Minggu, 15 Desember 2013

Dari Pemilih Tradisional ke Rasional-Kritis

Dari Pemilih Tradisional ke Rasional-Kritis
Fajar Kurnianto  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
SINAR HARAPAN,  14 Desember 2013
  


“Rakyat diberi ruang yang sangat luas untuk ikut menjadi penentu.”

Hajatan demokrasi berupa pemilihan umum (pemilu) di negeri ini kurang dari setahun lagi. Dua belas partai politik ditambah tiga partai lokal Aceh akan bersaing “memperebutkan” kekuasaan. Rakyat akan kembali menjadi “subjek” yang menentukan bangsa dan negara ini ke depan.

Jika selama lima tahun terakhir rakyat merasa dikecewakan oleh para politikus dan partai politik, inilah momentum yang tepat untuk “menghukum”. Rakyat harus menjadi pemilih cerdas dan kritis, bukan lagi tradisional atau skeptis.

Tipologi Pemilih

Terkait pemilih, setidaknya ada empat tipe. Pertama, pemilih tradisional. Pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan.

Pemilih ini sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik.
Biasanya, pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos, dan nilai historis sebuah partai politik atau kontestan. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye (Rohrscheneider, 2002).

Kedua, pemilih skeptis. Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang karena ikatan ideologis mereka memang rendah.

Mereka juga kurang memedulikan platform dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan siapa pun dan partai apa pun yang memenangi pemilu tidak akan membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan.

Ketiga, pemilih rasional. Pemilih ini memiliki orientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Pemilih ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan.

Faktor asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan, tetapi tidak signifikan. Pemilih ini ingin melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, “tradisional”, dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan sebuah partai atau seorang kontestan daripada paham dan nilai partai atau kontestan.

Keempat, pemilih kritis. Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan pemasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme.

Pertama, menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak kemudian mengkritik kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan (Firmanzah, Marketing Politik, 2008).

Perubahan Pemilih

Kali ini rakyat perlu cerdas dan kritis dalam memilih. Sudah saatnya rakyat keluar dari zona “pemilih tradisional” apalagi “pemilih skeptis”. Menjadi pemilih rasional dan kritis berarti rakyat benar-benar menjadi “subjek” yang aktif, menjadi “manusia politik” yang sadar bahwa mereka adalah faktor utama yang ikut menentukan nasib bangsa dan negara ke depan.

Kita tidak lagi hidup di zaman Orde Baru (Orba) yang otoriter dan tidak demokratis, meskipun secara prosedural menggelar pemilu. Pada zaman itu, demokrasi sekadar prosedur rutin pemilu. Suara-suara kritis dibungkam, kebebasan berpendapat dan berekspresi dimatikan.

Zaman telah berubah. Di alam demokrasi seperti saat ini, rakyat diberi ruang yang sangat luas untuk ikut menjadi penentu. Rakyat punya keinginan untuk perubahan dan itu mutlak disuarakan. Bukan hanya dengan datang memilih ke bilik suara, tetapi juga melihat secara jernih, rasional, dan kritis, siapa yang akan ia coblos di bilik suara.

Pemilih tradisional tentu tidak terlalu peduli dengan hal ini. Mereka sudah cukup percaya dengan partainya dan yakin bahwa program partai pasti baik. Dalam bahasa agama, pemilih ini dapat disebut “pemilih taklid” yang memilih berdasarkan “iman”. Pemilih jenis ini belumlah menjadi demos yang “memberi”, tetapi “menerima”. Demos ini sekadar partisipan di hari pencoblosan.

Demos yang saat ini banyak diperlukan tentu adalah demos yang rasional dan kritis. Memilih bukan berdasarkan semata-mata ideologi suatu partai atau figur dan ketokohan ketua partai. Pemilih rasional dan kritis akan melihat program dan mempertimbangkannya dengan matang.

Dengan demikian, publik seperti lebur dalam politik, menjadi bagian aktif yang terus-menerus mencermati, memonitor, dan mengontrol partai politik sehingga partai politik akan tetap berada di jalurnya, merealisasikan program-programnya. Jika kita kenal ungkapan “perubahan di tangan kita”, tentu ini meniscayakan adanya peran aktif publik yang rasional dan kritis.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar