politik.

Rekomendasi

Terkait permasalahan tantangan yang dihadapi caleg perempuan, berikut beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya pengkajian ulang atau elaborasi UU dan beberapa peraturan lainnya. Hal ini untuk menanggulangi atau meminimalkan kendala yang dihadapi para caleg perempuan dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Selain itu, diperlukan pengawasan dan penerapan kebijakan terkait peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya terkait pemilu dan partai politik. Pengawasan kebijakan dapat dilakukan KPU dan organisasi masyarakat (LSM).
Dalam rangka penerapan, sebaiknya KPU menyosialisasikan yang lebih intens kepada partai politik, khususnya para caleg terkait. Ini berangkat dari pengalaman, dalam beberapa kasus, caleg perempuan justru tidak tahu peraturan-peraturan tersebut.

Kedua, pembenahan rekrutmen parpol. Perekrutan yang buruk adalah hulu permasalahan caleg perempuan. Ini terkait fungsi parpol sebagai sarana pendidikan politik dan satu-satunya pintu masuk ke ranah parlemen yang diakui negara.

Apabila partai dapat menjalankan fungsinya dengan baik, terutama memfasilitasi partisipasi perempuan dalam politik dan meningkatkan kapasitas para caleg perempuan, alasan dan persepsi yang negatif mengenai kualitas caleg perempuan untuk duduk di parlemen, tidak akan muncul lagi di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar