“Rakyat diberi ruang
yang sangat luas untuk ikut menjadi penentu.”
Hajatan demokrasi berupa pemilihan umum
(pemilu) di negeri ini kurang dari setahun lagi. Dua belas partai politik
ditambah tiga partai lokal Aceh akan bersaing “memperebutkan” kekuasaan.
Rakyat akan kembali menjadi “subjek” yang menentukan bangsa dan negara ini
ke depan.
Jika selama lima tahun terakhir rakyat
merasa dikecewakan oleh para politikus dan partai politik, inilah
momentum yang tepat untuk “menghukum”. Rakyat harus menjadi pemilih cerdas
dan kritis, bukan lagi tradisional atau skeptis.
Tipologi Pemilih
Terkait pemilih, setidaknya ada empat tipe.
Pertama, pemilih tradisional. Pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang
tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang
kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan.
Pemilih ini sangat mengutamakan kedekatan
sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk
memilih sebuah partai politik.
Biasanya, pemilih jenis ini lebih
mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos, dan nilai historis
sebuah partai politik atau kontestan. Pemilih tradisional adalah jenis
pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye (Rohrscheneider,
2002).
Kedua, pemilih skeptis. Pemilih ini tidak
memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau
seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang
penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih
jenis ini sangat kurang karena ikatan ideologis mereka memang rendah.
Mereka juga kurang memedulikan platform dan
kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan
suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka
berkeyakinan siapa pun dan partai apa pun yang memenangi pemilu tidak
akan membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan.
Ketiga, pemilih rasional. Pemilih ini
memiliki orientasi tinggi pada “policy-problem-solving”
dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih lebih mengutamakan
kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya.
Pemilih ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan
ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan.
Faktor asal-usul, nilai tradisional, budaya,
agama, dan psikografis memang dipertimbangkan, tetapi tidak signifikan. Pemilih
ini ingin melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, “tradisional”, dan
ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Hal yang terpenting bagi jenis
pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan sebuah partai
atau seorang kontestan daripada paham dan nilai partai atau kontestan.
Keempat, pemilih kritis. Pemilih jenis ini
merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai
politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan pemasalahan bangsa maupun
tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Proses
untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme.
Pertama, menjadikan nilai ideologis sebagai
pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak
kemudian mengkritik kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan.
Kedua, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan baru
kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang melatarbelakangi
pembuatan sebuah kebijakan (Firmanzah,
Marketing Politik, 2008).
Perubahan Pemilih
Kali ini rakyat perlu cerdas dan kritis
dalam memilih. Sudah saatnya rakyat keluar dari zona “pemilih tradisional”
apalagi “pemilih skeptis”. Menjadi pemilih rasional dan kritis berarti
rakyat benar-benar menjadi “subjek” yang aktif, menjadi “manusia politik”
yang sadar bahwa mereka adalah faktor utama yang ikut menentukan nasib
bangsa dan negara ke depan.
Kita tidak lagi hidup di zaman Orde
Baru (Orba) yang otoriter dan tidak demokratis, meskipun secara prosedural
menggelar pemilu. Pada zaman itu, demokrasi sekadar prosedur rutin pemilu.
Suara-suara kritis dibungkam, kebebasan berpendapat dan berekspresi
dimatikan.
Zaman telah berubah. Di alam demokrasi
seperti saat ini, rakyat diberi ruang yang sangat luas untuk ikut menjadi
penentu. Rakyat punya keinginan untuk perubahan dan itu mutlak disuarakan.
Bukan hanya dengan datang memilih ke bilik suara, tetapi juga melihat
secara jernih, rasional, dan kritis, siapa yang akan ia coblos di bilik
suara.
Pemilih tradisional tentu tidak terlalu
peduli dengan hal ini. Mereka sudah cukup percaya dengan partainya dan
yakin bahwa program partai pasti baik. Dalam bahasa agama, pemilih ini
dapat disebut “pemilih taklid” yang memilih berdasarkan “iman”. Pemilih jenis
ini belumlah menjadi demos yang “memberi”, tetapi “menerima”. Demos
ini sekadar partisipan di hari pencoblosan.
Demos yang saat ini banyak diperlukan tentu
adalah demos yang rasional dan kritis. Memilih bukan berdasarkan
semata-mata ideologi suatu partai atau figur dan ketokohan ketua partai.
Pemilih rasional dan kritis akan melihat program dan mempertimbangkannya
dengan matang.
Dengan demikian, publik seperti lebur dalam
politik, menjadi bagian aktif yang terus-menerus mencermati, memonitor, dan
mengontrol partai politik sehingga partai politik akan tetap berada di
jalurnya, merealisasikan program-programnya. Jika kita kenal ungkapan
“perubahan di tangan kita”, tentu ini meniscayakan adanya peran aktif
publik yang rasional dan kritis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar