“Caleg tidak hanya
bersaing di ranah antarpartai, tetapi juga intrapartai.”
Pada 2014 Indonesia akan mengadakan hajatan
besar, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Salah satu isu yang menarik
untuk dibahas adalah persoalan kuota calon legislatif (caleg) perempuan
sebanyak 30 persen. Kuota ini ditujukan untuk meningkatkan partisipasi
perempuan di ranah politik.
Indonesia telah menerapkan kuota caleg
perempuan minimal 30 persen dalam dua pileg sebelumnya, yaitu Pileg 2004
dan 2009. Pada Pileg 2004, ada 65 caleg perempuan yang terpilih duduk di
DPR.
Pada Pileg 2009, terpilih 103 caleg
perempuan. Namun, kedua jumlah tersebut masih jauh dari dua kuota 30 persen
perempuan yang sudah ditetapkan. Hal ini karena persentasenya baru 11 dan
18 persen dari total anggota DPR per periode.
Menjelang Pileg 2014, terdapat pula
peraturan perundang-undangan mengenai kuota caleg perempuan 30 persen,
yakni UU No 8 Tahun 2012. Sebagai pelengkapnya, KPU juga membuat beberapa
Peraturan KPU (PKPU). Dalam PKPU terdapat beberapa pasal yang mendukung
upaya untuk meningkatkan representasi perempuan di ranah politik.
Pertama, PKPU No 7 Tahun 2013 tentang Aturan
Pencalonan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan ini
menegaskan keharusan kuota perempuan sebanyak 30 persen di setiap daerah
pemilihan (dapil). PKPU ini juga mengatur nomor urut, di mana dalam setiap
tiga bakal calon, harus ada satu nama calon perempuan.
Kedua, PKPU No 15 Tahun 2013 yang mengatur
tentang Pedoman Kampanye. Menurut PKPU ini, baliho dan/atau spanduk tidak
boleh memasang foto caleg, tetapi hanya gambar partainya. Selain itu,
peraturan ini membatasi penggunaan alat peraga kampanye. Dengan adanya
peraturan ini, diharapkan mampu “melindungi” caleg perempuan karena
ketidakmampuan mereka untuk melakukan publikasi besar-besaran.
Ketiga, PKPU No 17 Tahun 2013, mengenai
Pelaporan Dana Kampanye. Dengan berubahnya sistem pemilihan berdasarkan
nomor urut, kontestasi politik di Indonesia semakin liar. Caleg tidak hanya
bersaing di ranah antarpartai, tetapi juga intrapartai. Peraturan ini
diharapkan mampu membatasi dana kampanye. Caleg yang punya dana terbatas,
diharapkan tidak kalah dengan para caleg kaya.
Persoalan Caleg Perempuan
Ada banyak persoalan yang menjadi tantangan
caleg perempuan berlaga pada pemilu, terutama terkait keterbatasan modal
politik, modal sosial, dan modal ekonomi.
Modal politik ini mengacu pada adanya
dukungan politik, baik dari rakyat maupun kekuatan-kekuatan politik yang
dipandang sebagai representasi rakyat. Menjelang Pileg 2014, modal politik
caleg perempuan masih rendah. Hal ini terbukti dari masih sedikitnya caleg
perempuan yang ikut dalam kepengurusan partai, yakni 747 orang atau hanya
30,3 persen dari total caleg (Formappi, 2013).
Kedua, modal sosial. Modal sosial terkait
relasi sosial antara caleg dengan konstituen di daerah pemilihannya
(dapil). Modal sosial yang dimiliki caleg perempuan pada Pileg 2014 juga
masih rendah. Hal ini (juga) terkait modal politik, yakni mengenai
rekrutmen partai politik (parpol).
Pola rekrutmen parpol di Indonesia masih
buruk. Ini terlihat dari perekrutan yang masih Jakartasentris dan
pertimbangan latar belakang yang dianggap unggul.
Data Formappi menunjukkan, sebesar 58,7
persen caleg perempuan masih berdomisili di luar dapilnya. Oleh karena itu,
tidak ada kedekatan psikologis antara caleg dengan konstituennya. Lain
halnya apabila ia merupakan calon petahana, yang memiliki kesempatan lebih
besar untuk membangun jaringan sosial di dapilnya. Atas dasar inilah,
parpol menggunakan jalan pintas dengan merekrut mereka yang berlatar
belakang artis dan/atau pengusaha.
Kemudian modal ekonomi. Secara jelas, modal
ekonomi mengacu pada dana yang dimiliki dan/ atau dikeluarkan seorang caleg
untuk biaya kampanye.
Terkait masalah biaya politik yang semakin
mahal di Indonesia, untuk menjadi seorang anggota DPR, setidaknya caleg
harus mengeluarkan dana sebesar Rp 1-6 miliar. Di sisi lain, persoalan dana
kampanye bagi caleg perempuan merupakan persoalan yang rumit dibandingkan
caleg laki-laki.
Tidak seperti caleg laki-laki, caleg
perempuan tidak berani habis-habisan dalam kampanye. Caleg perempuan tidak
bisa mengandalkan sponsor karena masih kurangnya kepercayaan pemberi
sponsor terhadap kualitas serta peluang terpilih caleg perempuan. Caleg
laki-laki lebih dipercaya karena dianggap lebih berpengalaman dalam bidang
politik.
Selain itu, caleg perempuan tidak berani
mencalonkan diri kembali akibat trauma karena kehilangan banyak uang,
pascapencalonannya pada Pileg 2009.
Meskipun tidak sebesar dampak yang
diakibatkan permasalahan-permasalahan di atas, persoalan budaya juga masih
membayangi para caleg perempuan. Budaya yang dimaksud adalah pola
patriarki, yang masih kaku dan tradisional.
Pola ini melipatgandakan
halangan bagi perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik terkait proses
kebijakan. Budaya ini berdampak pada ketidakpercayaan diri perempuan untuk
terjun dalam dunia politik.
Rekomendasi
Terkait permasalahan tantangan yang dihadapi
caleg perempuan, berikut beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya pengkajian
ulang atau elaborasi UU dan beberapa peraturan lainnya. Hal ini untuk
menanggulangi atau meminimalkan kendala yang dihadapi para caleg perempuan
dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Selain itu, diperlukan pengawasan dan
penerapan kebijakan terkait peraturan perundang-undangan yang ada,
khususnya terkait pemilu dan partai politik. Pengawasan kebijakan dapat
dilakukan KPU dan organisasi masyarakat (LSM).
Dalam rangka penerapan, sebaiknya KPU
menyosialisasikan yang lebih intens kepada partai politik, khususnya para
caleg terkait. Ini berangkat dari pengalaman, dalam beberapa kasus, caleg
perempuan justru tidak tahu peraturan-peraturan tersebut.
Kedua, pembenahan rekrutmen parpol.
Perekrutan yang buruk adalah hulu permasalahan caleg perempuan. Ini terkait
fungsi parpol sebagai sarana pendidikan politik dan satu-satunya pintu
masuk ke ranah parlemen yang diakui negara.
Apabila partai dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, terutama memfasilitasi partisipasi perempuan dalam politik dan
meningkatkan kapasitas para caleg perempuan, alasan dan persepsi yang
negatif mengenai kualitas caleg perempuan untuk duduk di parlemen, tidak
akan muncul lagi di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar